Dari Alas Purwo untuk Dunia

Yunus Supanto(Memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia)

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior penggiat dakwah sosial politik

Benarkah tidak ada seorangpun yang bisa dipercaya untuk melindungi hutan? Nampaknya, itu kekhawatiran yang berlebihan. Buktinya, banyak komunitas (suku-suku) di Indonesia yang nyata-nyata tidak merusak hutan. Bahkan di pulau Jawa, suku Baduy (dalam) yang menghuni hutan di kabupaten Lebak (Banten), sangat melindungi hutan. Begitu pula komunitas Samin di Bojonegoro (Jawa Timur), tetap menjaga lingkungan dengan sangat baik.
Masih banyak suku-suku di Indonesia yang perkampungannya “dikepung”  oleh hutan. Di Sumatera, di Kalimantan, dan di Sulawesi, banyak suku adat hidup di tengah hutan. Jalan keluar dan masuk menuju kawasan hanya berupa sungai. Sehingga seluruh kebutuhan hidup bergantung pada kelestarian hutan. Termasuk bertani pada sela-sela area hutan. Dan beternak di kawasan dalam hutan, tanpa menganggu ekosistem.
Perlindungan masyarakat terhadap hutan dilakukan secara adat. Bahkan di Jawa, perlindungan hutan diajarkan dengan metode paling efektif. Yakni, meng-anggap “angker” kawasan hutan, melalui transformasi (pengajaran) antar-generasi. Diantaranya dinyatakan, bahwa kawasan hutan terdekat ditunggui oleh makhluk gaib. Tidak boleh merusak hutan, tidak boleh menebang pohon karena akan memperoleh balasan langsung.
Bahkan beberapa pohon terbesar di kampung, dijaga secara ketat. Juga dengan paradigma “angker.” Sebagiannya malah ditutupi kain, agar semakin angker, menimbulkan daya magis. Walau masyarakat (luar kampung) menyatakan “peng-angker-an” bisa menimbulkan syirik. Padahal cara tersebut merupakan metode melindungi lingkungan sekitar (ekosistem). Dengan itu maka sumber air untuk kampung selalu tercukupi.
Salahsatu kawasan hutan yang dianggap paling angker di pulau Jawa, adalah Alas Purwo, di Banyuwangi. Letaknya di ujung timur pulau Jawa. Konon Alas Purwo, telah di-angker-kan sejak abad ke-10, zaman kerajaan Blambangan kuna. Di dalamnya berisi berbagai satwa, termasuk harimau Jawa (panthera tigris Javaicus). Dan yang paling ikonik, adalah kerbau liar Jawa (bos bubalus). Ribuan kerbau liar hingga kini bisa hidup “sejahtera” di Alas Purwo.
“Kesejahteraan” satwa itulah yang menyebabkan khazanah lingkungan hidup sedunia melirik Alas Purwo. Lalu dikukuhkan menjadi biosfer dunia. Taman Nasional Alas Purwo, diminta menjadi penyokong zat karbon untuk men-dingin-kan bumi. UNESCO (United Nations Educational Scientific And Cultural Organization) yang dibawahkan oleh PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) sekaligus meminta Alas Purwo, sebagai laboratorium eko-sistem. Yakni aksi jaminan kelangsungan hidup fauna dengan dukungan flora yang memadai.
Tercantik di Dunia
Ke-unik-an utama Alas Purwo, diantaranya, tidak terusik ulah (merusak) manusia. Hutan taman nasional itu seolah-olah memiliki “wibawa,” sejak lama dikenal angker, dengan berbagai cerita mistis. Selain juga dijaga oleh masyarakat sekitar, dengan ragam sosial yang unik pula. Misalnya, kehidupan yang rukun antara umat muslim dengan warga yang Hindu, di kampung yang sama. Di tengah hutan Alas Purwo, juga terdapat situs kerajaan Hindu. Konon petilasan Menak Jinggo.
Namun Alas Purwo, tetap terbuka untuk sektor ke-wisata-an, dengan penjagaan (dan pendampingan) ketat aparat jagawana. Sejak lama “ke-unik-annya” telah didengar di seluruh dunia. Tetapi infrastruktur menuju masih sangat terbatas. Sebagai taman nasional, juga belum disentuh manajemen memadai. Termasuk pengelolaan konservasi. Sehingga Alas Purwo, benar-benar asli alamiah. Karena itu akan dibangun jalan lempang (beraspal) di dalam hutan.
Selama ini telah terdapat jalan berbatu hingga tembus perairan pantai Grajagan, Plengkung, juga pantai triangulasi. Alas Purwo, memang dikelilingi pantai yang indah. Konon, itulah pantai paling indah dan paling menantang di dunia untuk berselancar. Hanya bagian barat (utara) yang bukan pantai, sebagai pintu masuk dari arah kota Banyuwangi. Jika ditarik garis lurus timur – barat, Alas Purwo sejajar dengan kawasan Kuta, di Bali.
Bukan hanya pantai yang indah bisa disuguhkan. Tetapi juga ke-aneka ragaman hayati lainnya. Di Alas Purwo terdapat burung yang paling cantik di dunia, dan berukuran besar pula. Yakni, merak hijau (pavo muticus), yang jantan panjangnya bisa mencapai 3 meter (setengahnya adalah ekornya yang sangat indah). Selain itu juga terdapat mamalia eksotis lain. Misalnya, kijang (muntiacus muntjak), macan tutul (panthera pardus), lutung (trachypithecus auratus), serta kera abu-abu (macaca fascicularis).
Alas Purwo, sitetapkan sebagai cagar biosfer dunia pada sidang UNESCO ke-28 di kota Lima (Peru), 20 Maret 2016. Sidang “International Coordinating Council ” (ICC) Program MAB (Man and The Biosphere) menetapkan sebagai Cagar Biosfer Blambangan, bersama hutan tetangganya. Yakni, Taman Nasional Meru Betiri dan Taman Nasional Baluran. Seluruhnya seluas 679 ribu hektar. Itu meliputi perbatasan kabupaten Banyuwangi dengan tiga kabupaten lain (Jember, Situbondo, dan Bondowoso).
Biosfer dalam paradigma geo-fisiologi, eko-sistem global di suatu tempat yang menjamin kehidupan (nyaman) seluruh makhluk hidup. Tidak banyak tempat “ideal” yang bisa dinyatakan sebagai biosfer. Yang paling populer, adalah hutan Amazon, yang terbentang di sembilan negara di Amerika Selatan (diantaranya Brasil, Peru, Venezuela, Ekuador, dan Suriname). Iklim-nya persis di Indonesia, hujan tropis, yang menjanjikan kesuburan.
Berbuat Lebih Banyak
Di Indonesia, lingkungan hidup yang bersih, bukan sekadar propaganda oleh LSM. Melainkan amanat konstitusi. UUD pasal 28H ayat (1) mengamanatkan,  “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat … .” Amanat konstitusi itu hasil amandemen kedua 18 Agustus tahun 2000, jauh sebelum Protokol Kyoto maupun hasil konvensi internasional tentang iklim di Bali (2007).
Pemerintah (sejak zaman orde-baru) juga sudah banyak berbuat untuk penyelematan lingkungan. Antaralain penerbitan berbagai regulasi. Diantaranya berupa Keppres (Keputusan Presiden) tentang fungsi hutan lindung, hutan tanaman industri, Tahura (Taman Hutan Raya) dan hutan kota. Lalu, terbit pula UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pengelolaan Lingkungan. Di dalamnya diatur pemanfaatan sebagian hutan untuk usaha ke-ekonomi-an.
Pemanfaatan hutan bisa “diutak-atik” asalkan tidak mengubah fungsi. Misalnya yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah di kota Balikpapan, terhadap hutan lindung Sungai Wain (HLSW) yang dijadikan tempat wisata unggulan. Di dalamnya terdapat orangutan dan beruang. Sektor ke-wisata-an sekaligus sebagai upaya pengamanan kawasan hutan.
Sudah banyak aksi dilakukan untuk melindungi fungsi hutan. Misalnya, menetapkan hutan lindung Ujung kulon, di Banten sebagai “teritorial” badak. Begitu pula hutan Alas purwo di Banyuwangi, Jawa Timur (habitat kerbau liar) dan Tanjung Puting di Kalimantan (sebagai habitat orangutan). Tetapi banyak pula perburuan satwa dan pembalakan (penebangan) liar dilakukan oleh sindikat penjahat lingkungan.
Penjagaan fungsi hutan sebagai pensuplai zat karbon, sudah dilakukan secara “keroyokan.” Tetapi harus diakui, masih memerlukan upaya lebih masif dan terstruktur. Termasuk aksi politik. Biosfer, menjadi tanggungjawab PBB (melalui berbagai UNESCO) untuk dilestarikan. Kawasan biosfer merupakan “paru-paru” dunia, yang menyediakan 40% zat karbon. Selebihnya, zat karbon (yang menghasilkan lepasan oksigen) dihasilkan oleh hutan lindung, hutan rakyat, hutan kota, dan berbagai pohon yang ditanam.
Termasuk jenis rerumputan (perdu) patut memperoleh perhatian untuk dilindungi (ditanam ulang). Karena sebagiannya menjadi rantai utama ekosistem, sebagai pakan favorit satwa utama di kawasan hutan taman nasional dan hutan lindung. Syukur, di Indonesia masih terdapat 50 hutan taman nasional, menjadi pen-suplai oksigen. Sebab, lingkungan hidup (udara) yang bersih, sudah tidak gratis lagi. Berdasar komitmen (protokol) Kyoto dan Konvensi Iklim di Bali, negara maju berkewajiban membayar suplai zat karbon.
Negara berkembang yang masih memiliki hutan cukup memadai, berhak menerima anggaran untuk pemeliharaan lingkungan. Indonesia dengan iklim hujan tropis, memiliki potensi sangat besar.

                                                                                                                    ———– *** ————

Rate this article!
Tags: