Deradikalisasi Agama dan Spirit Kebangsaan

H. DarmadiOleh :
H. Darmadi
Praktisi Pendidikan, Pemerhati masalah Sosial, Budaya, dan Politik, Tinggal di Lampung Tengah.

Perjalanan kehidupan bangsa Indonesia menunjukkan dinamika yang cukup tinggi. Jika saja menapaki sejarah semenjak zaman kerajaan, zaman penjajahan dan zaman setelah kemerdekaan hingga sekarang, terlihat betapa kemelut politik dan sistem bernegara bangsa Indonesia mengalami pasang-surut yang luar biasa.
Hal tersebut tidak saja meninggalkan tata nilai dan budaya yang mempengaruhi tatanan sosial kehidupan masyarakat, namun juga berpengaruh terhadap visi dan kesadaran kebangsaan. Berbagai benturan sebagai akibat dari perbedaan visi kenegaraan dan kebangsaan yang tiada kunjung akhir, disadari atau tidak, akan dengan mudah mengoyak kesadaran kebangsaan tersebut, memporak-porandakan visi dan kehendak serta tujuan bersama, yang pada gilirannya akan membuat masyarakat terfragmentasi dan tersegmentasi sehingga kadar hubungan sosial masyarakat pun menurun dan kondisi persatuan serta kesatuan bangsa menjadi semakin longgar. Negara memiliki peran dan tanggung jawab untuk senantiasa menjaga keselarasan visi kenegaraan dan kebangsaan. Oleh karena itu, konstruksi negara harus kuat, agar tidak mudah tergoyahkan dalam dinamisasi perjalanan sejarah kini dan yang akan datang. Gambaran perlunya konstruksi negara yang kuat melalui pilar-pilar negara bukanlah retorika, tetapi mempunyai makna yang dalam mengapa negara harus kuat dan kokoh melindungi dan mensejahterakan rakyatnya. Empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjadi landasan dalam membangun bangsa Indonesia ke depan adalah Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika. Empat hal mendasar tersebut adalah nilai-nilai dasar yang ada dalam sila-sila Pancasila yang tercantum dalam pembukaan Undang Undang Dasar Tahun 1945. Empat pilar bukanlah hal yang baru, karena Pancasila sebagai jiwa bangsa (volkgeist) yang sudah lama berakar dalam diri masyarakat Indonesia, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka.
Belajar dari sejarah sejak tumbuhnya kesadaran kebangsaan hingga memasuki era perjuangan kemerdekaan, seharusnya segenap bangsa Indonesia sadar bahwa hanya dengan mengutamakan kehendak bersama dan demi satu tujuan bersama pula, bangsa ini berhasil mewujudkan cita?citanya, yaitu merdeka, lepas dari belenggu kekuasaan penjajahan. Tetapi, sejarah telah membuktikan pula bahwa ketika bangsa ini melupakan tujuan bersamanya, serta dengan sadar mengingkari konsensus yang juga telah di dasari oleh kehendak bersama, maka yang terjadi adalah timbulnya berbagai bentuk konflik sosial, utamanya konflik arus radikalisme agama. Hubungan antara agama dan negara sebagaimana dialami Indonesia sepanjang perjalanan sejarahnya hingga saat ini selalu mengalami pasang surut. Suatu ketika hubungan di antara keduanya berlangsung harmonis sebagaimana terjadi belakangan ini, namun di saat yang lain mengalami ketegangan sebagaimana tercermin dari pemberontakan atas nama agama di tahun 1950-1960, hubungan antar keduanya tidak berdiri sendiri, melainkan juga dipengaruhi persoalan politik, ekonomi, dan budaya. Dalam pasal 29 ayat 1 UUD NRI jelas disebutkan bahwa negara kita berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini menandaskan bahwa kehidupan masyarakat Indonesia yang religius adalah amanat konstitusi kita yang harus diwujudkan. Dalam hubungan antara agama dan negara di Indonesia memperlihatkan terdapatnya “jalinan mutualisme”. Negara diisi dengan spirit kerohanian agama dan agama dilindungi bahkan ditertibkan (diatur) oleh negara. Sebagai contoh keberadaan UU Perkawinan dan UU Peradilan Agama memperlihatkan peran negara dalam hukum agama. Namun jika dilihat dalam takaran yang lebih luas dan dalam, keberadaan produk perundang-undangan tersebut juga memperlihatkan bahwa agama mempengaruhi jalannya hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah (masyarakat). Dengan kata lain agama juga berperan serta dalam pemerintahan. Hubungan negara dan agama yang seperti dijelaskan di atas seringkali menjadi “rumit”. Agama seringkali dipergunakan untuk bertentangan dengan pemerintahan atau pemerintahan sering dijadikan kekuatan untuk menekan agama. Dalam diskursus politik dan ketatanegaraan serta agama, jalinan tersebut masih diperdebatkan dan dikaji baik di (negara) Barat maupun di (negara) Timur. Agar hubungan antar agama dan negara tetap harmonis di tengah-tengah dinamika kehidupan politik, ekonomi, dan budaya kita perlu mendiskusikannya terus menerus, sehingga kita sampai pada pemahaman bahwa agama dan negara bagai dua sisi mata uang, di mana keduanya bisa dibedakan, namun tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena keduanya saling membutuhkan. Dengan adanya tiang agama yang kuat, maka kita tidak akan melakukan sikap anarkis yang dapat merusak bangsa kita sendiri. Karena pada dasarnya agama mengajarkan kedamaian dan keharmonisan dalam menjaga suatu bangsa.
Urgensi peran agama dalam menciptakan keharmonisan bermasyarakat sangat dibutuhkan dalam kultur bangsa yang di dalamnya terdapat dinamisasi pendapat dan kepercayaan. Karena keyakinan tersebut akan mengekang individu tersebut dari perilaku-perilaku yang cendurung merusak. Alangkah bijaknya andai kata setiap individu dalam bangsa ini bisa memahami makna kepercayaan atau agama dalam menciptakan sikap saling menghargai serta menciptakan keharmonisan dalam bermasyarakat, bukan sebaliknya. Percaya atau tidak, sikap fanatisme justru akan membawa perpecahan yang mengakar sehingga akan sangat sulit untuk selesaikan karena telah menjadi kerak dendam hingga beberapa generasi. Apakah ini yang kita harapkan? Dimana setiap anak cucu yang lahir telah memiliki musuh dengan kebencian yang ditanamkan sejak pertama kali udara mengisi rongga dada mereka. Tidak pernah ada yang salah dengan anggapan bahwa keyakinan kita lah yang paling benar, karena justru hal tersebutlah yang akan membuat kita khusyuk dalam menjalankan ritual keagamaan yang kita yakini. Akan tetapi alangkah bijaksananya jika hal tersebut juga diiringi dengan sikap menghargai penganut agama lainnya. Pemahaman kita yang baik tentang kehidupan berbangsa dan bernegara yang beragama akan menjadi landasan penting dalam membangun keharmonisan bermasyarakat. Patut kita renungkan, kemajemukan adalah bagian dari bangsa ini, perbedaan agama, suku, ras, serta pendapat hendaknya dilihat sebagai kekayaan bangsa yang bisa memberi warna dalam kehidupan kita. Munculnya kesadaran untuk “membumikan” kembali nilai-nilai empat pilar dan aspek-aspek pemersatu bukan terjadi tanpa sebab. Hal tersebut tentu tumbuh dari kesadaran yang bukan sekedar retorika politis, namun kesadaran yang berangkat dari kejernihan jiwa masyarakat, para negarawan dan kesamaan kehendak untuk senantiasa bersatu dan hidup bersama dalam satu kesatuan wilayah (negara) dan kesatuan spirit/karakter, yang membingkai seluruh keragaman budaya, adat-istiadat dan keyakinan yang telah tumbuh dan berkembang di masyarakat. Hal inilah yang menjadi salah satu dasar bagi kita semua agar senantiasa mengaktualisasikan nilai-nilai “Empat Pilar” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam setiap tarikan nafas kehidupan, tidak saja dalam kehidupan bermasyarakat melainkan juga dalam kehidupan beragama untuk membangun harkat, martabat dan kemuliaan kehidupan sebagai bangsa yang merdeka dan mewujudkan kesejahteraan segenap rakyatnya dalam tatanan sosial-kenegaraan yang dinamis-harmonis.

                                                                                                        —————– *** ——————

Tags: