Deklarasi Darurat Iklim

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerukan setiap pemimpin negara men-deklarasi-kan darurat iklim. Bahkan Uni Eropa (UE) sepakat menurunkan emisi (minimal) 55% pada tahun 2030. Walau UE berkewajiban “membayar” penyediaan zat karbon kepada negara berkembang. Termasuk Indonesia yang memiliki jutaan hektar hutan lindung, dan taman nasional, yang mensuplai oksigen dunia. Serta dukungan budaya daerah.

Dua puluh negara maju, menjadi penyumbang terbesar emisi gas buang. Terutama negara-negara di kawasan utara. Tak terkecuali peluncuran satelit di Amerika, dan Perancis, menjadi kendaraan pembuang emisi terbesar. Berdasar komitmen (protokol) Kyoto dan Konvensi Iklim di Bali, negara maju berkewajiban membayar suplai zat karbon. Sedangkan negara berkembang yang masih memiliki hutan cukup memadai, berhak menerima anggaran untuk pemeliharaan lingkungan.

Indonesia dengan iklim hujan tropis, memiliki potensi sangat besar mensuplai zat karbon berbayar. Tidak sulit “meng-hutan-kan” kembali areal permukiman, karena didukung budaya. Misalnya melalui gerakan budaya “sedekah bumi” hampir di setiap perkampungan. Lazim digelar tasyakuran (bersyukur dengan melimpahnya panen hasil bumi). Serta melibatkan seluruh masyarakat memperbaiki lingkungan. Tak jarang diikuti pergelaran seni budaya, dipusatkan dekat pohon terbesar.

Dunia internasional baru mengenal “sedekah bumi” dengan menyelenggarakan “Hari Bumi,” pada tahun 2000. Dilakukan aksi bertema merawat bumi dan menanam pohon. “Setiap jiwa menanam pohon.” Begitu bunyi jargon yang banyak dipajang di kota-kota metropolitan dunia. Di Indonesia lingkungan hidup yang bersih, bukan sekadar propaganda oleh LSM, melainkan amanat konstitusi. UUD pasal 28H ayat (1), hasil amandemen kedua, telah dibuat jauh sebelum Protokol Kyoto.

Bahkan sudah banyak daerah (pemerintah propinsi serta Pemkab dan Pemkot) membuat program penanaman sejuta pohon. Ada pula yang mewajibkan, sebagai pengurusan akte kelahiran diwajibkan menanam (membeli) pohon. Membuktikan bahwa bangsa Indonesia sangat peduli lingkungan (walau terdapat tragedi pembakaran hutan secara masif). Kerugian tak ter-perikan mencapai lebih dari Rp 200 trilyun, akibat kebakaran hutan dan lahan.

“Darurat iklim” dampak efek rumah kaca (pemanasan global). Meteorolog se-dunia, meng-kategorikan perubahan cuaca saat ini sebagai darurat iklim. Bumi makin panas. Kenaikannya tiga kali lipat selama 20 tahun. Penyebab kenaikan suhu dipastikan dari efek “rumah kaca.” Yakni dari emisi gas buang jutaan kendaraan bermotor, dan jutaan pabrik. Pemanasan global juga dihembuskan dari aktifitas rumah tangga serta perkantoran (penggunaan lampu dan alat elektronika lainnya).

Kota-kota megapolitan di dunia menyumbang global warming paling masif. Termasuk Jakarta. Sebagai kota megapolitan (terbesar ke-empat) di dunia, disesaki sebanyak 19 juta kendaraan bermotor. Angka ini tumbuh sebesar 5%. Komposisinya terdiri dari sepedamotor 49%, mobil 38%, dan angkutan umum 13%. Ironisnya, jumlah armada angkutan umum makin berkurang. Banyak bus, telah “dikandangkan,” karena kondisinya sangat buruk. Seluruh kendaraan niscaya mengeluarkan emisi gas buang.

Suhu bumi naik 1,14 derajat celcius. Sangat mengkhawatirkan negara-negara maju. Tetapi ironis, negara-negara maju yang paling banyak mengeluarkan gas emisi, tidak mampu mencegah pemanasan global. Penghutanan kembali lahan menjadi misi utama penyelamatan iklim. Sampai pekarangan rumah juga perlu di-hutan-kan dengan menanam berbagai pohon. Setiap jengkal lahan di peremukiman bisa menjadi biosfir minimalis.

Kelestarian biosfer, menjadi tanggungjawab UNESCO (melalui berbagai program aksi). Kawasan biosfer merupakan “paru-paru” dunia, yang menyediakan 40% zat karbon. Selebihnya, zat karbon dihasilkan oleh hutan lindung, hutan rakyat, hutan kota, dan berbagai pohon yang ditanam. Indonesia masih menyimpan 51 hutan taman nasional, layak memperoleh “pajak” oksigen.

——— 000 ———

Rate this article!
Deklarasi Darurat Iklim,5 / 5 ( 1votes )
Tags: