Datangkan Pemateri KPK, Gelar Sosialisasi Pelaporan Gratifikasi di Situbondo

Anjas Prasetiyo dan Afildawina Fakhriah, pemateri dari Direktorat Gratifikasi KPK Jakarta saat memberikan paparan dihadapan Bupati dan Sekda serta seluruh pimpinan OPD dilantai II Pemkab Situbondo, Rabu (13/2). [sawawi/bhirawa]

Situbondo, Bhirawa
Pemkab Situbondo melalui Inspektorat mengadakan kegiatan sosialisasi pelaporan dan pengendalian gratifikasi di lantai II Pemkab Situbondo Rabu (13/2).
Hadir diantaranya Bupati Situbondo Dadang Wigiarto bersama Sekretaris Daerah Situbondo Syaifullah, yang membuka kegiatan Sosialisasi Pelaporan dan Pengendalian Gratifikasi kemarin.
Pemkab mengundang dua pemateri yang berasal dari Direktorat Gratifikasi KPK Jakarta, Anjas Prasettiyo dan Afildawina Fakhriah.
Bupati Dadang Wigiarto mengatakan pemerintah terus berupaya untuk menciptakan lingkungan kerja yang bersih dan bebas dari korupsi maupun gratifikasi. Langkah ini, kata Bupati Dadang, dimulai dengan membuat kelompok agen perubahan hingga membentuk kode etik pegawai yang menjadi pedoman perilaku.
“Acara sosialisasi ini bertujuan agar jelas mana itu batasan-batasan dan mekanisme pemberian antar ASN, masyarakat maupun pihak ketiga. Sehingga tidak disebut gratifikasi,” jelas Bupati Dadang.
Karena itu, aku Bupati Dadang, dunia kerja tidak akan pernah lepas dari pengucapan terimakasih baik dari atasan kepada bawahan atau pihak ketiga, maupun sebaliknya.
Selama ini, lanjut Bupati Dadang, kegiatan yang disebut gratifikasi adalah sebuah pemberian yang melebihi batas kewajaran dan melanggar aturan yang ada. Namun saat ini, urainya, masih ada kebingungan dan ketidaktahuan ASN tentang batas wajar gratifikasi yang sesungguhnya.
“Sehingga, saya sampaikan terimakasih kepada pemateri dari Direktorat Gratifikasi KPK yang telah mau hadir di Situbondo. Untuk memberikan wawasan tentang batasan, pedoman dan mekanisme pelaporan dan pengendalian gratifikasi,” terang Bupati Dadang.
Sementara itu, pemateri dari Direktorat Gratifikasi KPK Anjas Prasetiyo dan Afildawina Fakhriah mengungkap soal gratifikasi, suap dan pemerasan merupakan hal yang berbeda.
Disebut gratifikasi, aku Anjas, jika terjadi pemberian melebihi batas kewajaran kepada ASN dengan jabatan tinggi dari masyarakat atau pihak ketiga yang diatur pasal 12B dan 12C UU Tipikor tahun 2001. Biasanya pemberian ini, akunya, dilakukan secara mendadak dan ASN bersifat pasif.
“Agar tidak terkena gratifikasi, maka ASN wajib melaporkan hal itu ke KPK. Nanti dianalisis oleh KPK dan akan ditentukan apakah pemberian tersebut menjadi hak milik negara atau pelapor,” beber Anjas.
Masih kata Anjas, sebuah laporan gratifikasi dapat dilakukan secara online di laman https://gol.kpk.go.id. Selanjutnya, kupas Anjas, pelapor akan mendapatkan perlindungan dari berbagai bentuk tekanan, termasuk akan dirahasiakan identitasnya demi untuk menjaga hubungan baik antara pelapor dan pemberi.
“Nanti akan mendapatkan sertifikat sebagai bukti pelaporan, sehingga jika ada orang lain yang menuduh menerima gratifikasi maka secara hukum pelapor akan bebas. Hal itu berlaku dalam tenggat waktu 30 hari sejak menerima pemberian,” pungkas Anjas.
Sementara itu pemberian suap adalah kegiatan yang bersifat transaksional, kupas Anjas, seperti terjadinya perjanjian antara pemberi dan penerima serta banyak dilakukan secara tertutup.
Anjas mencontohkan salah satu pengusaha menyuap pejabat pemerintah, karena ingin mendapatkan proyek. Lalu, adanya pemerasan, sambung Anjas, biasanya dilakukan oknum pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan dan diawali pemaksaan sepihak dari pejabat (penerima).
“Itu semua contoh, termasuk pejabat pemerintah memaksa calon tender untuk memberikan sejumlah uang. Dengan disertai ancaman jika tidak dilakukan maka tidak akan diberi atau bahkan proses tendernya digugurkan,” pungkas Anjas. [awi]

Tags: