Demonstrasi Mahasiswa dan Generasi Rebahan

Oleh :
Wahyu Kuncoro
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945 (Untag), Surabaya

Demonstrasi ribuan mahasiswa di Jakarta, Senin (11/4) mengobati dahaga kerinduan publik atas peran peran kritis mahasiswa. Gelegak aksi yang dipertontonkan para aktivis mahasiswa tersebut, bisa jadi juga akan mengurangi stigma yang melekat kepada diri mahasiswa yang kadung nyaman menjadi generasi ‘rebahan’.

Kata rebahan memang menjelma menjadi salah satu istilah yang populer terutama di masa pandemi Covid-19 sekarang ini. Rebahan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) termasuk dalam kelas kata nomina (kata benda). Secara baku, rebahan memiliki arti tempat berbaring atau pembaringan. Namun, belakangan kata ‘rebahan’ menjadi bahasa yang populer untuk menggambarkan aktivitas anak muda yang bermalas-malasan atau tidur-tiduran.Konon, kata rebahan ini paling populer digunakan di media sosial Twitter. Bahkan, beberapa waktu lalu, istilah ‘Universitas Rebahan’ jadi trending di Twitter.

Maraknya penggunaan istilah ini berhubungan dengan para generasi muda terutama para mahasiswa baru yang memulai masa kuliahnya di masa pandemi. Karena mereka belajar dari rumah, nggak sedikit warganet di Twitter yang membagikan foto saat mereka belajar sambil tidur-tiduran bahkan main media sosial, termasuk Twitter. Kata rebahan memang lebih sering memiliki konotasi negatif, yaitu untuk menunjuk kebiasaan orang yang mager (males gerak) atau gabut tidak memiliki aktivitas apa-apa, sehingga aktivitasnya hanyalah rebahan sambil bermain gawai.

Bangkitnya Generasi Rebahan

Populernya istilah rebahan memang tidak bisa dipisahkan dari masa pandemi yang membuat orang lebih merasa nyaman rebahan dibandingkan harus keluyuran tak karuan. Artinya, rebahan pada masa Covid-19 menjadi aktivitas yang lebih bermanfaat dibandingkan harus keluyuran dan berkerumunan. Dalam bahasa lain, rebahan di era ganas-ganasnya Covid-19 menjadi bagian atau jalan keluar atas meningkatnya angka kasus Covid-19. Namun persoalannya, situasi sudah berubah, kehidupan dan tantangan zaman tidak bisa terus menerus disikapi dengan rebahan, namun sudah saatnya semua bangkit.

Momentum berkurangnya angka kasus Covid-19 dengan terus meluasnya wilayah yang berstatus PPKM level 1 membuat aktivitas rebahan sudah tidak relevan lagi. Mahasiswa yang sebelumnya dipaksa rebahan oleh situasi pandemi sudah harus segera bangkit melunasi utang utang sosial akibat terlalu lama menjalani aktivitas rebahan.

Munculnya wacana penundaan pemilu, atau perpanjangan masa jabatan Presiden, kenaikan harga BBM, langkanya minyak goreng bisa jadi juga karena absennya mahasiswa dalam merespon situasi kebangsaan yang terjadi. Himpitan persoalan akibat Covid-19 bisa jadi juga ikut berkontribusi dalam menumpulkan sikap kritis dan sensitivitas publik. Alih alih memikirkan kehidupan kebangsaan, memikirkan kehidupan sehari-hari sudah berat.

Apakah, masa pandemi Covid-19 membuat mahasiswa benar-benar menjadi kelompok rebahan yang terpangkas nalar kritisnya dari dunia luar? Mungkin saja iya, namun sudahlah tidak perlu meratapi apa yang terjadi. Toh, hari ini kita masih bisa menyaksikan betapa gagahnya adik adik mahasiswa untuk kembali terbangun turun ke jalan untuk melawan keangkuhan penguasa.

Bangkitnya kembali mahasiswa ke jalanan sungguh menghadirkan optimisme kembali akan tegaknya kembali demokrasi di tanah air. Sungguh kita ini sempat mengalami fase dimana penguasa menjadi demikian angkuh dan membabi buta untuk memainkan isu-isu serius bak seperti mainan biasa.

Wacana usulan penundaaan pemilu, atau perpanjangan masa jabatan Presiden yang dilontarkan beberapa pejabat publik dan tokoh politik jelasa merupakan isu serius yang harus dilawan. Namun, ketika wacana itu dimunculkan nyaris tidak bisa ada kekuaan yang diharapkan sanggup melawannya. Beberapa tokoh sesunggguhnya sudah mencoba namun nyaris tidak direspon.

Beruntung di detik-detik akhir, mahasiswa yang sekian lama rebahan dan mungkin sempat tertidur kini bangkit lagi. Penulis percaya, ketika mahasiswa bangkit dengan nalar kritisnya, maka kekuatan apa saja yang akan mengangkangi demokasi akan bisa ditumbangkan.

Penundaan Pemilu Harus Dilawan

Wacana penundaan pemilu 2024, menimbulkan kegelisahan bagi banyak kalangan. Penundaan pemilu 2024 ini juga pada dasarnya tidak memiliki dasar hukum. Namun, elit politik justru sibuk mencari celah untuk melegalisasikannya melalui perubahan konstitusi atau Amandemen UUD 1945.

Memang, belum ada usulan formal perubahan konstitusi terkait penundaan pemilu 2024. Akan tetapi, mengingat aktivitas legislasi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang kerap dilakukan secara senyap, maka bangkitnya kekuatan mahasiswa untuk menghadang wacana tersbeut menjadi menemukan relevansinya. Ada beberapa pertimbangan mengapa wacana tersebut harus dilawan.

Pertama, penundaan pemilu 2024 bukan hanya akan memperpanjang masa jabatan presiden dan wakil presiden, melainkan juga memperpanjang masa jabatan anggota parlemen, yakni DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Hal ini karena Indonesia menerapkan konsep pemilu serentak untuk memilih presiden dan wakil presiden, serta memilih anggota dewan atau legislator, sebagaimana yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang merupakan implementasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 14/PUU-XI/2013. Perpanjangan masa jabatan presiden juga otomatis akan berdampak pada masa jabatan kabinet pemerintah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa upaya penundaan pemilu merupakan cara oligarki bagi para elit politik untuk melanggengkan kekuasaannya.

Kedua, penundaan pemilu melanggar dan melecehkan konstitusi. Kewajiban melaksanakan pemilu untuk memilih presiden, wakil presiden, beserta anggota parlemen telah diatur secara konstitusional di dalam Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Pasal tersebut secara tegas telah mengatur bahwa pelaksanaan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Kalaupun dilakukan perubahan konstitusi melalui amandemen UUD 1945 untuk melegalisasikan penundaan pemilu 2024, hal itu justru bertolak belakang dengan konsep konstitusi itu sendiri karena perubahan konstitusi tidak boleh dilakukan hanya untuk kepentingan elit tertentu saja. Perubahan konstitusi harus dilakukan demi kepentingan semua kalangan di suatu bangsa. Menggulirkan wacana penundaan pemilu 2024 merupakan bukti nyata adanya usaha pelanggaran dan pelecehan terhadap konstitusi (contempt of constitution) sebagai hukum tertinggi di negara ini.

Ketiga, memaksakan penundaan pemilu akan mencederai semangat reformasi dan prinsip kedaulatan rakyat. Jika benar terjadi, kita akan kembali ke masa Orde Baru, yang memberikan ruang bagi seorang presiden untuk dapat berkuasa dalam jangka waktu yang sangat lama, seperti Soeharto yang menjabat selama 32 tahun.

Memberikan toleransi kepada penguasa untuk berkuasa dalam waktu yang lama akan membuka pintu tindakan kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan demi memenuhi kepentingan pribadi mereka, sebagaimana Lord Acton, seorang aktivis Liberal Catholic Movement di Jerman, pernah memperingatkan bahwa penguasa cenderung bertindak sewenang-wenang jika berada di puncak kekuasaan terlalu lama.

Wallahu’alam Bhis-shawwab

———- *** ———-

Tags: