‘Darurat’ Kesenjangan Ekonomi

Oleh :
Rahmad Hakim
Staf Pengajar Universitas Muhammadiyah Malang.

Berdasarkan data yang dirilis oleh Oxfam Indonesia bersama International NGO Forum on Indonesia Development (INFID), dinyatakan bahwa terdapat kenyataan yang mengejutkan tentang disparitas ekonomi di Indonesia. Pertama, Pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif stabil dan berimbang. Meski demikian, pertumbuhan ekonomi yang baik itu tidak diimbangi dengan distribusi pendapatan yang merata. Kedua, dalam 20 tahun terakhir, kesenjangan antara golongan kaya dan miskin di Indonesia tumbuh lebih cepat dibandingkan Negara lain di kawasan Asia Tenggara. Ketiga, Indonesia berada diperingkat ke-6 terbawah dunia dalam hal kesenjangan ekonomi. Secara lebih riil, kekayaan yang dimiliki empat (4) orang terkaya Indonesia saja, sebanding dengan  kekayaan yang dimiliki oleh seratus juta (100.000.000) orang miskin Indonesia. Meskipun hal ini menyulut tanggapan negatif dari beberapa kalangan, salah satunya adalah menko perekonomi Darmin Nasution. Beliau menyatakan bahwa memang ketimpangan Indonesia memang memburuk, namun tidak seburuk seperti yang dilaporkan oleh Oxfam dan INFID. Sebab data yang beredar sebelum adanya laporan oleh Oxfam dan INFID, gini rasio disparitas ekonomi Indonesia pada kisaran 0,394. Artinya satu persen (1%) golongan kaya di Indonesia menguasai empat puluh sampai lima puluh persen (40-50%) kue ekonomi Indonesia. Sebaliknya, 99% golongan bawah-menengah, ‘berebut’ kue ekonomi sebesar enam puluh persennya saja (60%). Menurut Darmin, data yang baru dirilis adalah ‘terlalu!’. Keempat, adanya peningkatan ketimpangan antara mereka yang hidup di perkotaan dengan di daerah. Berdasarkan empat point tersebut, direkomendasikan dua solusi; pertama, memperbaharui kebijakan pajak sejalan dengan potensi ekonomi yang dimiliki, berdasarkan prinsip pembagian beban yang adil dan menguntungkan. Kedua, memulihkan dan mengutamakan sumber daya manusia dan pengembangan tenaga kerja.
Berdasarkan data diatas, pelajaran yang penting untuk diambil adalah belum telihatnya sebuah perubahan yang berarti terkait kesenjangan ekonomi antara golongan kaya dan miskin. Yang ada, justru kesenjangan semakin melebar dari waktu ke waktu. Sebab kita selama ini hanya focus pada pertumbuhan ekonomi an sich, tanpa mempertimbangkan pemerataan. Padahal, idealnya pertumbuhan harus hand in hand dengan pemerataan. Fenomena yang terjadi di Indonesia memang tidak separah yang terjadi di Amerika Serikat. Sebagaimana yang oleh Stiglitz dalam karyanya The Price of Inequality, bahwa sembilanpuluh sembilan persen (99%) kue ekonomi hanya dinikmati oleh satu persen (1%) golongan kaya, sedangkan ‘sisa’ satu persen (1%) dari kue ekonomi Amerika harus diperebutkan oleh sembilanpuluh sembilan persen (99%) golongan bawah-menengah rakyat Amerika Serikat. Di sisi lain, Peter Edelman dalam karyanya So Rich So Poor (2012) secara lebih riil menggambarkan fenomena kesenjangan ekonomi di Amerika. Dinyatakan bahwa seratus tiga (103) juta masyarakat Amerika terlilit dalam kubangan kemiskinan, lebih parah lagi enam juta dari mereka tidak memiliki penghasilan sama sekali. Untungnya, masih ada jaminan sosial bagi mereka.
Contoh Riil Akibat Kesenjangan Ekonomi
Kekisruhan antar pelaku jasa transportasi online dan konvensional yang terjadi di Malang beberapa hari yang lalu, merupakan fragmen kecil dari sekian banyak kekisruhan yang terjadi baik di pusat maupun daerah. Penyebabnya secara umum adalah rebutan ‘jatah’ kue ekonomi yang semakin cekak. Sungguhpun beragam manfaat ekonomi memiliki manfaat yang besar, namun memiliki efek samping yang tidak kecil. Diantaranya adalah terusiknya ‘saudara tua’ (layanan tranportasi konvensional; ojek, angkodes, dll) yang merasa bahwa keberadaan layanan transportasi online merenggut jatah mereka. Terutama dengan kondisi ekonomi dewasa ini yang semakin hari semakin memburuk. Ada aksi ada reaksi. Kejadian ini menimbulkan gejolak di kalangan pelaku angkutan konvensional. Dari penurunan paksa penumpang ojek online, cekcok antara kedua belah pihak, hingga ancaman untuk melakukan sweeping oleh beberapa oknum pelaku jasa transportasi konvensional.
Fenomena diatas merupakan contoh riil dari sembilanpuluh sembilan 99% golongan bawah-menengah yang tengah ‘berebut’ kue ekonomi sebesar enam puluh persennya (60%). Sebaliknya, satu persen (1%) golongan kaya di Indonesia yang menguasai empat puluh sampai lima puluh persen (40-50%) kue ekonomi Indonesia tidak memiliki masalah yang berarti. Lantas, apakah yang harus kita lakukan?. Menarik untuk melihat kesimpulan akhir dari Joseph E. Stiglitz, yaitu kita harus memotong pendapatan golongan kaya, menguatkan golongan menengah dan menolong golongan bawah. Bagaimanakah hal ini di implementasikan?. Dalam suatu Negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis, tentu kebijakan yang digunakan adalah dengan menetapkan pajak yang proporsional bagi golongan kaya, selanjutnya diberikan kepada golongan miskin dengan bentuk program jaminan sosial, pengobatan gratis dan dana pensiun sebagaiman yang terjadi di Inggris dan Negara maju lainnya.
Di Indonesia, nampaknya implementasi dari strategi yang di rekomendasikan Stiglitz belum mampu untuk di Implementasikan. Beberapa penyebabnya adalah sebagai berikut; pertama, penerapan pajak masih belum maksimal, hal ini nampak dengan adanya program tax amnesty. Sejatinya tax amnesty adalah program pengampunan pajak. Salah satu alasan dari adanya kebijakan ini adalah banyaknya uang yang ‘diparkir’ di luar Negeri, dengan tujuan untuk menghindari pajak. Di sisi lain, banyak oknum yang dengan sengaja menghindari pajak. Hal ini mengakibatkan langkah untuk memotong pendapatan golongan kaya terhambat. Selanjutnya, golongan bawah tidak terkena imbas dari kebijakan pajak. Alhasil mereka semakin miskin -dengan adanya kenaikan harga-harga pada barang sehingga menimbulkan inflasi, sebaliknya yang kaya semakin kaya. Belum lagi kewajiban-kewajiban mereka yang begitu membebani seperti membayar iuran BPJS, STNK yang semakin meningkat.
Adakah jalan lain selain jalan pajak?. Sebenarnya terdapat potensi besar yang dimiliki oleh lembaga pegelola zakat dalam mengentaskan kemiskinan. Secara ekspilisit, apa yang di rekomendasikan oleh Stiglitz merupakan ‘spirit’ dari syariat zakat dalam Islam, yaitu menjadikan mereka yang berada di golongan bawah (fakir miskin) dapat ‘naik kelas’ menjadi golongan menengah yang terhindar dari kemiskinan. Dan yang diberikan kepada kepada mereka (golongan miskin) adalah harta golongan kaya. Hal ini tertulis secara gamblang dalam al-Qur’an (QS. At-Taubah[9]: 103-104; QS. Adz-Dzariyat[51]: 19).
Dengan demikian, usaha dalam mengatasi darurat kemiskinan setidaknya dapat dilakukan melalui dua cara; pertama, penguatan sistem perpajakan. Kedua, penguatan dan penyadaran terhadap kewajiban dalam menunaikan ibadah zakat, terutama bagi golongan kaya. Dengan dua hal ini, diharapakan ekonomi Negara tidak hanya tumbuh tetapi juga merata. Apalah arti dari sebuah pertumbuhan, jika hanya segelintir orang saja yang menikmati?.

                                                                                                                   ———- *** ———–

Rate this article!
Tags: