Deklarasi

imagesOleh :
Moch Supriyadi
Direktur Riset ConcerN, Jakarta
Deklarasi tak semudah sebutannya, dan tak sebatas juga rangkaian 9 huruf D.E.K.L.A.R.A.S.I. Untuk menghadirkan kata ini banyak pertimbangan dan manuver politik. Banyak juga alasan, dan bagi-bagi kepentingan, yang kadang menafikkan kepentingan hajat dan harkat rakyat yang lebih luas. Hari Senin 19 Mei 2014 mungkin perlu dicatat bahwa dihari itulah dua pasangan Capres dan Cawapres mendeklarasikan dirinya dengan berbagai “cara” dan “gaya”.
Pasangan Jokowi-JK yang diusung PDIP, Nasdem, PKB, dan Hanura memilih Gedung Joeang sebagai saksi sejarah politiknya, sedangkan Prabowo-Hatta deklarasi di Rumah Polonia, yang keduanya sama-sama tempat bersejarah. Pasangan Jokowi-JK kelihatannya lebih memilih madzhab politik tradisional, deklarasi di Gedung Joeang dan menaiki sepeda “kebo” ke KPU untuk mendaftarkan diri.
Background pun yang melatarbelakangi keduanya tampak sederhana dan tradisional. Anyaman bambu (tradisi jawa dinamakan “sesek” atau “gebyok”) menjadi tanda kemiskinan. Tapi tidak semuanya bermakna demikian. Kalau kita melihat rumah makan tradisional, villa, atau hotel yang sudah banyak memakai sesek untuk aksesoris tambahan. Tapi terlepas itu semua, ada satu makna yang tidak bisa dilepaskan, yaitu: tradisional.
Teka-teki masyarakat terhadap sosok pendamping Jokowi akhir terjawab sudah. Lama rakyat menunggu, bahkan penasaran. Sosok JK mulai awal sudah menjadi pertimbangan Tim Sebelas (tim perumus PDIP untuk kepentingan Pilpres, termasuk yang memberikan keputusan dan usulan terhadap Capres dan Cawapres dari PDIP). Bahkan Jokowi sendiri pernah nyeletuk, namaku tidak lepas dari JK.
Jokowi-JK: Tepat dan Cermat
Keputusan parpol koalisi PDIP sangat tepat dan cermat yang telah memilih JK sebagai pendamping Jokowi. Banyak alasan dan pertimbangan untuk ketepatan tersebut, di antaranya: JK mempunyai track record pemerintahan selama 5 tahun mendampingi SBY pada masa pemerintahan yang belum stabil, pasca reformasi. Di samping itu, ada dua orang yang mempunyai masa konkrit di Partai Golkar, pertama Akbar Tandjung  dengan basis simpatisan di Jawa dan JK dengan basis simpatisan di Indonesia Timur.
Ketokohan JK di Indonesia Timur juga masih kuat. Walaupun akhir-akhir ini kajian akademik dan dalam buku saya sendiri yang berjudul “Demokrasi, Pemilu dan Isu SARA” tidak berkesimpulan demikian, tapi simpatisan JK dari aspek pengaruh etnis masih ada, walaupun tidak besar. Dalam pemilihan sampel penelitian, mereka adalah bagian terkecil yang masih mempercayai pengaruh SARA sebagai pertimbangan politik.
Akan tetapi PDIP dan Jokowi harus memberikan batas-batas kebijakan yang kokoh dalam menjalankan roda pemerintahan ke depan. Bagaimanapun juga, JK lebih menguasasi lika-liku pemerintahan di tingkat nasional dibandingkan Jokowi. Seperti halnya yang dilakukan Jokowi dengan Ahok di DKI Jakarta membagi “kavling” koordinasi di antara keduanya.
Nasib Golkar
Kalau istilahnya orang lagi pacaran, Partai Golkar lagi diujung kegalauan yang sangat berat. Bagaimana tidak, ARB yang sudah 5 tahun menyiapkan diri sebagai Capres akhirnya kandas, pasca Rapimnas Partai Demokrat yang memutuskan bersikap netral.  Sampai saat ini hanya Partai Golkar yang belum menyatakan sikap koalisi dan hanya ada pilihan untuk mendukung salah satu dari dua pasangan Capres dan Cawapres. Ke Jokowi-JK atau Prabowo-Hatta.
Perolehan Partai Golkar yang hanya 14% tidak mencukupi untuk mencapreskan ARB. Saat gerilnya politik untuk membangun koalisi digenjarkan, ARB terlihat pasrah dan menunggu bola, bukan sebaliknya.
Partai Golkar lebih beruntung Partai Gerindra, walaupun hanya mendapatkan 11% suara. Keberuntungan tersebut diukur dari koalisi yang didapatkannya dan akhirnya mencapai persyaratan presidential thershold untuk menjadi kendaraan pencapresan Prabowo-Hatta
Nasib Peserta Konvensi
Setelah Rapimnas Partai Demokrat dan memutuskan untuk bersikap netral, banyak yang kecewa. Kecewa karena manuver PD dan SBY yang tidak jelas arah politiknya. Saat PD diterjang gelombang politik, gebrakan SBY adalah membuat konvensi untuk menjaring tokoh-tokoh terbaik nasional sebagai Capres yang diusungnya.
Tapi perjalan konvensi PD tidak khusnul khotimah. Para peserta konvensi pun terlihat kecewa terhadap manuver politik SBY. Sebenarnya ada peluang untuk membuat poros tengah antara Partai Demokrat dan Partai Golkar. Apapun pertimbangannya poros tengah mampu menjadi obat kekecewaan peserta konvensi yang dinyatakan menang, konon Dahlan Iskan. Walaupun raut wajah DI terlihat “sumeh”, tapi ada kekecewaan yang terpendam, apalagi Anis Baswedan (Rektor Paramadina dan Peserta Konvensi PD).
Keputusan SBY yang tidak mengakomodasi keputusan konvensi, tambah menjadi bom waktu untuk kedepannya. Satu sisi, PD adalah partai baru yang belum mempunyai pengalaman oposisi (di luar pemerintahan), di samping itu, kemungkinan besar para peserta konvensi yang kecewa terhada SBY akan bermanuver dalam Pilpres 2014. Memang, keputusan yang tidak tepat, akhirnya akan mendatangkan masalah baru yang menjadi beban tambahan bagi PD ke depannya.
Tulisan yang ringan dan tak terarah ini semoga menjadi informasi dan pengalaman baru bagi dinamikan politik saat ini yang susah ditebak dan penuh akan kejutan. Kejutan memang tidak selamanya enak, kadang pahit dan kadang juga manis walaupun pahit di dalamnya. Itu lah politik yang katanya bang Iwan Fals penuh dengan intrik.

Rate this article!
Deklarasi,5 / 5 ( 1votes )
Tags: