Dana Desa, Ujian Keterbukaan Informasi

Wahyu Kuncoro Komisioner Anggota Komisi Informasi Prov Jawa TimurOleh:
Wahyu Kuncoro
Komisioner/Anggota Komisi Informasi Prov.Jatim

Menjadi berkah atau masalah membayangi implementasi Undang-Undang No.6/2014 tentang Desa yang diikuti  PP No 43/2014 sebagai peraturan pelaksananya dalam waktu dekat. Kesimpangsiuran tanggungjawab pengelolaan dana desa masuk ranah kewenangan kementrian dalam negri (kemdagri) atau kementrian desa, pembangunan daerah tertinggal dan transmigrasi (kemdestrans) menyiratkan bahwa penggelontaran dana desa tidak terbebas problem koordinasi kerja lintas departemen.
Masih adanya kekhawatiran terkait akuntabilitas pembelanjaan dan transparansi informasi dana desaibarat menegakkan benang basah. Meskipun pemerintah berencana merekrut sekitar 73.000 orang pendamping implementasi dana desa, toh kekhawatiran terhadap penggunaan dana desa masih tetap ada.
Gejolak  dana desa pada garis besarnya menyangkut akuntabilitas dan transparansi anggaran perencanaan, penggunaan dan pelaporan anggaran desa sebesar kurang lebih 1,4  miliar per tahun setiap desa. Realisasi dana desa sebagai bentuk komitmen pemerintah terhadap pembangunan desa sebagai ujung tombak pembangunan bangsa. Bila berhasil akan dapat meningkatkan social trust yang tinggi kepada pemerintah, disparitas sosial ekonomi desa kota akan terkurangi dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat pedesaan.
Tak kalah pentingnya, pemberlakuan UU No.6/2014 tentang Desa menjadi ujian riil bagi pemerintahan desa/kelurahan, sejauh mana keseriusan mengimplementasikan UU No.14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP)  dan UU No 25/2009 tentang Pelayanan Publik. Secara konstitusional, badan publik dalam hal ini instansi kelurahan/desa terikat dengan UU KIP  dan UU Pelayanan Publik. Kedua undang-undang tersebut menjadi tonggak historis reformasi birokrasi pemerintahan menuju pelayanan publik yang excellence servicebagi masyarakat dan tata kelola informasi publik yang transparan.
PPID
Kekhawatiran atas pemanfaatan dana desa sesunggguhnya tak perlu terjadi jika pemerintahan di tingkat kabupaten/kota hingga desa/kelurahan mengimplementasikan UU KIP secara konsekwen. Masalahnya sekarang, kurangnya pemahaman kepala desa dan lurah terhadap UU KIP dapat menjadi sandungan transparansi informasi publik yang dalam hal ini, termasuk laporan keuangan. Ditambah lagi, belum semua kantor kepala desa/kelurahan memiliki fasilitas yang memadai seperti komputer/perangkat IT yang memungkinkan untuk dapat melakukan tata kelola informasi publik secara on line.
Merujuk pada UU KIP dan UU Pelayanan Publik, setidaknya ada dua mekanisme efektif yang dapat di gunakan untuk menjamin akuntabilitas tata kelola keuangan dana desa. Pertama, untuk mewujudkan pelayanan cepat, tepat dan sederhana kelurahan/desa menunjuk PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi) yang bertugas dan bertanggungjawab melakukan pelayanan informasiyang meliputi proses penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan dan pelayanan informasi. PPID dibekali dengan sejumlah kelengkapan administrasi seperti formulir permohonaninformasi maupun penyelesaian sengketa. Kedua, lurah/kepala desa berkewajiban menyediakan unit sarana pengaduan/keluhan dan menugaskan pelaksana yang berkompeten dalam pengelolaan pengaduan. Fasilitas semacam hotline centre  dengan sarana telepon, fax, sms centre, email, dan media sosial disediakan dibarengi dengan SDM yang berkompeten untuk complain handling.Mekanisme tersebut disediakan untuk memfasilitasi pengaduan, keluhan dan permohonan warga masyarakat, LSM, ormas dan lain lain yang membutuhkan informasi publik, khususnya terkait pemanfaatan dana desa.
PPID kelurahan/desa menjadi ujung tombak tata kelola informasi dan melayani kebutuhan pemohon  informasi publik diantaranya perorangan, masyarakat, LSM, ormas dan sebagainya. PPID kelurahan/desa bakal kebanjiran permohonan informasi seputar perencanaan, pemanfaatan dan pelaporan dana desa. Bukan mustahil, kelak mencuat kekecewaan masyarakat atas layanan informasi publik yang disediakan, karena informasi seputar dana desa yang diberikan tidak menjawab kebutuhan. Kemudian, merebak menjadi sengketa informasi publik yang mekanisme penyelesaiannya diserahkan kepada komisi informasi.
Masih kuatnya anggapan bahwa dokumen perencanaan dan penganggaran seperti DPA, RKA dan juga realisasi anggaran merupakan dokumen yang tak dapat diakses oleh publik. Merujuk UU No. 14/2008 informasi publik termasuk sebagai informasi yang sifatnya terbuka dan dapat dipublikasikan, sebagaimana diatur dalam pasal 9,10,11,12,13 dan pasal 14 UU KIP, diantaranya laporan tahunan, laporan keuangan dan neraca laporan laba rugi yang telah diaudit lembaga yang berwenang.
Dan sesuai Instruksi Menteri dalam Negeri No. 188.52/1797/87 tentang Peningkatan Transparansi Pengelolaan Anggaran Daerah, menu transparansi pengelolaan anggaran daerah dalam website resmi antara lain:  a.   Ringkasan rencana Kerja dan Anggaran SKPD dan Anggaran Pejabat Pengelola Keuangan Daerah, b.RAPBD dan perubahannya, c.APBD dan perubahannya, d.Ringkasan DPA SKPD dan DPA Pejabat Pengelola Keuangan Daerah, e.Laporan Realisasi Anggaran seluruh SKPD dan DPA Pejabat Pengelola Keuangan Daerah, f. Laporan Keuangan yang sudah diaudit dan Opini Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. .
Jelasnya dokumen-dokumen yang dulunya terbilang ‘rahasia’ maka kini menjadi dokumen publik yang dapat diakses masyarakat umum. Dan bahkan dokumen-dokumen realisasi anggaran –yang telah diaudit lembaga berwenang– dapatnya dipublikasikan secara on line pada situs/portal badan publik yang bersangkutan. Sehingga, masyarakat bila sewaktu-waktu masyarakat meminta informasi publik, badan publik lebih dulu menampilkan secara secara on line, sehinggar terhindar dari sengketa informasi.
Penggelontoran dana desa dapat menjadi momentum untuk meneguhkan komitmen keterbukaan informasi yang masuk sampai ke pelosok desa,hingga terwujud kemauan yang kuat atas transparansi anggaran demi kemajuan pembangunan desa.

                                             ————————– *** —————————–

Tags: