Derajat Kebahagiaan Orang Berpuasa

Ach Nurholis Majid

Oleh:
Ach Nurholis Majid
Dosen Pendidikan Agama Islam di Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien Prenduan

Rasulullah memberikan kabar gembira bagi orang yang berpuasa dengan dua kebahagiaan. Pertama, kebahagiaan ketika ‘fitri’. Kedua, kebahagiaan ketika bertemu dengan Allah. Kata fitri yang disampaikan Rasulullah beragam maknanya. Fitri bisa diartikan sebagai waktu berbuka.
Hal itu karena orang yang berpuasa biasa berbahagia karena masuk waktu berbuka. Fitri bisa juga dimaknai sebagai hari raya (idulfitri). Artinya, orang yang berpuasa sangat berbahagia karena telah melewati serangkaian ujian dan ibadah yang diperintahkan Allah sehingga mendapatkan predikat takwa.
Tetapi kebahagiaan-kebahagiaan itu adalah kebahagiaan yang sangat awam. Seseorang tidak cukup disebut sebagai orang yang berbahagia hanya karena telah menyelesaikan sehari puasa, atau sebulan puasa tetapi tidak dapat merubah kualitas dirinya.
Ada satu pengertian lain dari kata fitri yang barangkali bisa dipertimbangkan agar puasa kita benar-benar membahagiakan. Makna itu adalah ditemukannya potensi keagamaan dalam diri. Setiap manusia diciptakan dalam keadaan fitrah (membawa potensi spiritual). Karena itu, manusia kecil selalu polos dan baik.
Inilah derajat kebahagiaan tertinggi seseorang yang berpuasa di dunia. Jika ini sudah diraih, maka seorang yang berpuasa akan menjadi penjaga kebaikan di dunia. Puasa-puasa yang akan datang bukan lagi sebagai bulan pertobatan saja, tetapi juga sebagai bulan peningkatan dari bulan sebelumnya.
Fitrah ini yang sering dilupakan. Puasa seringkali dijadikan obat, bukan energi yang terus dibawa dalam hidup untuk berbuat baik. Jika puasa dijadikan obat, maka ketika suatu penyakit sembuh, obat itu akan ditinggalkan begitu saja.
Kebahagiaan karena fitri yang bermakna potensi spiritual ini yang sesungguhnya merupakan kebahagiaan utama manusia di dunia, ia akan menuntun manusia untuk terus menjadi yang terbaik dan melakukan lebih untuk kemajuan.
Ketika Rasulullah mengisyaratkan kebahagiaan ini, maka tugas kita adalah berusaha menemukan ‘fitri’ itu, sehingga ketakwaan akan sangat nampak dari perbuatan yang selalu berdasarkan perintah Allah. Puncaknya, adalah terwujudnya kebahagiaan kedua. Yakni kebahagiaan ketika bertemu dengan Allah. Pertemuan itu menjadi sangat membahagiakan, bukan semata karena puasa, tetapi lebih karena puasa telah membuat dirinya menemukan potensi spiritual (fitrah) yang membuatnya selalu berusaha menjalankan tugas sebagai hamba Allah secara baik.
Inilah sebenarnya, isyarat kebahagiaan yang disampaikan oleh Rasulullah. Jika ditarik kedalam, maka kebahagiaan itu menjadi suatu tanda derajat kebahagiaan. Jika puasa seseorang hanya sampai di perut, maka dia akan berbahagia semata ketika berbuka.
Jika puasa seseorang hanya penghambaan sebulan, maka dia akan berbahagia karena telah beribadah sebulan. Tetapi ketika dia berpuasa untuk kembali menjadi hamba yang fitri seutuhnya. Dia akan berbahagia karena telah menemukan potensi spiritual (fitrah) dirinya, potensi yang nantinya mengantar manusia untuk bertemu dengan Allah. Wallahu a’lam. ***

Rate this article!
Tags: