Dengarlah Nyanyian

Oleh :
Ahmad Rizki

dengarlah
nyanyian
di tengah kota:
menjadi halte, banjir
dan pembangunan.
Segenap cahaya lampu
menjadi mulutku.

Polusi dan kebobrokan
menjadi peradaban
masa tua.
Aku sadar tubuhku
adalah kesombongan,
dan keegoisan,
dan keputusasaan.

(Dengarlah)
Aku bernyanyi
di tengah kota:
Menjadi polemik,
caci-maki
dan eksistensi.

Segenap akademisi
menjadi gagu,
menjadi keledai bisu.

Kemewahan dan pembaruan
menjadi bom waktu.
Raja disangka dewa
Brahmana berkata dusta

(Dengarlah)
Aku ingin bernyanyi
setiap malam:
Menjadi diriku sendiri!

Ciputat, 2021
Sebotol cinta di malam itu

Demi angin yang memelihara waktu.
Demi dahaga cinta itu.
Demi belenggu gengsi cintamu.
Sebotol cinta yang diteguk menjelma kata mutiara di atas angkasa.

Demi udara yang masuk ke botol.
Demi nyanyian cinta.
Demi tubuh yang diikat jemawa.
Setengah cahaya menjelma ungkapan klise-
tapi yang paling penting kesunyian tak memberantas kita-
dan tatapan mengikat nestapa.

Demi bangku dan bungkus makanan.
Demi irama motor di jalanan.
Demi puisi yang ditulis sampai mati.
Sentuhan, gugup dan pesona matamu menjadikan aku dahaga.
Lalu sebotol cinta di malam itu kita teguk berdua.
Ya, kita berdua.

Ciputat, 2021
Kucing hitamku

Aku mengerti
Kucing hitam
punya perasan, perhatian dan
penghayatan yang sempit serta
terbatas. Mereka lucu dan

aku banyak belajar darinya:
Mungkin gusar harapan,
pengolahan tubuh malam dingin,
dan pendalaman sorak-sorai
penghinaan. Yang kusukai,
mereka tak banyak pengetahuan
tapi banyak perasaan. Kucing

itu tak pernah kecewa, meski
makanan tak diraih. Mereka
tak gugup ketika bencana
di depan matanya. Mungkin
mereka seperti bertahan
di antara mulia dan keagungan.
Karena mereka tidur tanpa dunia yang dikhawatirkan.

Mereka punya hidung yang
tak kita miliki. Mereka jarang
ngantuk, seperti
pekerja keras dan lelaki jantan.
Maka, semenjak kucing hitam

melangkah di ujung jari kakiku,
aku seraya dilatih, tak ada yang
perlu kutakutkan, sebab ia
selalu memilih dan mengisi
semua pupuk gaib itu:

Mereka seperti ibuku, Mursyid
atau sahabatku, yang lucu
dan menyenangkan.

Ciputat, 2020
Sajak tahun baru

Dan bukan demi salju,
demi Wine dan kayu.
Tak kukenal wajah ayah
di musim salju ketika
orang-orang memanggul cinta
di jaman kosong:
Senada hikayat kuno:
“akankah ada cahaya dalam gamang
malam?”
Tapi nasihat menjelma
sambat,
Kredo menjadi sangsi!

O, amuk angin.
O, Juwita masa depan.

Bukan demi tahun baru,
demi sentimental dan
selembar duit di saku.
Tak kulihat Juwita di pelataran
takdir ganjil.
Orang-orang menulis cinta
di papan kematian,
dan kita berkata:
“Akankah hilang derita
dalam hidup yang fana?”

O, tahun baru.

Dan bukan demi nasib,
demi aib dan keyakinan
terjepit. Akankah kukatakan
tentang waktu yang sulit?
O, kemungkinan yang sedikit!

Ciputat, 2021?

Tentang Penulis :
Ahmad Rizki
Menatap di Tangerang Selatan. Kini sibuk gitaran di jalan-jalan. Buku puisinya yang telah terbit adalah “sisa-sisa kesemrawutan” (2021).

———– *** ———–

Rate this article!
Dengarlah Nyanyian,5 / 5 ( 2votes )
Tags: