Debat Stimulasi Sikap Politik Publik

jk-vs-hatta-copy-585x330Jakarta, Bhirawa
Debat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dinilai merupakan alat efektif untuk menstimulasi publik dalam menentukan sikap politiknya, kata Associate Director Awesometric Tomi Satryatomo.
Tomi Satryatmoko di Jakarta, Minggu, mengatakan pemberitaan media mulai memanas saat penetapan calon Presiden dan Calon Wakil Presiden.
“Tapi, perbincangan publik semakin tajam saat debat Capres. Itu berarti debat merupakan alat efektif untuk menstimulasi publik dalam menentukan sikap politiknya.” Awesometric, perusahaan yang bergerak di bidang monitoring media berbasis internet melakukan pantauan berseri sejak 10 April hingga 25 Juni 2014.
Berdasarkan perhitungan jumlah mentions, pasangan Prabowo-Hatta unggul di media sosial (facebook 478.506 posting dan twitter 8.768.106 twit) berbanding dengan Jokowi-JK (facebook 216.262 dan twitter 5.415.993).
Namun di media online berbahasa Indonesia, Jokowi-JK sedikit unggul (316.062) dibanding Prabowo-Hatta (237.770). Sedang di media online berbahasa Inggris, Prabowo-Hatta unggul tipis (2.272) dibanding Jokowi-JK (1.699).
Menurut dia terlihat pergeseran yang menarik, Prabowo-Hatta mendominasi media sosial untuk basis kelas menengah-bawah-desa (facebook) maupun kelas menegah-atas-kota (twitter). Sementara Jokowi-JK masih menjadi media darling di berita online.
“Dinamika komunikasi menggambarkan kompetisi yang ketat untuk mempengaruhi persepsi publik dan meningkatkan elektabilitas kandidat,” katanya.
Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Yon Mahmudi, berpendapat pilpres dengan dua pasangan kandidat akan menghemat biaya politik.
“Namun, biaya sosial meningkat karena terjadi ketegangan dan renggangnya hubungan antara kelompok yang berbeda pilihan politik,” kata Yon.
Yon yang juga Vice Director Institute of Leadership Development UI itu mengatakan kedua capres dipersepsi publik mencerminkan dua gaya kepemimpinan yang berbeda.
Prabowo dipersepsi sebagai figur yang tegas, berani dan membawa ketertiban, sedangkan Jokowi mewakili sosok yang merakyat, komunikatif, dan membangun kebersamaan.
“Manakah diantara kedua karakter itu yang disukai rakyat Indonesia? Presiden yang terpilih nanti akan melahirkan kultur kepemimpinan baru yang berbeda dengan pemimpin sebelumnya. Yang penting, apakah gaya kepemimpinan itu efektif mendorong reformasi birokrasi dan meningkatkan kualitas pelayanan publik,” kata Yon.
Direktur Eksekutif CIR Sapto Waluyo menelusuri karakter Netizen (publik yang mengakses internet) apakah sama dengan the real Citizen (warga negara) yang tinggal di berbagai daerah dengan kondisi beragam.
“Kita menyaksikan perbincangan yang panas di dunia maya, bahkan terjadi twitwar (perang virtual). Di lapangan juga mulai terlihat bentrok antara pendukung capres, bahkan ancaman provokasi kekerasan seperti di Yogyakarta,” kata Sapto.
Hal itulah yang menurut dia sudah saatnya Indonesia melakukan mekanisme kontrol di media sosial.
Sementara itu Staf Khusus Menkominfo Ahmad Mabruri mengatakan selama ini pemerintah menjamin kebebasan berpendapat sesuai konstitusi, tapi juga menjaga stabilitas sosial-politik.
“Keseimbangan peran perlu dilakukan di masa Pilpres, jangan sampai terjadi benturan, apalagi konflik yang meluas sehingga menggoyahkan stabilitas nasional,” kata Mabruri.  [ant. ira]

Rate this article!
Tags: