Dari Surabaya Menuju Sibolga

(Perempuan dalam Pusaran Aksi Terorisme)

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Bhayangkara (Ubhara), Surabaya. Penulis juga Kabid Media Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Jawa Timur

Diskursus pelibatan perempuan dan anak dalam aksi terorisme di tanah air kembali menghangat. Perbincangan ini, sebelumnya sempat menghangat saat tragedi aksi bom bunuh diri di Surabaya setahun lalu -atau tepatnya 14 Mei 2018– yang melibatkan seorang perempuan dengan anaknya.
Tragedi bom bunuh diri di Surabaya tersebut tak urung mengundang perhatian dunia. Bukan saja karena faktor aksi terorisme merupakan kejahatan kemanusiaan yang menjadi musuh bersama dunia, tetapi juga karena aksi terorisme tersebut melibatkan perempuan dan anak.
Dan topik keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme kembali menghangat kembali pasca aksi bom bunuh diri yang terjadi di Sibolga beberapa waktu yang lalu. Seorang perempuan dan anaknya memilih meledakkan dirinya, ketika satuan khusus anti teror Densus 88 bermaksud menangkapnya. Wanita itu adalah Solimah, yang tak lain istri Abu Hamzah. Dia tewas setelah meledakkan diri dengan bom rakitan di dalam rumahnya usai petugas menangkap suaminya Selasa pekan lalu. Solimah menolak dibawa petugas. 10 jam lebih melakukan negosiasi perempuan itu memilih meledakkan diri bersama seorang anaknya. Kepada polisi, Abu Hamzah menyatakan bahwa pemahaman radikal Solimah jauh lebih keras ketimbang dirinya. Dia pun memilih mati ketimbang mengikuti bujukan aparat untuk menyerahkan diri. Padahal Abu Hamzah juga terlibat dalam upaya negosiasi tersebut.
Bukan itu saja, pasca bom bunuh diri di Sibolga, aparat Densus sudah menangkap 3 orang perempuan yang diduga terkait aksi terorisme. Artinya, bila tidak segera terbongkar bisa jadi daftar perempuan perempuan yang menyiapkan diri untuk melakukan aksi bom bunuh diri akan bertambah panjang.
Bahwa jauh sebelum aksi bom bunuh di Surabaya dan Sibolga, publik sudah dikagetkan dengan pelaku bom bunuh yang seorang perempuan. Dia adalah Dian Yulia Novi (26) yang mencoba meledakkan Istana Negara tahun 2016 lalu, namun gagal. Ia akhirnya divonis penjara 7,5 tahun oleh Majelis Hakim atas rencana jahatnya. Perempuan yang berdarah Cirebon ini ketahuan mem­bawa 1 bom panci presto high explosive.
Perempuan dalam Pusaran Terorisme
Akhir tahun 2009, Al Qaeda mengeluarkan seruan jihad kepada kalangan perempuan. Umaymah Hasan Ahmed Muhhamed Hasan, istri Ayman al Zawahiri, seorang gembong al Qaeda membuat seruan jihad kepada perempuan Islam di dunia. Seruan ini berupa ajakan untuk bersabar dalam mengikuti peperangan di daerah konflik seperti chechnya dan Palestina, ajakan untuk tetap mengenakan cadar dan ajakan untuk mempersiapkan anak anak dan mengajak suami berjihad. Umaymah juga menegaskan bahwa jihad adalah kewajiban baik laki-laki maupun perempuan.
Sebenarnya banyak literatur klasik lain yang menceritakan jihad perempuan pada masa Nabi Muhammad dan kemungkinan dijadikan justifikasi perekrutan perempuan radikal Islam. Abdul ghani Abdul Al Maqdisi dalam Manaqih al Shahabiyyat menceritakan seorang sahabiyahNusayba yang pergi ke perjuangan Uhud untuk menolong para korban perang, dan justru mendapat dua belas luka di tubuhnya. Bersama Nusayba ada empat perempuan lainnya yang mengikuti peperangan. Salah satu dari empat perempuan ini bahkan sedang hamil.
Melalui pengisahan kisah tersebut, Yusuf al Ayyiri, seorang al Qaeda jaringan Saydi dalam Dawr al Nisa fi Jihad al ‘Ada’ memfatwakan bahwa jihad adalahkewajiban yang wajib bagi laki-laki maupun perempuan .
Dalam konflik di Chechnya, kita mengenal Khava Barayeova dan Luisa Magomodova dua orang perempuan yang pertama kali melakukan bom bunuh diri yang menghebohkan dunia pada 7 Juni 2000. Luisa Magomodova menabrakan sebuah truk yang penuh dengan peledak ke pasukan Rusia. Tidak seperti daerah konflik lain, perempuan lebih mendominasi tindakan teror di Chechnya. Untuk tindak bom bunuh diri tahun 2000 sampai 2007, sebanyak 46 orang dari 110 pelaku bom bunuh diri adalah perempuan.
Perempuan sengaja direkrut sebagai aktor yang akan melakukan teror bisa jadi karena aksi-aksi mereka sejauh ini lebih sulit terendus oleh warga dan aparat, karena komunikasi yang merekal lakukan sangat terbatas, begitupun dalam hal akses ke media di­gital. Mereka lebih banyak komunikasi langsung dengan cara membangun dis\­kusi, share dalam perkumpulan terbatas yang bahkan sudah disisipi dengan berbagi informasi-informasi sasaran teror.
Harus diakui keinginan untuk mencari banyak informasi termasuk ajaran-ajaran agama secara terbatas di dalam rumah menjadi ruang yang cukup bagus bagi masuknya indoktrinasi khususnya lewat modus bom “pengantin”. Ada keinginan kuat dalam diri para perempuan itu untuk mengabdikan ajaran agamanya termasuk menjadikan diri sebagai isteri yang baik di hadapan Tuhan. Jika keinginan ini terfasilitasi oleh materi-materi yang memperkuat frekuensi kebencian terhadap kelompok lain atas nama pesan-pesan keagamaan dan ter­jadi secara intensif, maka peluang perempuan untuk menya­lurkan doktrin-doktrin asupannya yang salah itu akan semakin terbuka lebar.
Melindungi Perempuan
Stigma di masyarakat menganggap perempuan sebagai kaum yang lemah lembut dan cenderung menyukai keselarasan, perdamaian dan tidak menyukai kekerasan. Perempuan juga sering diibaratkan dengan bunga yang menggambarkan keindahan. Namun, kasus keterlibatan perempuan dalam aksi dan gerakan terorisme terjadi seakan melenyapkan stigma tersebut. Terlepas dari pelbagai faktor yang melatarbelakanginya, paling tidak kita tersadar bahwa perempuan juga bisa menjadi begitu keras, kejam, dan jauh dari kelembutan ketika sudah terpengaruh virus radikalisme.
Artinya, menjadi penting untuk bisa merumuskan langkah-langkah untuk membentengi kaum perempuan dari ancaman radikalisme. Keterlibatan kaum perempuan dalam aksi terorisme menggambarkan pola baru dalam gerakan terorisme, terutama di Indonesia. Dalam konteks terorisme Internasional, keterlibatan perempuan terjadi sejak lama.
Ada dugaan, keterlibatan perempuan dalam aksis teror disebabkan semakin sedikitnya laki-laki yang mau melakukannya. Bahkan pimpunan ISIS di Indonesia Bahrun Naim pernah mengatakan kalau di Suriah aksi amaliyah tak wajib dilakukan perempuan. Tapi di Indonesia, perempuan boleh melakukan aksis teror karena laki-lakinya pada pengecut. Hal tersebut menggambarkan militan ISIS yang mulai kesulitan melakukan rekruitmen di kalangan lelaki untuk melakukan aksi jihad, kemudian memanfaatkan kaum perempuan.
Menurut M Endy Saputro (2010) dalam Probabilitas Teroris Perempuan di Indonesia menjelaskan ada beberapa kondisi yang membuat perempuan di Indonesia bisa terlibat dalam terorisme. Pertama, apabila tindakan penangkapan teroris dilakukan melibatkan atau lebih lebih tepatnya mengambil korban kerabat (keluarga) teroris. Terutama anak anak teroris. Hal ini bisa dilakukan dengan sengaja atau tanpa sengaja. Trauma ini akan melahirkan sebuah dendam, dan dengan justifikasi tindak bom bunuh diri di Palestina dan Checnya bukan tidak mungkin karena dendam aksi terorisme itu akan terjadi.
Kedua, bom bunuh diri akan mungkin dilakukan oleh istri pelaku bom di Indonesia apabila tidak ada lagi pihak yang peduli dengan masalah ekonomi mereka. Lapangan kerja yang semakin sempit membuat istri para pelaku bom yang dipenjara atau sudah dieksekusi mati akan lebih ingin mempercepat bertemu suami dengan surga dengan melakukan aksi terorisme.
Ketiga, sang anak akan menjadikan ayah pelaku bom teror bom segaai idola. Perempuan, lebih tepat sang ibu akan berperan penting dalam proses pendidikan ini. Untuk itulah pihak berwenang perlu menjelaskan kepada masyarakat perbedaan penting antara terorisme dan mujahid, minimal agar konteks sosial masyarakat bisa mencegah para anak anak teroris untuk mengikuti jejak sang ayah.
Jika fokus kita adalah melindungi perempuan, maka ormas-ormas keagamaan berbasis perempuan memegang peranan penting untuk aktif menyuarakan dan melakukan gerakan-gerakan menangkal paham radikalisme di kalangan perempuan yang berada di seluruh lapisan masyarakat. Misalnya, ormas seperti Muslimat NU, Fatayat NU, dan ‘Aisyiyah Muhammadiyah yang memiliki basis anggota perempuan besar dan tersebar di penjuru Tanah Air. Mereka memiliki peran strategis untuk memberikan edukasi tentang bahaya paham radikalisme pada kaum perempuan, baik orang tua maupun kalangan remaja.
Perempuan adalah kaum yang sangat dihargai dan wajib dilindungi. Dalam Islam, bahkan dalam kondisi perang sekalipun, ada larangan membunuh wanita dan anak-anak. Pada dasarnya, perempuan adalah kaum yang penuh kelembutan dan menginginkan perdamaian. Keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme mengisyaratkan bahwa mereka telah menjadi korban. Maka, menjadi kewajiban kita bersama untuk melindungi mereka.
Wallahu’alam bhis-shawwab.

——– *** ———

Rate this article!
Tags: