Demokrasi yang Berbahagia

(Refleksi Pelaksanaan Pemilu 2018)

Oleh :
Sulung Muna Rimbawan, S. Pd. M. Si
Asisten Ombudsman RI Perwakilan Jawa Timur 

Pemilu serentak, usai, namun sebagai warga yang memegang prinsip “kewargaan” (citizenship) tentu penting mengajukan sebuah proposisi tentang substansi ditengah ingar-bingar hasil pemilu tersebut. Ada semacam kesalahpahaman yang hampir selalu kaprah, bahwa proses demokrasi adalah pantulan tunggal demokrasi, masyarakat menyebutnya dengan “pesta demokrasi”, padahal Pemilu hanya rerangkai prosedural, yang regulasinya penuh dengan negosiasi, dan kita menjadi tiba-tiba lupa, bahwa prinsip berdemokrasi tidak selalu soal Pemilu, melainkan kebahagiaan.
Baudrillard, seorang post-modernis ekstrem telah lama mengajukan kehati-hatian pada kita, bahwa jangan selalu terjebak dengan “Hiperrealitas”; selalu memuja prosedur, hingga lupa tentang pentingnya menghamba pada substansi. Pemilu telah memberikan plotting bagi mereka yang bakal dianggap menang oleh KPU, tetapi warga sebagai bagian dari Republik, perlu membangun rassion d’etre, untuk apa mereka memilih, dan sesungguhnya apa yang bakal mereka dapatkan dari proses pemilu tersebut? Pertanyaan itu penting, mengingat masih banyak luka sembilu yang sangat sulit terobati, lantaran proses kompetisi dalam Pemilu kemaren begitu menyisakan goresan yang mendalam.
Kekacauan Prosedural ?
Demokrasi dengan merefleksikan terhadap pelaksanaan Pemilu di Indonesia, sejak pertama yang lalu dilaksanakan senantiasa mengalami secara sangat serius dilema diantara konstituensi dan kompetensi dalam demokrasi. Yaitu apakah mereka yang mengatur kehidupan negara dan masyarakat adalah orang-orang yang didukung oleh konstituensi yang luas, ataukah mereka yang memiliki kemampuan bekerja yang baik, dengan dukungan integritas yang dapat diandalkan.
Berbagai percobaan telah dilakukan dalam politik Indonesia semenjak kemerdekaannya untuk mendapatkan suatu kombinasi ideal atau modus vivendi dari tiga kompenen kualifikasi yang diharap dapat mendorong dan mengembangkan kehidupan demokrasi yang sehat. Ketiga komponen kualifikasi tersebut adalah; Pertama, Kemampuan dan keahlian dalam bekerja, yang kita namakan saja kompetensi, Kedua, jumlah orang-orang memilih seseorang untuk mewakili mereka, yang kita namakan konstituensi, dan Ketiga, kesadaran seorang politikus tentang nilai-nilai dan norma-norma yang tidak boleh dilanggar karena kalau dilanggar maka dia akan berkhianat terhadap prinsip-prinsip perjuangan politiknya sendiri. Hal terakhir ini dinamakan integritas.
Kompetensi tanpa konstituensi telah melahirkan teknokrasi, yakni seseorang menduduki jabatan politik semata-mata karena keahliannya, tanpa perlu mendapat dukungan dari orang-orang yang bersedia memilihnya. Hal ini kita alami pada masa-masa awal Orde Baru, yang menjadikan pemulihan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi sebagai prioritas nomor satu, dan karena itu memberikan prioritas politik kepada ahli-ahli ekonomi dalam jabatan-jabatan politik.
Selain dilemma tersebut, muncul dilemma turunan yang lain, yakni apakah demokrasi harus tunduk pada keinginan mayoritas, sekalipun keinginan tersebut barangkali akan merugikan hak-hak minoritas? Di beberapa negara maju persoalan minoritas ini diatur sedemikian rupa, sehingga suara minoritas justru menjadi penentu dalam persaingan antara mayoritas. Demikian pun, persoalan akan muncul diantara masalah representasi dan konstituensi yang ditentukan oleh jumlah suara dan masalah rasionalitas demokrasi yang ditentukan oleh wacana. Ini berarti, kalau seandainya mayoritas menghendaki kembalinya rezim otoriter untuk memulihkan kestabilan politik misalnya, apakah aspirasi ini dapat dibenarkan secara demokratis, sekalipun otoritanisme dalam bentuk manapun per definisi bertentangan dengan demokrasi sendiri.
Selanjutnya, kalaupun kelompok-kelompok yang korup melakukan aliansi untuk mempertahankan suatu rezim korup yang memberikan berbagai privilese kepada mereka, dan ini mendapat dukungan suara terbanyak, apakah aspirasi dan pilihan ini dapat dibenarkan oleh demokrasi, sekalipun pilihan ini jelas-jelas bertentangan dengan tujuan demokrasi yang mengharuskan adanya kontrol sosial untuk menciptakan pemerintahan yang bersih. Pada titik ini perlulah dicari jalan yang sebaik-baiknya untuk memecahkan dilema diantara demografi dan demokrasi, atau diantara representasi dan rasionalitas demokrasi.
Demokrasi yang Berbahagia
“Politics is the science of the good for man, to be happiness” demikian slogan yang terdapat pada buku Nicomachean Ethics yang hampir selalu didengungkan untuk melawan politik Machiavellian. Slogan tersebut penting untuk mengingatkan kembali, bahwa sesungguhnya amanah demokrasi, bukan hanya debat soal procedural, melainkan juga menyangkut tentang ilmu bagi kebaikan manusia, dan mewujudkan kebahagiaan. Disisi ini, maka penulis ingin mengingatkan bahwa substansi dari Demokrasi serta pelaksanaan Pemilu bukan hanya menyangkut kompetensi-konstituensi, representasi-konstituensi, dan mayoritas-minoritas, melainkan lebih pada soal substansi perihal; Kebebasan, Keadilan, Perdamaian, dan Multikulturalisme.
Mewujudkan substansi tersebut harus melakukan beberapa cara, Pertama, mengembangkan Politik Multikulturalisme yang pro-exixtence, yakni masing-masing peserta Pemilu harus menempatkan Multikulturalisme sebagai program mainstream, sehingga kompetisi yang menarik urat leher dapat didingingkan oleh partisipasi aktif secara kognitif dan afektif tentang kesadaraan saling menghormati dan saling memperjuangkan perbedaan kultural.
Kedua, pentingnya mengonstatasikan gagasan Keadilan Rekognisi sebagai nilai paling fundamental dalam menyelenggarakan Pemilu. Keadilan rekognisi adalah sebuah gagasan baru untuk meruntuhkan sekat-sekat kegagalan Keadilan Redistributif, sehingga mereka yang marginal dan teralienasi secara struktural mendapat perhatian dan afirmasi khusus, baik dari penyelenggara Pemilu maupun peserta Pemilu. Ketiga, mengedepanan prinsip kontinum-integral, bahwa sesungguhnya masing-masing peserta Pemilu sedang berkompetisi, bukan sedang bertarung. Karena hakikatnya, mereka sedang berebut untuk mengagregasi kepentingan masyarakat, bukan memenangkan dirinya sendiri. Jika ketiga hal tersebut dilakukan secara sungguh-sungguh, maka kita tidak akan berhenti pada tataran procedural, melainkan mengedepankan prinsip substansial; Demokrasi yang berbahagia, bukan kebencian dan kesedihan.

———- *** ———–

Rate this article!
Demokrasi yang Berbahagia,5 / 5 ( 1votes )
Tags: