Dekulturasi Bahasa Jawa?

Oleh :
Much Khoiri
Penggerak literasi, dosen, editor, dan penulis 40 buku dari Unesa Surabaya. Artikel ini pendapat pribadi.
Masih dalam suasana Hari Bahasa Ibu Internasional 21 Februari, saya mengajak masyarakat berbahasa ibu bahasa Jawa untuk melakukan refleksi berdasarkan hasil riset saya yang saat ini justru menunjukkan gejala lebih “lebih memprihatinkan”. Tujuannya bukan generalisasi, namun bisa jadi masukan untuk pendidikan keluarga dan language policy pihak penegak kebudayaan.
Dalam riset saya (2005, 2015) terungkap, pemilihan bahasa masyarakat Jawa di Perumnas KBD Gresik Jawa Timur terpola dalam campur kode (code-mixing) bahasa Jawa-bahasa Indonesia, bahkan lebih mendominankan bahasa Indonesia. Di hadapan budaya Jawa, perilaku pemilihan bahasa semacam itu sangatlah memprihatinkan, dan merupakan mara bahaya.
Di kalangan generasi muda kondisinya lebih memprihatinkan. Kompetensi komunikatifnya dalam bahasa Jawa rendah, dan karena itu sebenarnya mereka terancam untuk tercerabut dari kehidupan berbudaya Jawa atau sedang mengalami dekulturasi Jawa. Riset membuktikan, responden merasa gagal menerapkan tingkat tutur (undha usuk) bahasa Jawa dengan baik dan benar. Hanya 45.82% responden yang berkompetensi komunikatif baik/sangat baik; selebihnya (54.18%) berkompetensi komunikatif sedikit dan/atau cukup. Hal ini sebuah ironi situasi yang perlu direnungkan.
Tingkat tutur bahasa Jawa sudah dianggap sebagai sesuatu yang sangat rumit, dan sangat sulit diterapkan.
Ada keengganan serius di kalangan masyarakat Jawa untuk menggunakan tingkat tutur yang kontekstual dan situasional, bukan hanya karena faktor sosial yang menghambatnya melainkan juga keterbatasan pengetahuan linguistuik dan pragmatik bahasa Jawa. Akibatnya, mereka gagu atau kikuk saat berbahasa Jawa dengan benar.
Maka, tidaklah mengherankan bila mereka kemudian hanya memilih campuran bahasa Jawa-bahasa Indonesia, atau bahasa Indonesia saja sebagai bahasa pengantar.
Kini hanya sedikit generasi muda Jawa yang mampu memahami dan menerapkan berbagai ungkapan yang sesuai dengan ranah-ranah kebahasaan yang diperlukan.
Secara reseptif, pahamkah mereka makna dari ungkapan dengan konteks tuturan semisal aja “cedhak kebo gupak” (jangan dekat kerbau kotor)? Pahamkah mereka makna dari ungkapan sebagai wadah konsep semisal “memayu ayuning bawana” (mengatapi kecantikan dunia)?
Secara produktif, pernahkah mereka mempraktikkan ungkapan sebagai wujud rasa keindahan semacam “ora awur ora sembur” (tidak menabur tidak menyemprot)? Dan seringkah mereka menggunakan ungkapan sebagai satuan lingual semisal “ngono ya ngono ning aja ngono” (begitu ya begitu tetapi jangan begitu)?
Jangankan berkomunikasi dengan orang lain di luar rumah. Di dalam rumah pun, orangtua-anak etnis Jawa mengalami kemerosotan dalam pemakaian undha-usuk bahasa Jawa. Implikasinya, budaya Jawa sebagai akar dan landasan bahasa Jawa juga tidak bisa ditegakkan. Unggah-unggah atau subasita antara anak dan orangtua sudah semakin demokratis yang tentunya keluar dari pakem budaya Jawa. Banyak anak Jawa yang menyebut orangtua di depan teman-temannya dengan ebes dan memes.
Mereka telah mengalami suatu akomodasi sosial (dan bahasa) dalam kategori konvergen atau paling konvergen. Maksudnya, mereka yang berperilaku bahasa divergen (menarik diri ke dalam kaidah bahasa dan sistem budaya Jawa) sama sekali tidak sepadan dengan yang beraspirasi keluar atau bahkan telah keluar dari kaidah bahasa dan budaya Jawa. Mobilitas sosial terjadi seiring pergeseran pola penggunaan bahasa dalam komunikasi. Bahkan, dari perpspektif bahasa Jawa, adalah sebuah “kekalahan” tatkala makin banyak keluarga etnis Jawa yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar keluarga di rumah. (Menurut riset ini, penutur yang loyal pada bahasa Jawa 21.53%, yang mulai bergeser ke campuran bahasa Jawa-Indonesia 54.16%, dan yang benar-benar bergeser ke bahasa Indonesia 24.30%.)
Keluarga semacam inilah sebenarnya yang oleh politik bahasa unitaristik disebut sebagai nasionalis. Mereka agaknya lupa bahwa politik bahasa ini pernah diterapkan di Eropah dalam kasus negara Czeko dan Slovakia yang akhirnya disadari kekeliruannya.
Orang Jawa yang berbahasa Indonesia adalah orang yang sedang menikmati kesederhanaan bersopan-santun (bersuba-sita) karena bahasa Indonesia tidak mendukung budaya apapun. Jika ada seseorang yang mencoba bersopan santun dalam berbahasa Indonesia, dia sebenarnya sedang melakukan perilaku budaya etniknya sendiri dengan mengunakan bahasa Indonesia. Orang itu menurut Gardner termasuk compound bilingual.
Contoh berikut menunjukkan compound bilingual ini: (1) “Benar, ini nanti disuwunkan tapak asma?”, (2) “Maaf, pak. Ndara ibu sedang ngrawuhi upacara di pendapa kadipaten.”; (3) “Jangan lupa. Nanti kondur-nya miyos Sudirman saja.”; (4) Bapak tidak dhahar ta? Masak tindak kantor kok pagi banget?”
Selain makin banyaknya keluarga etnik Jawa yang berbahasa Indonesia sebagai bahasa keluarga, bahasa varian akrolek Jawa juga sudah mulai tak dapat dijaga keasliannya. Kalau kita menghadiri resepsi pernikahan adat Jawa pun, kita bisa menangkap ungkapan-ungkapan pembawa acara seperti berikut: (1) Kula atas nami keluarga manten kakung; (2) Kangge nyingkat wekdal; (3) Sae kakung utawi putri; (4) Maturnuwun atas karawuhan pajenengan; dan (5) Rumaos bangga dene putra kakungipun…”
Memang politik bahasa Indonesia yang unitaristik dan tidak bernilai budaya agaknya yang menjadi sebab terjadinya anomi, dekulturasi, sehingga korbannya tidak lagi mengenal, menghayati, dan mengamalkan simbol-simbol kognitif, dan yang paling mengerikan, tidak mengenal lagi simbol-simbol nilai moral-evaluatif etniknya, dan tidak bergerak ke akulturasi yang manapun karena hakikatnya bahasa Indonesia itu kosong budaya.
Lebih lanjut, riset memprediksikan, stratifikasi bahasa Jawa berangsur-angsur akan mengalami kemerosotan ketika undha-usuk bahasa Jawa tidak difungsikan oleh masyarakat penuturnya. Dalam dua atau tiga generasi mendatang, nasib bahasa Jawa akan kehilangan penerapan undha-usuk, dan akan menjelma dan melekat dengan bahasa Indonesia dengan “kramanisasi” bahasa Indonesia.
Orang akan menstratifikasi bahasanya dalam kehidupan berdasarkan stratifikasi sosial yang melatar-belakanginya. Implikasinya, jika masyarakat Jawa tidak lagi loyal menggunakan bahasa dan budaya Jawa, ada pertanyaan yang patut direnungkan: Apakah sebenarnya mereka masih orang Jawa? Dan “mereka” di sini bisa jadi adalah “kita” yang berbagi dalam konteks riset ini.
———– *** ————

Rate this article!
Dekulturasi Bahasa Jawa?,5 / 5 ( 2votes )
Tags: