Desain Sistem Pemilu dan Kepartaian 2019

Oleh :
Salahudin, S.IP, MSi
Dosen Ilmu Pemerintahan Univ. Muhammadiyah Malang, Aktivis Muhammadiyah Kota Malang.

Akhir-akhir ini mencuak perdebatan antar elit politik mengenai sistem pemilu dan kepartaian yang akan diterapkan pada pemilu 2019 nanti. Bagian-bagian yang diperdebatkan adalah bentuk sistem pemilu, bentuk sistem kepartaian, dan format pemilihan presiden dan wakil presiden. Area perdebatan tersebut dipandang sebagai elemen-elemen esensial bagi elit politik dan partai politik sebagai bagian dari pilar  demokrasi.
Kedaulatan Rakyat Vs Kedaulatan Partai
Pertama, perdebatan sistem pemilu. Dalam konteks ini, terdapat tiga kubu elit politik yang berseberangan, pertama, kubu yang menginginkan penerapan sistem pemilu proposional terbuka seperti yang diterapkan pada pemilu/pileg 2014 lalu, kedua, kubu yang berkeinginan bahwa pemilu 2019 nanti harus berdasarkan pada sistem proposional tertutup, dan kubu terakhir adalah pemerintah yang berusaha menyeimbangkan kepentingan dari kedua kubu tersebut dengan mengusulkan sistem proposional terbuka terbatas.
Sistem proposional terbuka menjanjikan terbukanya akses dan kesempatan masyarakat sebagai pemilih dalam menentukan wakil-wakil mereka di lembaga legislatif baik di tingkat nasional maupun di level daerah. Dalam sistem ini, pemenang calon legislatif ditentukan suara terbanyak, bukan berdasarkan nomor urut pencalonan yang ditetapkan oleh partai politik. Bagi kubu pertama, pendukung sistem proposional terbuka, sistem pemilu harus sejalan dan searah dengan nilai-nilai demokrasi yakni salah satunya adalah kedaulatan rakyat, di mana rakyat memiliki hak melegitimasi para calon legislatif sebagai pemenang melalui mekanisme pemilihan secara langsung  dan berdasarkan suara terbanyak. Pada akhirnya, keberadaan anggota DPR RI dan DPRD benar-benar mencerminkan suara dan kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan partai politik. Kendati demikian, jika mengacu pada pengalaman pemilu 2014, pada praktinya sistem tersebut membuka secara lebar pertarungan antara para calon legislatif.
Pertarungan tidak hanya berlangsung antara para calon dari partai politik yang berbeda, tapi juga terjadi antara para calon dalam satu partai. Imbas dari pertarungan tersebut adalah tingginya biaya politik yang dikeluarkan oleh masing-masing calon. Seiring berlangsung pertarungan antara para calon, pertarungan antara para pendukung pun berlangsung sengit guna memenangkan para kandidat yang didukung, kemudian terjadi disharmonis sosial dalam masyarakat.
Kelemahan di atas adalah dijadikan sebagai alasan bagi kubu kedua, pendukung sistem pemilu proposional tertutup. Menurut kubu kedua, sistem proposional terbuka berdampak negatif bagi perkembangan demokrasi di Indonesia, di mana demokrasi menjadi arena bagi masyarakat untuk saling menyerang melampaui batas nilai-nilai demokrasi. Akibanya, masyarakat tidak lagi hidup dalam nilai sosial kebersamaan, toleransi, dan kesantunan sebagaimana ciri dan karakter khas masyrakat Indonesia.
Karena itu, kubu kedua mengusulkan untuk menerapkan sistem proposional tertutup pada pemilu 2019 nanti, di mana dalam sistem ini penentuan calon legislatif sebagai pemenang adalah didasarkan pada nomor urut pencalonan yang ditetapkan oleh partai politik, bukan berdasarkan suara terbanyak seperti dalam proposional terbuka.
Mendorong Multi Party  Sederhana
Kedua, perdebatan sistem kepartaian. Secara teoritis sistem kepartaian dibagi dalam tiga bentuk yaitu sistem partai tunggal (single party), sistem dua partai (dwi party), dan sistem banyak partai (multi party). Berangkat dari pengalaman politik masa lalu, para elit politik sepakat bahwa single party tidak sesuai dengan karakter politik Indonesia dan dwi party juga tidak sejalan dengan nilai-nilai demokrasi yang dianut. Dalam konteks ini, para elit politik sepakat untuk mendorong multi party sebagai sistem kepartaian karena sistem ini adalah sejalan dengan demokrasi sebagai sistem politik dan pemerintahan.
Meskipun demikian, berdasarkan pengalaman pemilu 1999, 2004, 2009, dan 2014, para elit politik dihadapkan dengan kenyataan bahwa ternyata banyaknya partai politik yang ikut dalam pemilu menghambat pembangunan politik ke arah yang lebih baik. Banyaknya partai politik membuat sistem politik dan pemerintahan tidak dapat berjalan secara efektif dan efesien sehingga pembangunan negara tidak dapat berjalan dengan baik. Dalam merespon kegagalan multi party ini, para elit politik melihatnya dari dua perspektif yang berbeda sehingga mereka pun terbelah menjadi dua kubu yang saling bersebrangan, kubu pertama adalah kubu pro multi party murni dan kubu kedua adalah kubu multi party sederhana.
Menurut kubu pertama, sistem multi partai adalah sistem yang sejalan dengan amanat undang-undang dasar 1945, di mana di dalamnya menegaskan bahwa semua warga negara bebas berserikat dan berkumpul. Selain itu, multi partai juga sejalan dengan nilai-nilai demokrasi yakni nilai kebebasan, keadailan, dan persamaan politik. Karena itu, kubu pertama menganggap multi partai murni adalah sebuah jalan yang harus diterapkan dalam berdemokrasi.
Sementara kubu kedua memandang bahwa multi partai murni tidak sejalan dengan sistem presidensil yang dianut melalui UUD 1945. Multi partai murni akan mengganggu sistem pemerintahan presidensil karena itu perlu ada upaya untuk mensederhanakan multi partai melalui penentuan abang batas parlemen atau Parliamentary Threshould (PT). Kubu kedua sepakat bahwa PT ditetapkan pada angka 3,5%. Artinya, partai politik berhak mengikuti pilpres apabila partai politik tersebut mendapatkan suara 3,5% dari suara sah nasional.
Dalam konteks perdebatan sistem kepartaian seperti yang dijelaskan di atas, kami berpendapat bahwa berdasarkan fakta politik pada pemilu-pemilu sebelumnya, memang benar sistem multi partai murni  gagal mewujudkan dan menghantarkan kedewasan politik masyarakat ke arah yang lebih baik (demokratis). Banyaknya partai politik dalam pemilu membuat polarisasi dan kekaburan ideologi politik masyarakat yang diakibatkan eksistensi partai politik bukan didasarkan pada kepentingan ideologi yang kuat. Selain itu, keberadaan partai politik dalam kontestasi pilpres berdampak pada distabilitasi politik dan pemerintahan.
Karena itu, sebaiknya sistem multi partai sederhana melalui angka PT 3,5% harus dipertahankan demi terwujudnya stabilitas politik dan pemerintahan yang dapat mendukung penyelenggaraan pemerintahan presidensiil yang lebih efektif dan efesien. Kendati demikian, berjalanya proses politik tetap harus mengakomodir kepentingan golongan-golongan yang secara struktural tidak berada dalam lingkaran kekuasaan politik dan pemerintahan.
Memperkuat Ambang Batas 20%/25%
Ketiga, perdebatan mengenai sistem pilpres (presidential threshold). Dalam konteks perdebatan ini, mencuak dua kubu yang berseberangan di antaranya kubu yang berkeinginan bahwa semua partai politik berhak mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden, tidak peduli partai kecil maupun partai besar, semua partai politik yang berbadan hukum dan dinyatakan lolos verifikasi memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden. Pandangan ini adalah didasarkan pada asas-asas hak asasi manusia, undang-undang dasar 1945, dan prinsip-prinsip demokrasi.
Sementara itu, kubu kedua berpandangan bahwa partai politik yang berhak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah partai politik atau koalisi partai politik yang mendapatkan 20% kursi DPR dari jumlah kursi DPR RI atau mendapatkan 25% suara dari suara sah pemilihan legislatif. Pandangan ini berkepentingan untuk mewujudkan stabilitas politik demi pembangunan dan kepentingan bangsa yang lebih luas.
Hemat kami, didasarkan pada kepentingan bangsa yang lebih luas, pandangan kubu kedua lebih bisa diterima dibandingkan pandangan kubu pertama. Kami berpikir bahwa kepentingan bangsa tidak hanya berkaitan dengan persoalan kebebasan dan hak-hak politik saja, namun kepentingan bangsa yang jauh lebih penting adalah stabilitas politik, pemerintahan, ekonomi, dan pembangunan bangsa dalam berbagai bidang.

                                                                                                         ———— *** ————-

Tags: