Delusi Massa, Faktor Munculnya Kerajaan Fiktif

Dr Andik Matulessy MSi

Dr Andik Matulessy MSi
Pakar Psikologi Sosial Universitas 17Agustus 1945 (Untag) Surabaya, Dr Andik Matulessy MSi, menyebut ada dua kelompok besar terkait munculnya kerajaan fiktif yang viral beberapa pekan terakhir. Berdasarkan ilmu psikologi kelompok pertama disebut sebagai Delusi Keagungan (grandiose delusion). Seperti kerajaan fiktif Sunda Empire di Bandung.
“Sedangkan kelompok satunya lebih mengarah perilaku persuasif (membujuk) untuk mendapatkan keuntungan. Seperti kasus di kerajaan Agung Sejagat di Purwokerto,” ujar dia ditemui Bhirawa, Selasa (28/1).
Sementara itu, untuk kasus Sunda Empire lebih cenderung pada gangguan mental delusi. Hal itu dibuktikan dengan pemikiran mereka yang bisa berkomunikasi dengan Jack Ma (pendiri Alibaba, red) dan berpikir tentang usaha terbaru yang mengarah pada teknologi masa depan.
Menurut Andik, kasus ini mereka mendirikan kerajaan karena mampu mempersuasikan seseorang. Artinya mereka melakukan gerakan persistensi (mengatakan secara berulang – ulang) untuk meyakinkan masyarakat untuk menggaet mereka. Sehingga menimbulkan kepercayaan yang justru malah sebuah kebohongan secara konsisten. Menganggap yang irasional ini dimunculkan rasional.
“Seakan – akan kerajaan yang mereka bangun ini berguna dan bermanfaat bagi orang lain. Seperti status sosial berubah, bertambahnya ekonomi dan sebagainya,” tuturnya.
Lalu bagaimana dengan dampak bagi kelompoknya? Menurut Andik, dampaknya bukan pada membahayakan diri. Melainkan justru membangun rasa untuk mendapatkan sesuatu dari adanya kerajaan fiktif ini. Apalagi jika dilahat secara global, masyarakat yang tergabung di dalamnya berada dalam kondisi ‘sakit’. Dengan kata lain, ingin mendapatkan sesuatu dengan cepat. Termasuk kesuksesan dengan instan.
“Hampir semua (kelompok) nya tidak tertipu. Mereka yang tergabung tipikal masyarakat yang kurang percaya pada pemimpinnya. Kemudian dia memunculkan sosok yang disukai oleh banyak orang. Dengan menjanjikan sesuatu pada masyarakat,” jabarnya.
Dosen Psikologi Untag ini juga menuturkan, kelompok – kelompok yang terlibat dalam hal ini kebanyakan mengalami frustasi akan dirinya atau karena faktor eksternal. ”Dan media sosial dimanfaatkanlah sebagai wahana untuk meyakinkan seseorang,” terangnya.
Andik juga menambahkan, kerajaan fiktif ini banyak yang menggaet masyarakat di daerah pedalaman dengan kondisi pendidikan yang relative rendah. Sehingga, kelompok ini akan mudah tercuci otaknya (brainwashing).
“Kenapa kerajaan fiktif ini menjadi fenomena dan kemunculannya hampir bersamaan, karena dibanding mengangkat isu agama seperti menganggap nabi yang lebih rawan konflik, mereka lebih menghindar dari itu. Jika dilihat tentang sejarah kerajaan pun mereka tak banyak yang tahu. Dan ini kemungkinan akan bertambah keberadaanya. Karena tidak semua orang ini terjangkau dengan informasi,” tandasnya. [ina]

Tags: