Delapan Anak Pelaku Kejahatan Seksual Ditangkap

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini saat menanyai pelaku pencabulan berinisial MI yang masih duduk di kelas 3 SD di Mapolrestabes Surabaya, Kamis (12/5).  [abed nego]

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini saat menanyai pelaku pencabulan berinisial MI yang masih duduk di kelas 3 SD di Mapolrestabes Surabaya, Kamis (12/5). [abed nego]

Salah Satu Tersangka Lakukan Pencabulan Selama Sembilan Tahun
Polrestabes, Bhirawa
Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes Surabaya berhasil mengungkap kasus pencabulan terhadap Bunga (nama samaran) siswi kelas VII SMP. Parahnya lagi, delapan tersangka pencabulan masih berusia antara 9-14 tahun atau siswa kelas 3 SD hingga kelas IX SMP.
Atas pengungkapan anggota, petugas berhasil mengamankan delapan tersangka yakni MI (9) kelas 3 SD, MY (12) kelas 6 SD, BS (12) kelas 5 SD, JS (14) kelas VIII SMP, AD (14) kelas VIII SMP, LR (14) kelas IX SMP, AS (14) kelas IX SMP, dan HM (14) kelas IX SMP yang satu kampung di wilayah Kali Bokor Surabaya.
Kapolrestabes Surabaya Kombes Pol Iman Sumantri mengatakan sejak berusia 4 tahun, korban Bunga setubuhi oleh tersangka AS.    Merasa perbuatannya tidak diketahui orang lain, tersangka pun mengulangi perbuatannya berkali-kali. Mulai 2016,  saat mengulangi perbuatannya, tersangka juga mengajak teman-temannya.
Tidak hanya itu, untuk melancarkan aksinya itu para tersangka juga mencekoki korban dengan pil ekstasi, dan minuman keras sehingga korban dengan mudah dicabuli teman-temannya secara bergiliran.
Kombes Pol Iman mengatakan untuk tersangka yang rata-rata di bawah umur tetap menjalani proses hukum sesuai dengan UU Perlindungan Anak.
“Intinya proses hukum tetap berjalan sampai ke persidangan. Kita serahkan terhadap Unita atau pihak pihak yang menangani masalah kasus anak-anak,” kata Kapolrestabes Surabaya Kombes Pol Iman Sumantri kepada wartawan, Kamis (12/5).
Ditanya terkait hukuman bagi salah satu tersangka yang masih pelajar kelas 3 SD, Kombes Pol Iman menegaskan proses hukum tetap dijalankan. Nantinya, penyidik PPA akan mendalami kasus ini untuk mengetahui apa motif dari kasus ini, siapa yang mengajak dan siapa yang memberikan pembelajaran terkait kasus pencabulan yang melibatkan anak di bawah umur ini.
“Kejadian ini merupakan contoh dan pembelajaran bagi kita semua terutama orangtua agar memperhatikan lingkungan tempat tinggal anak. Ini seperti gunung es, dan saya mengimbau kepada masyarakat dan orangtua yang memiliki anak kecil maupun beranjak dewasa, supaya lebih memperhatikan pergaulan, lingkungan dan pendidikan anak. Kedepankan peranan komunikasi sebagai orangtua,” pinta Iman.
Kanit PPA Polrestabes Surabaya AKP Ruth Yeni menambahkan meski tersangka berusia di bawah umur, proses hukum tetap berjalan. Tapi, Ruth mengaku, proses hukum kasus ini harus sesuai dengan UU tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). “Kalau usia di bawah 12 tahun, kami akan gunakan UU SPPA dan meminta pertimbangan Pengadilan, apakah tersangka akan diserahkan ke keluarga atau ke Bapemas. Sementara untuk usia 12-18 akan dibawa ke ranah peradilan anak,” tambahnya.
Sementara itu, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini juga turut datang ke Mapolrestabes Surabaya dan menanyai salah satu tersangka. “Kamu tahu cara main seperti itu dari mana?,” tanya Risma.
Mendapati pertanyaan itu, salah seorang  tersangka menjawab, jika dia mengetahui cara berhubungan seksual dari film porno di sebuah warnet.  Tepatnya, warnet yang ada di sekitar rumah tersangka dan korban, di Jalan Ngagel Surabaya.
Oleh karena itu, Risma berjanji akan kembali melakukan razia terhadap warnet-warnet yang menyediakan film porno.
“Makanya, sudah lama saya ingin menutup Dolly, dan beginilah hasil buruk Dolly itu,” urai Risma.
Risma mengaku peristiwa ini ada benang merahnya dengan Dolly. Apakah wilayah Kali Bokor merupakan tempat lokalisasi ilegal, Risma enggan menjelaskan hal itu. Menurutnya, korban Bunga ikut dengan nenek dan bibinya yang bekerja sebagai petugas penyapu makam. Dan korban kepada petugas kepolisian mengaku sendiri bahwa sejak usia 4 tahun sering melakukan kegiatan seks.
Bagaimana langkah Pemkot Surabaya menyikapi hal ini, Risma mengaku berulang-ulang menyampaikan kepada orangtua bahwa kejadian yang dialami Bunga tidak hanya terjadi terhadap anak dewasa saja. Maka, peran orangtua harus lebih ketat dalam pengawasan terhadap anak meskipun itu masih usia SD dan SMP.
“Intinya peran serta orangtua sangat dibutuhkan untuk perilaku anak-anaknya. Untuk warnet yang menyediakan file maupun akses video porno, saya sering melakukan sweeping dan penutupan warnet yang tidak sesuai aturan,” ungkapnya.
Pemkot Surabaya akan melakukan komunikasi intens dengan Unit PPA Polrestabes Surabaya. Terutama mengenai proses hukum yang harus dijalani tersangka. Ia mengaku, fenomena ini merupakan dampak dari kemajuan teknologi. “Teknologi akan berguna jika digunakan secara bijak. Tapi sebaliknya, jika digunakan dengan sembarangan maka bisa menjadi bumerang bagi yang menggunakan,” imbuh Risma.
Terkait kasus pencabulan ini, Edward Dewaruci selaku advokat anak mendukung proses hukum yang dilakukan kepolisian. Menurut Edward, proses hukum harus sesuai dengan UU SPPA No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Untuk anak usia 9-12 tahun akan dilakukan upaya diversi atau mendapat pembinaan oleh pemerintah baik melalui Dinsos atau lembaga yang menangani kasus anak.
Sementara untuk anak berusia 14 tahun, tetap menjalani proses hukum dan ditempatkan di Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS). “Bukan berarti proses hukum terhadap pelaku anak tidak ada. Kan ada peradilan anak dan UU SPPA. Saya mendukung upaya polisi dalam menegakkan hukum, asalkan sesuai dengan UU Perlindungan Anak. Jika tidak, maka penanganan hukum oleh polisi dianggap salah,” pungkasnya.

Kedepankan Program Penyadaran
Mencuatnya kasus asusila yang menjadikan anak sebagai korban mendapat perhatian khusus dari Ketua Hotline Pendidikan Surabaya, Isa Anshori.
Pengamat pendidikan ini menilai mencuatnya kasus asusila yang menjadikan anak sebagai korban dan pelaku tidak luput dari program Dinas Pendidikan (Dindik) Surabaya maupun Jatim yang sebatas fokus pada keberhasilan bidang akademik semata.
“Dengan banyaknya program penyimpangan perilaku, program Dinas Pendidikan jangan hanya fokus pada bidang akademik saja. Program penyadaran harus juga diperhatikan. Para guru harus diarahkan mempertajam kompetensi soal perilaku dan sosial. Tidak melulu kompetensi akademik,” kata Isa, Kamis (12/5) kemarin.
Pria berkacamata ini juga menilai program konselor Sebaya yang dijalankan Dindik Surabaya baru sebatas seremonial. Program ini menjadikan anak sebagai konselor atau relawan bagi sesama teman di sekolah. Konselor Sebaya baru sebatas program, belum terukur.
“Fokus pihak di lembaga pendidikan di Surabaya pada perilaku serta sosial menjadi keharusan. Karena apa? Tren peningkatan perubahan perilaku pelajar Surabaya sangat tinggi. Dinas Pendidikan jangan terjebak program rutin,” pesan Isa.
Isa memaparkan beberapa riset yang menyebut handphone, internet serta televisi menjadi sumber perubahan perilaku anak. “Hasil survei ini tidak dipakai Pemkot Surabaya, Dinas Pendidikan untuk menyusun program pencegahan. Dampaknya kualitas kejahatan di Surabaya yang melibatkan anak sebagai korban atau pelaku terus meningkat,” ungkapnya.
Yang harus dilakukan Dindik, kata Isa, membangun kesadaran anak tentang literasi agar melek media. Supaya anak bisa membedakan informasi sehat dan tidak sehat.
“Terkait informasi, Dindik bisa kerjasama dengan Kominfo. Tugas Kominfo terkait pemberian perlindungan anak terkait informasi, sedangkan Dindik membangun proses penyadarannya,” katanya. [bed,dre]

Tags: