Tim Percepatan Pertanian Organik Kota Batu Sulit Evaluasi

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Kota Batu, bhirawa
Tim Percepatan Pertanian Organik yang dibentuk Wali Kota Batu mengaku kesulitan dengan data lapangan, sehingga susah untuk  mengevaluasi dan merumuskan kebijakan percepatan pertanian organik.
Ketua Tim Percepatan Pertanian Organik dr Endang Triningsih menjelaskan, tim berupaya meminta dan mengakses data lapangan dari Dinas Pertanian dan Kehutanan, namun data yang ada dinilai tidak cukup. “Kita akhirnya mencoba menggali data langsung ke desa dan kelurahan. Namun datanya juga banyak yang kadaluwarsa. Seharusnya data tersebut diupdate, sehingga dapat dirumuskan kebijakan yang tepat,” tutur Staf Ahli Wali Kota Batu bidang Ekonomi Pembangunan tersebut, Selasa (21/4).
Dia kemudian mengambil contoh areal pertanian padi, berapa jumlah luasan areal padi yang menggunakan irigasi dan tadah hujan. Kalau diketahui secara pasti luas arealnya, maka bisa dirumuskan kebijakannya.
“Untuk swasembada pangan misalnya, jumlah penduduk kota Batu sekitar 200 ribu dalam sehari mengkonsumsi 1 ons perorang. Maka diperlukan 20 ton beras perhari atau 725 ton pertahun. Perbandingan dari gabah menjadi beras kan 60 : 40, jadi kalau perhektar padi organik menghasilkan 8 ton atau setara beras 4,2 ton, kan bisa dihitung berapa areal pertanian padi yang harus berproduksi,” paparnya.
Demikian juga kentang, wortel dan sayuran. Jika diketahui luasan arealnya secara pasti dan tingkat produksi perhektarnya, maka bisa dihitung produksi sayuran tersebut selama setahun. Termasuk menghitung kebutuhan pupuk organik perhektar dan pertahunnya.
“Kalau kita ingin kerja sama pemasaran dengan jaringan ritel modern, maka harus diketahui secara pasti kemampuan kita. Kalau tidak, maka kita akan dikomplain,” tukas mantan Kadinkes Kota Batu tersebut.
Lebih lanjut dikatakan, sedangkan untuk mengevaluasi hasil pertanian organik, maka petani harus diajarkan manajemen pertanian. Sehingga mereka mereka mengetahui secara pasti perbandingan budi daya pertanian organik dengan pertanian menggunakan pupuk kimia.
Kalau tidak diberikan hitung-hitungan secara riil, maka petani akan ragu untuk budi daya pertanian organik. “Ketakutan semacam itu wajar, karena aktifitas pertanian merupakan pencaharian hidup. Ketika gagal, maka mereka akan menerima dampaknya hingga beberapa bulan ke depan,” tegasnya.
Kebijakan memberi insentif Rp 1 juta kepada petani yang melakukan budidaya organik memang perlu, namun tidak bisa dilakukan secara terus menerus karena kurang mendidik. Apalagi nilai uang sebesar itu tidak sebanding jika mereka gagal panen. [sup]

Tags: