Debat Capres dan Isu Konflik Agraria

Oleh :
Umar Sholahudin
Mahasiswa S-3 FISIP Unair Surabaya, sedang menulis Disertasi tentang Konflik Agraria di Jatim

Dalam debat Calon Presiden (Capres) ke 2 (17/2/2019), Capres Joko Widodo, mengatakann, selama periode pertama pemerintahannya tidak terjadi konflik dalam pembebasan lahan untuk pembangunan infrastruktur. Namun apa yang diungkapkan Jokowi bertolak belakangan dengan fakta yang terjadi. Berdasarkan laporan tahunan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 2018, menyebutkan telah terjadi 410 kejadian konflik agraria dengan luasan wilayah konflik mencapai 807 ribu hektare dan melibatkan 87 ribu lebih kepala keluarga di berbagai provinsi di daerah. Dari jumlah tersebut, 16 konflik atau 4 persen disumbangkan oleh sektor infrastruktur. Secara akumulatif, menurut KPA, sejak kepemimpinan Jokowi, sedikitnya 41 orang tewas di berbagai wilayah konflik agraria, 546 dianiaya, 51 orang tertembak, dan sebanyak 940 petani dan pejuang agraria dikriminalisasi (www.kpa.or.id)
Melihat fakta yang terjadi, dapat diambil sebuah hipotesa; semakin giat pembangunan infrasturtur ekslusif, maka akan semakin tinggi tingkat konflik agraria di masyarakat. Seiring dengan ekspansi pembangunan sebuah daerah, nilai tanah telah berubah fungsi, yakni nilai dan fungsi ekonomik semata. Nilai tanah berubah menjadi barang komoditas yang layak diperebutkan untuk kepentingan ekonomi dan pembangunan. Tanah bukan lagi milik bersama, tetapi sudah dikapling-kapling menjadi milik perorangan. Terkait hal itu, Peneliti dan pengamat ekonomi dari The Institute For Global Justice (IGJ) Salamudin Daeng, mengungkapkan, kepemilikan lahan secara besar-besaran ini dilindungi Undang-Undang No 25 Tahun 2007. Sejak 2007 para pemilik modal diperbolehkan menguasai lahan paling lama 95 tahun. Ditambahkannya, hingga kini 175 juta hektar atau setara 93 persen luas daratan di Indonesia dimiliki para pemodal swasta/asing. Ketimpangan peruntukan dan penggunaan tanah meliputi masalah perubahan fungsi tanah yang berkembang dengan sangat cepat, sebagai akibat dari pembangunan yang bersifat sektoral. Masalah alih fungsi tanah pertanian ke non-pertanian berlangsung cepat. Modernisasi yang hampir selalu ditandai dengan pembangunan infrastruktur pendukungnya, menyebabkan semakin tergusurnya area-area persawahan di Indonesia. Tanah sudah menjadi barang komoditas yang menguntungkan para pemilik modal. Ada segelintir elite, yaitu 0,2 persen penduduk, menguasai 56 persen aset nasional dalam bentuk kepemilikan tanah
Dalam karya klasiknya The Great Transformation, Karl Polanyi (1944) sudah menegaskan bahwa tanah dan kekayaan alam bukanlah komoditi atau barang dagangan, dan tidak sepenuhnya bisa diperlakukan sebagai komoditi. Memperlakukan tanah (dan alam) sebagai barang dagangan dengan memisahkannya dari ikatan hubungan-hubungan sosial yang melekat padanya niscaya akan menghasilkan guncangan-guncangan yang akan menghancurkan sendi-sendi keberlanjutan hidup masyarakat itu, dan kemudian akan ada gerakan tandingan untuk melindungi masyarakat dari kerusakan yang lebih parah. Meski tanah di negara-negara agraris merupakan kebutuhan dasar, namun ternyata struktur kepemilikan tanahnya timpang. Sehingga tidak mengherankan jika tanah menjadi harta istimewa yang tidak henti-hentinya memicu berbagai masalah sosial yang kompleks dan rumit. Di satu pihak, ada individu atau kelompok orang yang memiliki dan menguasai tanah secara berlebihan, namun di lain pihak ada kelompok orang yang sama sekali tidak memiliki tanah. Ketimpangan atas pemilikan tanah inilah yang sering menimbulkan permasalahan tanah di negara agraris menjadi salah satu sumber destabilisasi politik.
Konflik Hukum
Pertentangan dan perebutan kepentingan di antara para pihak (negara, korporasi, dan masyarakat lokal) dalam konflik agraria berlangsung sangat kompleks. Selain terkait dengan masalah sosial, politik, dan ekonomi, juga terkait dengan masalah hukum. Ada konflik hukum dalam persoalan konflik agraria, yakni yakni antara hukum negara dan hukum rakyat. Dalam konflik agraria, di satu sisi, negara dalam hal ini, pemerintah daerah dan perangkat lainnya menggunakan ketentuan-ketentuan hukum yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan hukum negara yang dianggap benar dan legitimate. Di sisi lain, masyarakat lokal yang sudah bertahun-tahun hidup dan mendiami tanahnya sebagai bagian inherent dalam kehidupannya selama ini, menggunakan hukum masyarakat atau hukum adat untuk memperoleh hak kepemilikan atas tanahnya.
Secara sosiologis, realitas masyarakat indonesia adalah realitas masyarakat yang beragam dalam berbagai hal, termasuk hukumnya. Mereka punya kelaziman-kelaziman dan tradisi turun temurun, mempunyai hukum tradisional yang digunakan mengatur antara lain pembagian tanah dan konflik, bahkan punya lembaga-lembaga yang bertugas menyelesaikan berbagai persoalan atau lebih dikenal dengan hukum masyarakat. Pada saat yang sama, negara berusaha ‘memaksakan’ hukum nasional untuk diberlakukan ke seluruh masyarakat tanpa perbedaan perlakuan. Adakalanya hukum nasional yang ingin dipaksakan itu tak sesuai dengan kelaziman masyarakat. Maka, ketika hal itu terjadi, hukum negara yang tak sesuai dengan ‘hukum’ rakyat itu cenderung tak akan dipilih. Bukan mustahil masyarakat akan melawan (Safitri, 2011:28).
Di dalam persoalan agraria, misalanya. Hukum positif negara, termasuk konstitusi, berusaha mengakui eksistensi hukum adat. Tetapi dalam praktik, konflik agraria, konflik pertambangan, dan konflik kehutanan menunjukkan masyarakat adat tetap dalam posisi marjinal. Benturan-benturan yang terjadi di lapangan dalam pengalokasian tanah dan kekayaan alam akan selalu melahirkan konflik sosial dengan korban terbesar adalah masyarakat hukum adat (Safitri, 2011;91). Berbeda dengan hukum masyarakat yang bersifat bottom-up dan mampu menjamin terwujudnya keadilan, hukum negara -yakni hukum positif yang dilahirkan oleh aparat negara- tidak otomatis merupakan hukum yang sesuai dengan cita-cita keadilan masyarakat, bahkan sering kali merupakan produk yang dirasa asing oleh masyarakat. hukum negara sering berperan sekedar sebagai alat legitimasi bagi elit yang berkuasa, dan lebih jauh lagi dipersiapkan untuk melanggengkan kekuasaan, yang dilakukan baik dengan cara-cara yang sifatnya represif maupun hegemonik (Lubis, 1986:11-12).
Keadilan Agraria
Konflik agraria membutuhkan solusi yang berkeadilan. Akses terhadap tanah dan sumber daya alam merupakan inti dari masalah keadilan agraria. Keadilan agraria dapat diwujudkan melalui kebijakan reforma agraria yang lebih subtansial, tidak sekedar “bagi-bagi tanah beserta sertifikasi”. Masalah agraria, timbul terutama berakar pada masalah ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan sumber-sumber daya agraria lainnya. Menurut Ida Nurlinda (2015), reforma agraria tetap harus dilaksanakan dalam koridor negara kesejahteraan (wellfare state) sebagaimana yang menjadi dasar filosofis dibentuknya negara republik indonesia, untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia, bukan untuk maksud menumpukan tanah dalam penguasaan negara dan selanjutnya negara boleh mendistribusikannya tanpa tujuan yang jelas, apalagi hanya untuk mengakomodir kepentingan kapitalis. Reforma agraria yang berkeadilan harus diorientasikan pada pembentukan struktur hukum pertanahan yang mengandung tiga hal, yakni kepastian dan perlindungan hukum, keadilan, serta kemakmuran rakyat yang dilandasi oleh spirit pasal 33 UUD 1945.

———– *** ————

Rate this article!
Tags: