Demokrasi Pilkada

Edi PurwinartoPenulis :
Edi Purwinarto
Pengamat Kebijakan Publikdan PelayananPublik

Pemilihan Kepala Daerah atau yang lebih dikenal dengan istilah Pilkada menjadi menarik perhatian, terlebih dengan terjadinya masalah pencalonan di kota Surabaya yang terancam dilakukan penundaan hingga tahun 2017.
Persoalan berangkat dari ketentuan tidak diperbolehkannya calon tunggal. Pemilihan kepala daerah dalam konteks demokrasi, harus ada kompetisi dan ruang yang terbuka bagi masyarakat untuk menentukan hak memilihnya.
Hak Pilih Pemilu
Hak pilih dalam pemilu dapat dilihat dari dua sisi, yaitu hak untuk memilih dan hak untuk dipilih. Diskusi tentang hak azasi, khususnya dalam penggunaan hak pilih dalam pemilu hingga saat ini masih belum tuntas. Satu pihak berpendapat bahwa hak pilih adalah tindakan yang dilakukan dengan mendatangi tempat pemungutan suara dan menggunakan hak suaranya. Mereka yang tidak mengunakan hak pilihnya di tempat pemungutan suara diberi sebutan golput. Sedang pihak lain berpendapat bahwa hak pilih adalah keputusan untuk menggunakan hak pilihnya atau tidak menggunakan hak pilihnya. Keputusan untuk tidak menggunakan hak pilihnya karena berbagai alasan. Faksi ini berpendapat bahwa mereka yang tidak menggunakan hak pilih juga termasuk hak pilih.
Dalam perkembangnya, sosialisasi pemilu selalu mengkampanyekan jangan golput, dan himbauan semua warga negara yang mempunyai hak pilih untuk menggunakan hak pilihnya di tempat pemungutan suara.
Inkonsistensi Demokrasi
Pemilihan umum yang berlangsung bersifat Luber dan Jurdil dimaksudkan untuk menampilkan calon terpilih yang benar-benar bebas dari tuntutan dan dapat diterima oleh semua Pihak. Namun demikian, dalam kenyataannya sering menimbulkkan gugatan karena ada indikasi memainkanaturan main. Dengan memperhatikan kata umum dan sifat luber, serta jurdil maka menempatkan pilkada masuk dalam rezim pemilihan umum.
Pilkada adalah proses politik untuk memilih pejabat politik di eksekutif. Karena masuk dalam rezim pemilihan umum maka pandangan terhadap pemilih tidak berbeda dengan pemilihanumum.
Sorotan terhadap golput hanya dikaitkan dengan partisipasi politik dalam menentukan arah ke depan, tidak sama sekali memperhitungkan kekuatan suara. Akibatnya, berapapun besarnya golput tidak menjadi persoalan. Semestinya kondisi seperti ini perlu menjadi perhitungan. Kadar legalitas sangat lemah dalam pelaksanaan pilkada yang angka golputnya sangat tinggi, bahkan ada yang angka golputnya lebih besar dari yang menggunakan hak pilih. Artinya, legitimasi rendah. Semestinya yang harus terpenuhi adalah aspek legalitas dan legitimasi, bukan hanya melihat tataran legalitas saja.
Demokrasi adalah khasanah pengambilan keputusan secara kolektif dari, oleh, dan untuk rakyat. Demokrasi bukan merupakan proses politik untuk menciptakan konflik, tetapi justru sebaliknya. Demokrasi diarahkan untuk tercapainya kesejahteraan melalui proses yang damai.
Demokrasi dalam pilkada saat ini menentukan bahwa calon kepala daerah dalam pilkada tidak boleh tunggal. Ketentuan ini dibumbui argument bahwa pilkada adalah kompetisi sehingga harus ada kompetisi, artinya calon harus lebih dari satu. Calon tungal tidak dibenarkan.
Perkembangan norma pilkada yang tidak membenarkan calon tunggal memberikan konsekwensi, harus menggunakan uang/anggaran lebih besar, memberikan ruang konflik yang lebih tinggi, dan menciptakan disharmoni sosial.
Sebuah pertanyaan, apakah adanya calon tunggal kemudian dinyatakan dipilih secara aklamasi tidak demokratis. Marilah kita lihat praktik demokrasi dalam organisasi. Kita sering menjumpai, proses demokrasi dalam pemilihan pimpinan organisasi menggunakan sistem seperti ini.Calon tunggal dipilih secara aklamasi. Kalau ini tidak berlaku dalam pilkada maka terjadi inkonsistensi dalam penerapan demokrasi. Ini persoalan serius. Sistem pilkada saat ini memaksa masyarakat yang berada dalam ruang damai untuk masuk ke ruang konflik. Praktik demokrasi tentunya tidak mengenal tempat. Sepanjang terjadi proses pengambilan keputusan secara kolektif dari, oleh, dan untuk rakyat maka ini demokrasi. Dengan demikian, hadirnya calon tunggal bukan merupakan hal yang haram dalam demokrasi. Memilih secara aklamasi dan menghindari kompetisi akan dapat memanfaatkan anggaran yang tersedia untuk pembangunan. Dengan aklamasi akan tetap terpelihara kedamaian dan harmoni sosial. Kita harus sadar bahwa untuk melemahkan pihak lawan, sasaran yang sangat tepat untuk digarap adalah sumber dana dan sumber daya. Ini perlu menjadi perhatian kita bersama untuk melestarikan dan menguatkan NKRI, serta memberikan warisan kepada generasi penerus.
Kebijakan Publik
Pengaturan tentang pemilihan umum atau Pilkada adalah bentuk kebijakan publik. Pada dasarnya, kebijakan publik harus memenuhi kaidah rasional dan realistis. Makna rasional adalah masuk akal berdasarkan ukuran pendapat umum. Sedang realistis adalah dapat dilaksanakan dengan baik, tidak menimbulkan resistensi.
Pengamatan terhadap kebijakan publik memang perlu mendapat perhatian. Akankah setting agenda atas peraturan yang terkait dengan pemilihan umum atau Pilkada sudah dilaksanakan dengan baik. Fakta baru yang dapat kita lihat adalah unjuk rasa Pilkada Suabaya ke KPU Kota Surabaya pada hari Kamis tanggal 3 September 2015. Fakta ini menunjukkan bahwa kaidah rasional dan realistis perlu dipertanyakan.
Devide et Impera
Pandangan tentangdemokrasidiwujudkandalambentukmemilihdalam proses kompetisitidaklahsalah. Proses demokrasi yang memilih secara aklamasi juga tidak dapat disalahkan. Apakah kita semua sependapat bahwa pilkada yang tidak dilakukan melalui kompetisi para kontestan adalah merupakan kemunduran demokrasi. Inilah yang kemudian menjadi sumber keruwetan yang akhirnya melahirkan pikiran jalan tengah melalui bumbung kosong seperti yang sering dilakukan dalam pemilihan kepala desa. Sebuah pandangan muncul, kita sudah terjebak dalam memahami demokrasi karena sistem yang kita bangun justru menjauhkan dari cita-cita demokrasi mewujudkan kesejahteraan.
Demokrasi pilkada Gubernur dan WakilGubernur di Jawa Timur pernah mengalami perjalanan yang panjang, melelahkan, menghabiskan beaya besar.
Ketika ketentuan perolehan minimal 25%, tiba-tiba diubah menjadi 30% disaat proses pilkada sedang berjalan. Argumen atas ketentuan ini adalah untuk kekuatan legitimasi. Tetapi benarkah persoalannya demikian. Sebagaimana penulis kemukakan di atas, legitimasi jelas terabaikan. Salah-salah ini justru memicu terjadinya kekuatan konflik yang lebih besar. Memang kita tidak perlu saling menyalahkan. Tetapi fenomena kebijakan sebagai formula sistemhendaknyadiarahkanke terciptanya ketentraman, ketertiban, dan kesejahteraan. Kalau sistem yang dibangun faktanya hanya untuk keperluan legalitas, maka pilkada yang lebih satu calon tidak perlu diutak-atik dengan ketentuan syarat perolehan minimal. Devide et impera adalah politik pecah belah. Apakah ini sudah menjadi bentuk devide et impera melalui pendekatan sistem. Memprihatinkan.

                                                                                                           ————- *** ———–

Rate this article!
Demokrasi Pilkada,5 / 5 ( 1votes )
Tags: