Dari Masa ke Masa Petani Berada dalam Hegemoni

Oleh :
Anggita Ayunda Sakuntala
Mahasiswa Magister Agribisnis DPPS Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang.

Sektor pertanian senantiasa menjadi hal seksi yang seolah tak pernah usai untuk di bahas. Beberapa hari ini bahkan jagad dunia maya kembali dihebohkan dengan adanya seorang politisi sebut Saja Puan Maharani, sang ketua DPR yang tampak menanam padi di tengah-tengah pematang sawah ketika hujan. Kegiatan politis yang kemudian menimbulkan banyak sekali komentar, terutama dari kalangan politisi lainnya. Seolah mereka terbagi menjadi dua golongan, mereka yang menghujat dan mereka yang memuji atau membelanya.

Pertanian dan politik memang dua hal yang seolah tak mampu dipisahkan. Kompleksitas permasalahan yang senantiasa dikaji dalam beberapa diskusi, berita, atau bahkan opini terkait pertanian tak sedikit yang kemudian lantas bermuara pada politik, seperti halnya kenaikan harga minyak yang juga tengah ramai saat ini, pada akhirnya juga dikaitkan dengan ekonomi internasional dimana politik menyertainya. Menilik dari hal ini, pertanian Indonesia yang senantiasa pasang surut merupakan hasil dari sebuah historis yang panjang, dimana dalam peradabannya siapapun pemerintahannya petani senantiasa berada dalam hegemoni atau cengkraman dari seorang pemerintah itu sendiri.

Sejarah Pertanian Indonesia dari Masa ke Masa

Tentu kita sudah tahu bahwa dalam peradaban sejarah ada istilahnya nomaden, dimana manusia hidup berpindah-pindah, berburu dan meramu. Sebelum pada akhirnya mereka menetap di suatu tempat dan melakukan cocok tanam atau bercocok tanam. Kemampuan manusia untuk bercocok tanam inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal adanya kegiatan usaha tani. Perkembangan pertanian di Indonesia dimulai dengan masa atau zaman kerajaan, zaman penjajahan, hingga zaman kemerdekaan dengan lika-liku yang cukup menarik.

Pertanian pada zaman kerajaan lebih banyak menempatkan petani sebagai seorang rakyat yang memberikan sebagian hasil tanamnya kepada kerajaan untuk membayar pajak. Lantas apa yang diperoleh dari petani itu dari kerajaan? Yakni rasa aman dan perlindungan sebagai warga atau rakyat dari kerajaan tempatnya membayar umpeti tersebut. Hal ini tentunya menjadikan petani berada dalam hegemoni atau cengkraman kerajaan yang saat itu berperan sebagai pemerintahan. Namun, pada masa ini dinilai bahwa kerajaan tidak terlalu ikut campur terhadap apa yang harus ditanam oleh petani.

Petani banyak mengalami tekanan justru pada fase berikutnya, yakni di zaman penjajahan atau kolonialisme. Kehidupan petani pada era ini dibagi menjadi beberapa tahapan, seperti masa VOC, Tanam Paksa, hingga Romusha. Namun yang menjadi sorotan di sini ialah ketika sistem tanam paksa diterapkan pemerintahan kolonial kepada petani. Hal ini sangat mempengaruhi terhadap apa yang diusahakan oleh petani. Kepentingan politik yang sangat berpihak kepada pemerintah kolonial belanda ini nyatanya sangatlah mencekik kawula petani. Petani dalam usaha taninya ditentukan oleh pemerintah kolonial, mengenai apa yang harus mereka tanam. Hal ini dilakukan dengan maksud menstabilkan ketersediaan produk pertanian dan stabilitas produk pertanian untuk pemerintah belanda. Hegemoni pemerintahan pada masa penjajahan yang seolah mencekik petani tidak hanya selesai dengan belanda pergi dari Indonesia begitu saja, faktanya di era penjajahan jepang petani kembali mendapat tuntutan dari pemerintahan yang dinilai sangat kejam, meski tidak selama ketika Belanda berada di Indonesia, namun ini sungguh menyiksa.

Ketika Indonesia merdeka, bahkan petani tidak selesai untuk senantiasa berada dalam hegemoni pemerintahan. Apakah ini mengindikasikan hal yang tidak baik? Atau justru sebaliknya? Tentu jawabannya beragam, tergantung siapa dan bagaimana pemerintah itu bertindak kepada petani, apakah mereka memiliki kebijakan yang pro petani atau justru melemahkan sektor pertanian. Pasca kemerdekaan Indonesia kebijakan petani yang paling banyak disorot dan masih eksis untuk senantiasa dibahas hingga hari ini ialah adanya revolusi hijau pada era pemerintahan orde baru. Revolusi hijau yang digalakkan pada tahun 1970 hingga 1970an ini mengusung konsep pembangunan pertanian dengan penggunaan bahan kimia dan terknologi secara masif dan besar-besaran, selain itu penyuluhan dilakukan dengan intens. Khas sekali dengan paradigma pembangunan pertanian yang ada di tahun-tahun itu dengan ciri khasi penggunaan bahan kimia dan teknologi yang semakin meningkat.

Kebijakan pemerintahan orde baru mengenai revolusi hijau ini, tentu menuai pro kontra. Satu sisi secara politis dan ekonomi, ini sangatlah hebat dan dibanggakan oleh pemerintah kala itu. Dimana kemampuan Indonesia untuk swasembada beras yang berarti juga mampu menyukupi pangan nasional merupakan hal yang luar biasa dan belum lagi mampu dilakukan hingga hari ini, justru sebaliknya Indonesia banyak mengimpor bahan pangan. Argumen ini berlandaskan pada data Badan Pusat Statistik yang menunjukan bahwa pada rentang awal hingga pertengahan tahun 2021 Indonesia sudah melalukan impor pangan dengan nilai Rp.88,21 triliun dengan komoditas yang beragam mulai dari jagung, gandum, hingga yang saat ini tengah ramai karena mengalami kenaikan harga, yakni minyak goreng.

Kemampuan Indonesia dalam swasembada beras pada era orde baru yang dinilai luar biasa itu, nyatanya masih belum sepenuhmya mensejahterakan petani kala itu. Kebijkan itu dinilai memang berhasi dan menguntungkan, untuk pemerintahan tentunya dan juga kaum elitis. Faktanya dibanding dengan kemudahan pemerolehan bibit, ketersediaan pupuk, dan sebagainya yang diberikan kepada petani, di lapangnya sendiri ketimpangan sosial banyak terjadi pada petani, kesenjangan sosial antara petani yang mengusahakan tanaman ang digiatkan oleh pemerintah dan yang tidak. Terlepas dari hal itu, sisi negatif dari kebijakan pemerintahan orde baru ini ialah munculnya sikap ketergantungan dari petani kepada pemerintah, meski tak sedikit petani kini yang mengatakan tidak pateken dengan pemerintah, nyatanya petani tetap tidak bisa terlepad dari kebijakan pemerintah. Selain itu juga, adanya revolusi hijau yang menjadikan penggunaan bahan kimia masif dilakukan secara besar-besaran juga berakibat kurang baik terhadap ekosistem sawah, paradigma pertanian dari tradisional menjadi modern ini menjadikan keberadaan hama meningkat dan petani semakin ketergantungan dengan pestisida dan bahan kimia.

Solusi Agar Hegemoni Bisa Pro Petani

Kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah sebagai bentuk hegemoni kepada kaum petani memang terlihat sangatlah muskil untuk sepenuhnya memberikan kebajikan pada petani. Satu sisi positif, hampir-hampir satu sisi menimbulkan efek negatif. Kebijakan pemerintah hari ini dan beberapa dekade setelah revolusi hijau pada era orde baru belum tentu juga bisa lebih baik. Namun, yang pasti dari masa ke masa selama pemerintahan itu ada, petani akan senantiasa berada dalam hegemoni. Apabila pemerintah baik maka nasib petani akan baik, apabila pemerintah hanya mempertimbangkan egosentris dan kepentingannya saja, ya mohon maaf nasib petani akan senantiasa termarjinalkan.

Banyak solusi senantiasa ditawarkan dalam berbagai kegiatan oleh pegiat pertanian, baik ketika ada diskusi publik, opini, hingga surat terbuka mengenai bagaimana harusnya pemerintah mampu menghadirkan kebijakan yang pro petani, sehingga petani sejahtera dan sekotor pertanian mampu sebagai penyokong sumber ekonomi di Indonesia. Karena faktanya pemerintah banyak melakukan upaya, ketika terjadi kampanye atau mendekati kampanye seperti saat ini juga. Bukankah tokoh politik banyak yang suka diskusi dengan kaum petani. Namun kenapa masalah masih komplek? Ini terjadi karena kecacatan sistem pertanian yang telah diwariskan secara turun-temurun tersebut.

Barangkali bisa dilakukan kebijakan dengan memanfaatkan otonomi daerah, dimana pemerintah daerah harusnya diberikan wewenang untuk mensejahterakan petani, diberikan anggaran untuk memajukan sektor pertanian sesuai karakteristik daerahnya masing-masing apakah produktivitas di sektor hortikultura maupun pangan. Hal ini nampak sangat menarik, namun apabila dikembalikan apakah ini akan memberi dampak yang baik? Jawabannya kembali lagi menjadi abu-abu, apakah pemerintah daerah mampu mengelolanya dengan baik dan amanah? Hal yang sangat diharapkan dari adanya hegemoni pemerintahan terhadap petani dalam jenis apapun dan sistem pemerintahan yang seperti apapun, hanyalah kebijakan yang pro petani, bukan sekadar mendekati petani ketika kampanye, atau memberikan harapan ketika kunjungan kerja. Kebijakan yang pro petani harus benar-benari dilakukan dengan pengkajian yang dalam dan penerapan seutuhnya.

———– *** ————-

Tags: