Dana Desa ; Antara Harapan dan Rasa Was-was

Mahathir Muhammad IqbalOleh:
Mahathir Muhammad Iqbal
Dosen Departemen Ilmu Pemerintahan Universitas Islam Raden Rahmat Malang Serta Peneliti pada Lakpesdam PCNU Kota Malang

Dana desa diperkirakan mulai cair pada April mendatang. Setiap desa rata-rata akan menerima dana sebesar Rp 750 juta, yang meliputi Dana Desa (DD) dari pemerintah pusat dan Alokasi Dana Desa (ADD) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. (Republika Online).
Sebagai implementasi dari amanat UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan diikuti Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 sebagai peraturan pelaksananya, mungkin kebijakan itu bersifat mulia, karena punya visi menjadikan desa lebih produktif, indikasinya kegiatan ekonomi di desa meningkat, masyarakat yang bekerja dan memiliki usaha bertambah, demikian pula pelayanan sosial desa juga makin berkualitas.
Tetapi, pada sisi yang lain, jujur saja, kebijakan ini membuat saya was-was. Maksud saya, kebijakan ini justru menjadi sebuah ancaman yang terbilang serius dan sangat istimewa (extraordinary) pada 2015 ini. Jika mengacu ke realitas masih kuatnya sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok orang yang sedang berkuasa atau menjabat -tidak terkecuali yang menjadi kepala desa, sekretaris desa, dan seterusnya- potensi mereka terjerat dalam praktik penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) sangatlah besar.
Kita tidak bisa mengabaikan doktrin Lord Acton (1834-1902) yang menyebut “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”. Kekuasaan itu cenderung untuk digunakan korupsi atau kekuasaan yang mutlak cenderung menjadikan seseorang berbuat korupsi secara mutlak pula. Kekuasaan di tingkat desa pun demikian, bahkan bisa dikatakan istimewa.
Letak desa yang relatif terpencil (tersembunyi) membuat penguasanya cenderung lebih bebas berbuat sesuai kehendaknya. Siapa yang jadi penguasa di desa, ia mendapatkan kepercayaan secara yuridis untuk memerankan diri dalam mengelola dan mengendalikan sumber daya desa, termasuk sumber dana yang diperoleh dari pemerintahan pusat atau daerah. Ada kesan “enggan” dari pihak pemerintah untuk mengawasi langsung.
Jabatan kepala desa pun potensial menjadi katalisator terjadinya korupsi. Ketika belum ada tawaran dana Rp 750 Juta, tidak sedikit kepala desa yang jadi tersangka karena menyalahgunakan anggaran APBN/APBD. Sangat mungkin jumlah oknum itu semakin meningkat pasca pencairan dana desa.
Selanjutnya Bagaimana?
Kebijakan dana desa harus dipandang sebagai kebijakan strategis. Harus diakui, selama ini desa memiliki banyak potensi sumberdaya yang belum terkelola dengan baik, akibat minimnya dana atau faktor lainnya. Dana desa dapat didayagunakan untuk membiayai pengelolaan sumberdaya tersebut menjadi kegiatan usaha produktif yang menghasilkan manfaat nyata bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat maupun penambahan income kas desa.
Kita bisa ambil contoh potensi sumberdaya air yang ada di desa misalnya. Dana desa dapat dimanfaatkan untuk mengelolanya menjadi bisnis air bersih yang bisa memberikan pemasukan bagi kas desa, selain itu juga untuk pelayanan sosial untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat desa.
Dan ini harus dilihat sebagai bagian dari upaya peningkatan nilai tambah (add value) terhadap produk yang dihasilkan masyarakat desa. Nilai tambah bisa dihasilkan melalui pemanfaatan teknologi produksi, pengolahan atau pengemasan modern. Dan untuk merealisasaikan ketiga hal itu, diperlukan dana yang tidak sedikit.
Dalam konteks inilah maka yang perlu kita lakukan ialah: Pertama, perlunya pemahaman yang jernih dari aparatur desa tentang UU Desa Nomor 6 Tahun 2014. Artinya, pengesahan UU tersebut memberikan implikasi bahwa desa akan mendapat perhatian dan kepercayaan lebih dari pemerintah untuk mengelola pemerintahan secara berkesinambungan serta transparan. Sebab, desa akan mendapat dana yang luar biasa besar untuk meningkatkan kinerja pemerintahan desa. Dengan kata lain, aparatur desa harus memahami aturan terkait dengan UU Desa Nomor 6 Tahun 2014, baik yang menyangkut tata kelola pemerintahan, keuangan, maupun aspirasi masyarakat.
Kedua, momentum untuk menata administrasi, birokrasi, dan keuangan desa. Mengapa itu penting? Sebab, belakangan ini, banyak fenomena Kades yang berurusan dengan pihak berwajib karena ketidakjelasan penggunaan uang desa. Dengan kata lain, akhir-akhir ini banyak oknum aparat desa yang menjadi tersangka dalam berbagai kasus karena kurang bisa memahami peran dan tanggung jawab sebagai pimpinan, khususnya dalam mengelola administrasi.
Padahal, sebuah lembaga pemerintahan setingkat desa, kalau mengedepankan prinsip akuntabilitas dan transparansi, bisa berjalan sangat baik. Intinya, apabila pemerintahan desa tidak dijalankan dengan rasa keterbukaan, akan terjadi penyimpangan yang akhirnya berlawanan dengan aspek hukum.
Ketiga, perlunya regulasi atau aturan tentang syarat menjadi seorang pemimpin desa agar tidak korup. Hal itu bisa dilakukan sebelum pelaksanaan pilkades. Perlu ada kontrak politik bagi calon Kades untuk tidak korupsi dan berbuat amoral maupun asusila. Artinya, jika terbukti bertindak menyalahi hukum, Kades harus mengundurkan diri. Meski, dalam aturan, Kades yang terbukti bersalah akan diberhentikan bupati atau kepala daerah dengan mempertimbangkan usul dari BPD.
Keempat, perlunya skala prioritas program untuk pengentasan kemiskinan dan peningkatan infrastruktur desa. Masalah kemiskinan harus menjadi bagian utama dari alokasi APBN dan APBD untuk desa melalui ADD tersebut. Sebab, selama ini angka kemiskinan di desa sangat luar biasa. Setidaknya, ADD bisa digunakan untuk meningkatkan taraf hidup warga desa. Begitu pula, infrastruktur desa perlu mendapat skala prioritas agar desa bisa mudah diakses, khususnya jalan.
Saya yakin, jika dua hal tersebut terlaksana dengan baik, otomatis denyut perekonomian desa bisa bergeliat yang akhirnya rakyat akan sejahtera. Dalam tataran demikian, kesenjangan desa dan kota bisa tereleminasi secara perlahan dan pasti. Hal itu bisa terwujud jika Kades dan perangkat desanya cerdas serta melupakan korupsi.
Dengan demikian, saya yakin siapa pun yang menjadi aparatur desa (baca: Kades maupun perangkat desa) akan berkualitas. Sebab, dengan kehadiran figur pemimpin desa yang berkualitas, berdedikasi tinggi, dan bermoral, demokratisasi di desa, khususnya pengelolaan ADD, akan berjalan baik. Semoga.

                                                                                                       ——————– *** ——————

Tags: