Daya Tahan Masyarakat Konstruksi Hadapi Liberalisasi

wahyu kuncoroOleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa ;  Alumnus Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya

Pada akhir tahun 2015 ini, Indonesia akan memasuki era baru dalam sejarah pergaulan bangsa-bangsa di kawasan ASEAN, yaitu berlakunya Masyarakat Ekonomi Asean MEA) atau Asean Economic Community (AEC). Konsekuensi diberlakukannya MEA adalah hilangnya hambatan tarif/non-tarif, terbukanya akses pasar dan perlakuan non-diskriminasi aliran jasa dan investasi serta mobilitas tenaga kerja yang lebih bebas.
Menghadapi era liberalisasi dalam bingkai MEA, Indonesia perlu belajar dari pengalaman pahit ketika menghadapi ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) Partnership yang berlaku sejak 1Januari 2005. Tujuan dari ACFTA adalah membuka market access yang selebar-lebarnya sehingga memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak yang lebih kurang sama besarnya, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan melalui proses negosiasi yang dilakukan dengan cara request dan offer.  Jadi tidak cukup dengan hanya melihat potensi pasar Cina yang besar, tetapi apakah memang ada kemungkinan untuk meningkatkan ekspor ke sana. Saat itu, Indonesia sama sekali belum siap sehingga ketika kerja sama ini direalisasikan atau mulai berlangsung, pasar Indonesia justru dibanjiri produk-produk dari Tiongkok. Parahnya lagi, selama kerja sama ACFTA berjalan, industri Indonesia belum menunjukkan suatu kemajuan.  Pengalaman pahit ini tentu diharapkan tidak akan terulang saat era MEA berlaku mulai penghujung 2015 nanti.
Pemain Utama di Sektor Konstruksi
Pengalaman tidak mengenakan sebagaimana paparan di atas, seharusnya membuat Indonesia lebih bersiap dalam menghadapi liberalisasi perdagangan barang dan jasa khususnya di sektor konstruksi ketika MEA berlaku nanti. Apalagi,  pasar di sektor konstruksi di Indonesia sedemikian luas biasa besarnya.
Sekadar catatan, pada tahun 2014 kemarin, Indonesia tercatat sebagai pasar jasa konstruksi terbesar di ASEAN. Sementara kalau di level Asia, Indonesia tercatat sebagai urutan keempat pasar jasa konstruksi dengan nilai US$ 267 miliar di bawah Tiongkok (US$ 1,78 triliun), Jepang (US$ 742 miliar), dan India (US$ 427 miliar). Bahkan jika pertumbuhan sektor konstruksi bisa sesuai harapan, Indonesia berpotensi berada di urutan tiga besar di Asia menggeser India.
Terbukanya lalu lintas jasa konstruksi dalam MEA bisa berdampak pada membludaknya ahli konstruksi dari negara-negara ASEAN ke Indonesia. Pertanyaannya, peran apa yang ingin dimainkan para pelaku jasa dan industri konstruksi di tanah air dalam panggung MEA nanti. Ingin menjadi pemain utama, pemain figuran atau malah jadi sekadar penonton saja?
Jawabannya tentu ditentukan bagaimana kesiapan SDM konstruksi di tanah air. Kalau ingin menjadi pemain utama,  peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu faktor kunci dalam rangka mempertahankan dominasi terhadap pasar konstruksi nasional dan bahkan untuk melakukan penetrasi pasar di luar negeri, terutama negara-negara ASEAN dan Timur Tengah.
Kekuatan jasa konstruksi itu terletak pada keunggulan sumber daya manusia (SDM). Tidak hanya hanya sebagai tenaga kerja atau tenaga ahli, tetapi juga sumber daya manusia yang diperlukan untuk menguasai dan mengembangkan teknologi.
Badan dan usaha jasa konstruksi Indonesia sejatinya sudah cukup besar jumlahnya. Namun sebagian besar adalah usaha skala menengah dan kecil. Jumlah tenaga kerja kita juga cukup banyak, tetapi jumlah tenaga ahlinya masih rendah atau dengan kata lain kebutuhan tenaga terampil kompeten yang berdaya saing utamanya dalam menghadapi liberalisasi nanti masih harus terus ditingkatkan.
Peningkatan daya saing tersebut dapat ditunjang dengan pembentukan regulasi dan kebijakan persaingan pembangunan infrastruktur, sertifikasi pelaku industri dan jasa konstruksi, serta peningkatan keahlian dan ketrampilan.
SDM konstruksi di Indonesia perlu mengadopsi dan mempelajari teknologi baru di semua jenis konstruksi bangunan. Bukan itu saja, untuk meningkatkan kualitas SDM di sektor konstruksi, maka perlu mendorong badan usaha untuk menjadi spesialis. Sehingga ke depannya, setiap ada pekerjaan dari kontraktor akan langsung diserahkan pada spesialis di bidangnya masing-masing.
Sektor Konstruksi Semakin Seksi
Sektor konstruksi memegang peranan penting dalam perekonomian bangsa Indonesia hari ini. Dengan pertumbuhan yang mencapai rata-rata 7 persen per tahun, sektor konstruksi menyumbangkan hingga 10 persen PDB nasional. Dengan demikian,  sektor konstruksi merupakan sektor yang sangat penting dalam berkontribusi pada PDB secara nasional.
Dalam 20 tahun terakhir, pembangunan infrastruktur Tanah Air tumbuh sangat pesat. Bahkan dalam beberapa tahun belakang ini para pelaku konstruksi Indonesia terlihat mulai merambah dan bekerja bekerja di pasar internasional. Kita lihat sektor konstruksi di Malaysia itu banyak orang Indonesia yang mengerjakan baik dari tenaga menengah sampai tenaga terampil, di Filipina juga. Tenaga ahli Indonesia, saat ini bahkan sudah banyak dipercaya melakukan pekerjaan konstruksi di Saudi Arabia dan Aljazair.
Kebijakan pemerintah yang membolehkan kepemilikan warga negara asing terhadap properti diyakini akan semakin memperbesar pasar sektor konstruksi nasional yang telah mencapai 267 miliar dolar AS atau sekitar Rp3.500 triliun pada 2014 kemarin. Masalahnya, kita ini siap atau tidak untuk mengambil peran itu. Jangan sampai besarnya kue di sektor konstruksi properti itu justru diambil oleh kontraktor-kontraktor asing.
Sebelum ada regulasi ini, pasar konstruksi diproyeksikan tumbuh sebesar 14 persen pada tahun 2015 ini. Dengan dibukanya sektor properti untuk warga negara asing (WNA) maka pertumbuhan sektor konstruksi akan lebih besar lagi. Sektor ini akan semakin cemerlang dengan adanya kepemilikan asing di sektor properti. Sektor konstruksi ini menjadi sangat menggiurkan mengingat pemerintah juga tengah menggenjot percepatan pembangunan infrastruktur. Terbukti dalam struktur RAPBN-P 2015, sektor konstruksi menjadi prioritas yang akan digarap Pemerintahan Presiden Joko Widodo saat selain dari sektor pangan untuk swasembada pangan.
Pasar konstruksi yang demikian strategis dan menggiurkan tersebut tentu harus bisa dimanfaatkan betul oleh para pelaku jasa dan industri sektor konstruksi di tanah air. Kalau tidak maka potensi tersebut hanya akan menjadi makanan empuk bagi negara-negara ASEAN lain yang lebih siap SDMnya.
Kita tentu sangat berharap diberlakukannya MEA mendatang, Indonesia tidak hanya akan menjadi penonton di rumah sendiri, namun bisa menjadi aktor utama bukan saja di pasar domestik tetapi juga bisa bertarung di pasar konstruksi ASEAN.
Menagih Komitmen Pemerintah
MEA merupakan peluang untuk memperluas pasar jasa konstruksi namun pada saat bersamaan juga kita harus bersiap bersaing dengan derasnya kehadiran penyedia jasa dan tenaga kerja konstruksi asing serta barang-barang konstruksi impor. Tidak ada pilihan lain selain kita harus memperkuat kapasitas dan kompetensi potensi dalam negeri. Kalangan jasa konstruksi perlu meningkatkan kapasitas dalam hal teknis, manajemen, dan sumber daya manusia agar dapat bersaing dan memasuki pasar jasa konstruksi, termasuk di luar negeri.
Pemerintah harus berkomitmen untuk mendorong dan memfasilitasi perluasan akses pasar konstruksi ke negara-negara anggota ASEAN. Antara lain melalui pengurangan hambatan akses pasar, promosi pelaku konstruksi nasional, diplomasi bisnis, fasilitasi akses permodalan dan penjaminan, perjanjian penghindaran pajak ganda, serta informasi pemetaan pasar dan lingkungan usaha di negara tujuan.
Pemerintah rasanya juga harus mencarikan jalan keluar agar investasi alat berat untuk mengembangkan sektor konstruksi di Indonesia bisa berkembang secara baik. Investasi alat berat relatif mahal, sehingga kepemilikan alat berat harus memenuhi kriteria kualitas, umur, layanan, produktivitas, dan biaya operasi dan pemeliharaan yang layak. Selain itu, mayoritas komposisi kontraktor nasional masuk dalam kelompok klasifikasi kecil dan menengah sehingga menghadapi kesulitan berinvestasi alat berat.
Untuk itu, berbagai BUMN yang bergerak di bidang infrastruktur harus diberikan kemudahan akses modal agar bisa  lebih agresif dan ekspansif guna membangun beragam infrastruktur. Harapannya, dengan cara semacam ini sebagian besar APBN dapat diarahkan untuk pembiayaan pembangunan proyek-proyek infrastruktur yang tidak feasible secara bisnis seperti misalnya di Kawasan Timur Indonesia (KTI).

                                                                                                               ——- *** ——–

Tags: