Demokrasi dan Perdamaian

Mahathir Muhammad IqbalOleh:
Mahathir Muhammad Iqbal
Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Islam Raden Rahmat Malang dan Peneliti Pada Lakpesdam PCNU Kota Malang

Aksi kekerasan kelompok masyarakat Kristen terhadap masyarakat muslim di Tolikara di Hari Raya Idul Fitri 1436 Hijiriah sungguh memalukan. Sebagai bangsa yang menjadi teladan internasional dalam kehidupan toleransi antar ummat, aksi tersebut telah keluar dari nilai-nilai luhur keindonesiaan. Lebih dari itu telah merusak nilai keagamaan itu sendiri.
Substansi dari nilai keagamaan adalah kasih sayang dan kemanusiaan. Kita bisa melihat berbagai tokoh keagamaan yang memahami substansi agama mampu mewujudkan perilaku-perilaku damai konstruktif. Ada Helder Camara pencetus konsep spiral kekerasan, ada Gus Dur pelindung keberagaman, sampai Mahatma Gandhi penggerak anti kekerasan.
Indonesia yang plural secara keagamaan idealnya mampu melahirkan figur-figur humanis yang mewujudkan praktik keagamaan sebagai karunia untuk seluruh manusia. Islam misal melalui konsep rahmatan lil ‘alamin atau Kristen melalui paham kasihnya.
Namun ketika substansi keagamaan bersekutu dengan kepentingan sempit misal politik dan material maka agama sangat mungkin mewujud kedalam kekerasan. Kasus kekerasan keagamaan di Tolikara Papua mungkin telah disusupi kepentingan sempit elite-elite keagamaan dalam gereja. Nilai kasih Kristus berubah menjadi kebencian terhadap kelompok agama lain.
Starting pointnya adalah, jika eskalasi kekerasan terus dibiarkan tanpa penanganan sistemik dan terintegrasi, Indonesia akan berada satu kelas bersama Nigeria dan Pakistan dalam hal tingkat indeks intoleransi beragama, sebagaimana analisis seorang peneliti dari Christian Solidarity Worldwide yang berbasis di London.
Harus diakui bahwa agama juga mempunyai potensi menimbulkan konflik sosial (social conflict). Hal itu disebabkan karena setiap agama memiliki klaim kebenaran (truth claim) sebagai identitas, aktualisasi, dan eksistensi. Ketika klaim kebenaran tampil demikian kuat sebagai manifestasi harga diri, kesakralan bisa menegangkan bahkan menakutkan. Dalam posisi inilah sumber konflik terjadi karena benturan kian keras.
Kondisi ini diperparah oleh mereka yang berada di puncak piramida kekuasaan yang gagal memimpin (mengendalikan), mendidik, dan mehumanisasikan diri karena kita masih menjatuhkan egoisme sektoral, kelompok, dan merasa paling berTuhan atau melegalitaskan klaim “surgawi” tanpa memberi ruang bagi yang lain untuk berbeda dan berdemokrasi secara beradab.
Hal inilah rupanya yang membedakan kita dengan negara-negara yang kultur demokrasinya sudah mantab. Demokrasi mereka tampaknya telah sampai pada suatu taraf, dimana variabel primodial seperti ras, kesukuan dan keagamaan tidak sangat berperan, dan rasionalitas menjadi pertimbangan utama. Kenyataan ini mengurangi konflik-konflik horizontal dan memudahkan mereka dalam mengambil keputusan-keputusan bersama.
Yang kini sedang terjadi adalah para elite kekuasaan bahkan seringkali mematikan atau menghilangkan apa yang disebut “paradigma kekuasaan”. Apa yang mereka lakukan dari hari ke hari mengakibatkan makin tercerabutnya dan punahnya komitmen persaudaraan kemanusiaan. Kita gigih saling menabur brutal, jegal, dan jagal.
Berangkat dari fakta ini, memang diperlukan kerja keras dan upaya yang serius dari semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat sipil (civil society) untuk menyebarkan inspirasi perdamaian. Yaitu antara lain, pertama, perlu melakukan rekonstruksi budaya, mengubah budaya kekerasan dan intoleran menjadi budaya damai (culture of peace). Dan yang tak kalah penting adalah dengan menerapkan pendidikan yang menggunakan pendekatan multikulturalisme dan berpijak pada nilai-nilai Pancasila dan prinsip pluralisme. memahami pluralisme tidak cukup hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk, tapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan kemajemukan itu sebagai nilai positif.
Almarhum Nurcholis madjid, dalam bukunya yang berjudul Problematika Politik Islam di Indonesia mencatat bahwa pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beranekaragam, atau terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekadar “kebaikan negative, yang dilihat kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme. Sebaliknya, pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban.
Singkat kata, pendidikan hendaknya fokus pada upaya transformasi nilai-nilai moral dan nilai-nilai universal kemanusiaan seperti keadilan, kebenaran, kejujuran, kemaslahatan, kedamaian, kesetaraan, kebebasan dan tanggung jawab.
Kedua, hendaknya kita menciptakan konstruksi kebangsaan kemajemukan. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip multikulturalisme. Oleh karenanya, maka pola karakteristik pergaulan atau interaksi antar kelompok (entitas politik) yang harus dikembangkan adalah pro-eksistensi dan co-eksistensi. Mengakui bahwa “kelompok” diluar “kelompok” kita itu memang ada. Dengan mengakui eksistensi kelompok lain, maka sejatinya kita telah mengakui eksistensi kelompok kita sendiri. Bukan saling menegasikan.
Ketiga, membangun sebuah negara demokrasi, tetapi dalam waktu yang bersamaan harus juga sekaligus membangun negara nomokrasi. Karena bagaimanapun juga, demokrasi tanpa nomokrasi akan berujung di dua jalan buntu, yaitu merebaknya anarkhi dan kembalinya tirani. Seluruh leleran keringat perjuangan demokrasi selama ini akan sia-sia. Tanpa wibawa otoritas hukum, warga kembali ke dalam perang semua lawan semua, yang bisa berujung pada survival of the fittest (hukum rimba). Dengan kata lain, perang melawan intoleransi dan kekerasan yang bernuansa keagamaan harus melibatkan sinergi peran tiga unsur secara integratif: para korban, institusi Negara, dan masyarakat mayoritas yang selama ini menjadi penonton. Pembiaran Negara terhadap praktek-praktek politik kekerasan berkedok gerakan keagamaan akan menggoda publik untuk sampai pada satu simpulan, ada perselingkuhan Negara dengan pelaku kejahatan berjubah agama. Aparat Negara tak sepatutnya mendasarkan logika hukumnya pada argumentasi-argumentasi keagamaan tertentu karena itu bersifat parsial dan konsensual.
Akhirnya, izinkan penulis menutup esai ini dengan mengutip pidato Bung Karno pada 1 Juni 1949:
Kita mendirikan Negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua untuk semua! Bukan Kristen buat Indonesia,, bukan golongan Islam buat Indonesia…Tetapi Indonesia buat Indonesia, Semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “Gotong-royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong!

                                                                                                         ———– *** ————

Rate this article!
Demokrasi dan Perdamaian,5 / 5 ( 2votes )
Tags: