Debat Presidential Threshold

foto ilustrasi

DPR telah mengesahkan UU Pemilu 2019, dengan menyertakan prsidential threshold 20% dan 25%. Pengesahan berjalan alot, sampai saat-saat akhir. Bahkan tidak diperoleh kesepakatan (musyawarah mufakat). Voting fraksi, menjadi keniscayaan, dimenangkan enam partai politik (parpol) pemerintah. Empat fraksi lain melakukan walk-out, tanda tidak setuju. Maka hampir bisa dipastikan, UU Pemilu serentak (dengan pilpres) akan menghadapi judicial review.
Presidential threshold (PT), menjadi titik krusial UU Pemilu. PT, merupakan persyaratan pengajuan presiden. Dengan PT sebesar 20%, berarti seorang capres harus memperoleh 20% perolehan “kursi” parpol atau gabungan parpol di DPR. Atau sebanyak 25% dari total perolehan suara pemilu legislatif. Pilpres periode (tahun 2014) lalu juga sebesar itu. Ironisnya, tiada parpol yang bisa meraih 20% kursi di DPR. Lebih lagi tiada yang bisa memperoleh 25% suara pemilu legislatif (pileg).
Tetapi, persyaratan PT (20% dan 25%) pernah dii-uji materi di MK (Mahkamah Konstitusi), tahun 2013. Namun terjadi kisruh, karena bersamaan dengan penangkapan Ketua MK oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Sehingga pembacaan putusan MK nyaris kedaluwarsa. tragedi itu bisa menjadi pemikiran, apakah penetapan MK mutlak berlaku sejak ditetapkan, atau sejak dibacakan?
Berdasarkan UUD pasal 24C ayat (1) putusan MK bersifat final. Amanat UUD ini menyatakan “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar….” Berdasarkan berita acara permohonan uji materi terhadap UU Nomor 28 tahun 2008, keputusan majelis hakim konstitusi telah dibuat pada 26 Maret 2013.
Namun pembacaan putusan baru dilakukan pada 23 Januari 2014 (berselang 10 bulan). Keputusan majelis hakim MK dimaksud, berdasarkan permohonan judicial review oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak. Uji materi sudah selesai diputuskan dalam RPH (Rapat Permusyawaratan Hakim) pada 26 Maret 2013. Isinya, majelis MK mengabulkan gugatan untuk menyatukan pemilihan umum legislatif (pileg) dengan pemilihan presiden (pilpres).
Tentang substansi materi judicial review (penyelenggaraan pemilu legistaif, dan pemilihan presiden), digabung atau tidak digabung, sebenarnya tidak terlalu bermasalah. Tidak ada perintah dalam UUD untuk menggabungkan pileg dan pilpres dalam satu paket pemilihan umum. Begitu pula keduanya diatur dalam UUD, pada pasal yang berbeda. Amanat tentang pilpres langsung diatur pada pasal 6A (dengan 5 ayat), sedangkan pileg diatur pada pasal 19.
Bedanya, pasal tentang pilpres diperbaiki pada amandemen ketiga (10 November 2001). Sedangkan pileg lebih tua (hasil amandemen kedua, 18 Agustus 2000). Karena putusan MK baru dibacakan pada 23 Januari 2014, terdapat alasan permisif untuk menunda pelaksanaan putusan sampai pileg dan pilpres serentak pada tahun 2019. Boleh jadi, andai dibacakan pada saat diputuskan (26 Maret 2013 lalu), putusannya bisa dilaksanakan. Pileg dan pilpres bisa bersamaan.
Judicial review yang diajukan adalah pasal 3 ayat (5) UU Nomor 42 tahun 2008 tentang Pilpres. Pasal induk ini berakselerasi dengan pasal 9 (tentang presidential threshold), pasal 12 ayat (1) tentang parpol pengusung, serta pasal 112 (tentang waktu pilpres). Dengan dikabulkannya gugatan (pilpres dan pileg bersamaan), maka beberapa pasal dalam UU 42 tahun 2008  menjadi tidak relevan. Antaralain pasal 9 tentang presidential threshold.
Artinya, seluruh parpol peserta pemilu, masing-masing boleh mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Maka boleh jadi, MK akan menjadi “penghulu” untuk menentukan urgensi presidential threshold. Dengan timbangan utama UUD. Jika dianggap tidak urgen, maka pilpres tahun 2019 pasti diikuti lebih banyak calon presiden.

                                                                                                                    ———   000   ———

Rate this article!
Tags: