Desak Jokowi Keluarkan Inpres

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

DPRD Jatim, Bhirawa
Carut marut tata niaga gula yang berdampak pada kian terpuruknya nasib petani tebu,  membuat ribuan petani tebu di Jatim mengancam akan beralih ke tanaman lain. Kondisi ini menjadi perhatian serius seluruh stake holder terkait di Jatim untuk berusaha mencari solusi yang terbaik.
Bahkan DPRD Jatim, Pemprov Jatim, APTRI (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia), APTRN  (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Nasional), Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian hingga Komisi VI DPR RI duduk bersama satu meja membahas carut marut tata niaga gula di tengah serbuan gula rafinasi yang dikemas dalam acara Seminar Nasional di gedung DPRD Jatim, Kamis (12/3).
Wakil Gubernur Jatim, Saifullah Yusuf mengatakan bahwa yang paling terkena dampak buruknya tata niaga gula adalah Jatim. Sebab, Jatim adalah penyumbang terbesar produksi gula nasional. “Sumbangsih Jatim terhadap produksi gula nasional mencapai 42 % atau 1.260 juta ton / tahun sementara kebutuhan gula di Jatim hanya 450 ribu ton/tahun. Melibatkan sebanyak 537 ribu kepala keluarga atau setara 2,5 juta penduduk, dengan luas areal tanam 219.110 hektar, dan 31 unit  Pabrik Gula,” jelasnya.
Sementara penyebab persoalan gula yang tak kunjung tuntas di Jatim, kata Gus Ipul panggilan akrab Saifullah Yusuf dikarenakan mayoritas kondisi pabrik gula di Jatim sudah berusia diatas 100 tahun sehingga produksinya tidak efisien. Padahal Pemprov dan DPRD Jatim sudah berusaha membuat Perda untuk meningkatkan rendemen tebu minimal dikisaran 10 bukan 7 seperti sekarang.
“Karena itu pabrik gula perlu direvitalisasi supaya efisien dan kualitas tebu petani ditingkatkan supaya rendemennya meningkat. Pemerintah juga perlu memberi jaminan bahwa HPP gula yang sudah ditetapkan dilaksanakan dengan baik agar petani mendapat kepastian dan tidak merugi,” pinta mantan menteri percepatan daerah tertinggal ini.
Persoalan lainnya, lanjut Gus Ipul, gula petani yang sudah digiling di PG-PG, ngendon di gudang karena tidak bisa terserap pasar. Ini lantaran banyak gula rafinasi import yang merembes ke pasar sehingga gula lokal kalah bersaing. “Sungguh aneh, kebutuhan gula rafinasi untuk memenuhi kebutuhan industri mamin sekitar 2,7 juta ton / tahun. Tapi ijin import yang dikeluarkan pemerintah mencapai 3,7 juta ton/ tahun,” dalihnya.
Senada, Ir Gede Wirasuta Kepala sub Direktorat Tanaman Semusim Kementerian Pertanian mengatakan bahwa harga gula sejak tahun 2014 terpuruk akibat lahan tanam tebu gula nasional menurun 10 % dan semakin banyaknya pendirian pabrik gula rafinasi. “Perlu dilakukan hitung ulang, berapa kebutuhan industri mamin akan gula rafinasi dan kapasitas terpasang industri gula rafinasi agar gula rafinasi tak merembes ke pasar,” jelas Gede.
Masih di tempat yang sama, Thamrin Latuconsina Deputi Import Kementerian Perdagangan RI menegaskan bahwa pemerintah tidak ada keinginan meninggalkan petani tebu nasional. Sebaliknya pemerintah justru ingin mendahulukan petani untuk mendukung swasembada gula tahun 2009-2019.
Diakui Thamrin, alokasi gula rafinasi cukup banyak sehingga mendistorsi pasar. Namun Mendag telah berusaha meminimalisir dengan cara mencabut Permendag No.111 yang mengatur kewajiban penyaluran gula rafinasi melalui distributor dan sub distributor. “Mendag yang baru sudah mengeluarkan Permen No.330/2014 bahwa penyaluran gula rafinasi dari importir langsung ke pabrik mamin. Ini untuk menghindari adanya gula rafinasi merembes ke pasar,” tegasnya
Selain itu, Kemendag juga telah menugaskan surveyor independen untuk meneliti PG Rafinasi apakah kapasitas terpasang sudah sesuai dengan kapasitas produksi serta kebutuhan riil industri mamin supaya tak terjadi over capasity. “Alokasi untuk Indonesia Timur, juga sudah dilarang diberikan. Kemudian istilah iddle capasity juga dicabut karena berbau rafinasi agar tata niaga gula kembali membaik,” tambah Thamrin.
Senada, Ir Farid Al Fauzi wakil ketua Komisi VI DPR RI mengatakan, bahwa APBN telah memutuskan dana revitalisasi ke PTP sebesar Rp.3,5 triliyun dengan syarat tak ada rafinasi masuk ke pasar. “Merembesnya gula rafinasi ke pasar jelas akan mempengaruhi supply.  Karena itu kami juga akan minta Pemendag memperbaiki lagi kebijakan terkait import rafinasi supaya rembesan bisa dari pabrik rafinasi maupun pabrik mamin bisa dihentikan,” pinta politisi asal Partai Hanura.
Menurut Farid, di negara lain petani itu diproteksi bahkan diberi insentif. Namun di Indonesia justru sebaliknya. Selain itu pihaknya juga sepakat dilakukan revitalisasi PG untuk memperbaiki Off Farm. “Saya juga yakin hitungan alokasi impor rafinasi saat ini tidak benar sebab faktanya gula petani masih menumpuk di gudang karena tak bisa terserap pasar. Karena itu perlu dilakukan hitung ulang, agar kita tak tergantung pada import,” pintanya
Sementara itu, Arum Sabil ketua APTRI Jatim menegaskan bahwa kebutuhan gula rafinasi nasional sebesar 5,7 juta ton berdasar alokasi ijin import yang dikeluarkan pemerintah perlu dihitung ulang. Pasalnya, 11 perusahaan gula rafinasi yang ada saat ini kapasitas terpasang mencapai 5,3 juta ton, padahal kebutuhan industri mamin hanya 2,7 juta ton sehingga jelas terjadi over capasity.
Selain itu impor raw sugar harus mendapat rekomendasidari APTRI juga harus dibuka karena petani di bawah jadi panas dan saling tuduh. “Pemerintah harusnya berani membuka siapa yang memberi rekomendasi agar petani di bawah tenang. Selain itu pihaknya juga mendesak segera dilakukan investigasi terhadap PG di Lamongan, karena diduga hanya menjadi kedok untuk mempermudah import,” sindirnya.
Ka’bil Mubarok, Wakil Ketua Komisi B DPRD Jatim mendesak supaya kementerian terkait khususnya kementerian perdagangan, pertanian dan BUMN segera memuat kebijakan satu pintu atau SKB (Surat Keputusan Bersama) terkait tata niaga gula, agar carut marut tata niaga gula segera teratasi dan saling lempar tanggungjawab. “Kalau perlu Presiden Jokowi membuat Inpres tentang regulasi gula agar ada kepastian dan menghindarkan penyimpangan yang berdampak merugikan kaum petani,” pungkas politisi asal PKB. [cty]

Rate this article!
Tags: