Derita Nurfatimah, Bayi Lima Bulan yang Kepala Membengkak

Sutrisno dan Anisa saat menjaga Nur Fatimah di RSUD Waluyo Jati, Kraksaan. [wiwit agus pribadi]

Berasal dari Keluarga Tak Mampu, Penyakit Belum Diketahui Namanya
Kabupaten Probolinggo, Bhirawa
Keluarga pasangan Sutrisno dan Anisa warga Dusun Ketapang, Desa Liprak Kulon, Kecamatan Banyuanyar, Kabupaten Probolinggo tengah diuji. Sebab putri kesayangannya bernama Nurfatimah yang kini berusia lima bulan kepalanya terus membengkak. Diketahui, pembengkakan itu terjadi sejak tiga bulan lalu.
Melihat ada kelainan pada Nur, sapaan Nurfatimah, keluarga sudah berupaya menolongnya. Salah satunya dengan membawanya ke rumah sakit. Namun upaya itu belum membuahkan hasil. Bahkan, sejak tiga hari lalu matanya juga ikut bengkak. “Sangat memprihatinkan, orang tuanya sangat tidak mampu,” kata Kepala Desa Liprak Kulon, Kusnandar.
Menurutnya, sejak kepala Nur membengkak, pihak keluarga terus berupaya mengobatinya. Termasuk, membawanya ke rumah sakit dengan berbekal kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Tapi sepulang dari rumah sakit, penyakitnya masih sama. “Penyakitnya seperti radang otak,” ujarnya.
Sutrisno dan Anisa memang keluarga kurang mampu. Selama ini, mereka bekerja sebagai buruh tani. “Kami memohon bantuan melalui media massa supaya orang tahu. Sebab, keluarga bayi ini betul-betul butuh bantuan. Bahkan, tidak memiliki rumah. Saat ini keluarganya numpang di rumah saudaranya. Di dapur berukuran 1,5 kali 5 meter,” katanya.
Semula bengkak di kepala korban cukup kecil. Namun, lama-kelamaan semakin besar dan matanya ikut bengkak. “Matanya membengkak sejak tiga hari lalu. Bayi ini pernah dibawa ke rumas sakit selama tiga hari. Karena biaya hidup di rumah sakit tidak ada, terpaksa pulang. Ini tugas pemerintah untuk hadir mengetahui masyarakatnya,” paparnya.
Ironisnya, orang tuanya selama ini hanya merawatnya di rumah. Keterbatasan ekonomilah yang menjadi alasannya. Putri pertamanya, harus lahir dengan kelainan di kepala. Meski harus menjalani ujian mahaberat, namun keluarga ini berusaha tegar.
Ditemui di ruang Dahlia, RSUD Waluyo Jati Kraksaan, Sutrisno dan Anisa tampak lebih cerah. Harapan melihat anaknya sembuh, membayangi benak keduanya. Dibandingkan dengan tiga bulan terakhir, mereka harus berjuang sendiri merawat sang anak. Sejak Selasa (13/3), buah hati mereka mulai dirawat di rumah sakit.
Bayi Nur, kini tampak terbaring dengan infus yang terpasang di tangan kanannya. Sesekali, Nur menangis. Baik Sutrinso maupun Anissa terlihat kebingungan saat Nur menangis. Mereka seperti merasakan sakit yang diderita sang anak. Berbagai cara dilakukan supaya bisa menenangkan Nur. Mulai dari diajak bercanda, digendong, sampai diberikan air susu ibu (ASI).
Anisa menceritakan, dirinya menikah dengan Sutrisno sekitar satu tahun lalu. Sekitar dua bulan menikah siri, ia hamil. Sejak awal hamil sampai melahirkan, tidak ada firasat atau tanda kalau anak yang dilahirkan memiliki kelainan bawaan lahir. “Saya rutin periksa kandungan ke posyandu,” ungkapnya.
Ia mengaku, akhir November tahun lalu, ia merasakan sakit karena hendak melahirkan. Akhirnya Anisa melahirkan anak perempuan dengan proses normal di Puskesmas Banyuanyar. Namun, setelah proses persalinan, bayinya itu langsung dibawa ke RSUD Waluyo Jati Kraksaan. Alasannya, saat itu sudah terlihat ada kelainan pada putrinya tersebut. “Tahunya saat lahir kalau ada penyakit kelainan. Kepalanya ada benjolan,di matanya juga,” terangnya.
Sutrisno menimpali, anaknya saat itu sempat dirawat di RSUD Waluyo Jati selama tiga hari tiga malam. Itu, dilakukan setelah lahir. Entah, ia sendiri tidak tahu nama penyakit tersebut. Yang pasti, di bagian kepala, seperti benjolan yang semakin hari semakin membesar.
“Saya tidak tahu nama penyakitnya apa. Saya pasrah pada Allah SWT. Kalau memang sembuh, pasti sembuh,” tuturnya. Lepas tiga hari dirawat, Sutrisno terpaksa membawa pulang anaknya. Sebab, ia tidak mampu membiayai perawatan di rumah sakit. Meskipun dirinya dan istri memiliki kartu BPJS, ternyata kartu itu tidak bisa digunakan untuk memproses BPJS sang anak. “Saya terpaksa membawa pulang anak saya karena tidak punya biaya. Waktu tiga hari, biayanya disebut Rp2,5 juta. Tapi, saya tidak bisa bayar dan pulang,” kenangnya.
Selama ini, dikatakan Sutrisno, dirinya hanya bisa merawat sendiri anak pertamanya itu di rumah. Tiap kali ada Posyandu, ia pasti datang untuk memeriksakan kondisi anaknya. Kalau saat sakit, dibawa ke bidan desa. “Kalau di rumah sering nangis, rewel. Mungkin karena sakit. Tapi, mau gimana lagi, saya pasrah,” tuturnya.
Sutrisno mengaku, ia yang hanya menjadi buruh tani, penghasilan tak menentu. Kadang hanya dapat penghasilan Rp25 ribu. Tentu, jumlah tersebut tak mungkin mampu membiayai perawatan di rumah sakit. “Saya mau dibawa ke rumah sakit, karena disuruh Camat, Pak Tenggi (kepala desa, Red) juga. Kalau suruh bayar, saya tidak mampu,” ungkapnya.
Sugianto humas RSUD Waluyo Jati Kraksaan mengatakan, pihaknya sudah menerima pasien tersebut dan langsung ditangani di ruang Dahlia. Pihaknya masih belum dapat memastikan penyakit yang diderita Nur. Sebab, perlu dilakukan oberservasi lebih lanjut.
Namun, kemungkinan penyakit itu merupakan kelainan sejak dalam kandungan. “Apakah nanti perlu dirujuk ke rumah sakit di Surabaya untuk tindakan lebih lanjut? Masih menunggu hasil observasi di sini,” katanya. [Wiwit Agus Pribadi]

Tags: