Desak Pemerintah Serius Jalankan UU Disabilitas

Pendamping disabilitas (kanan), Anggota LPT, Kabid SD Agnes Warsiati dan beberapa pemateri lainnya saat memaparkan penyusunan rekomendasi unit layanan disabilitas bidang pendidikan.

Surabaya, Bhirawa
Upaya penyetaraan hak bagi penyandang disabilitas terus digencarkan oleh aktivis disabilitas. Terbukti, kemarin (7/1), Lembaga Pemberdayaan Tunanetra (LPT) mengadakan workshop untuk membahas mengenai unit layanan disabilitas dalam bidang pendidikan sebagai pendukung utama penyelenggaraan pendidikan inklusif.
Menurut ketua lembaga pemberdayaan tuna netra (LPT), Sugi Hermanto mengungkapkan bahwa kegiatan tersebut merupakan penyusunan rekomendasi mengenai disabilitas. Pihaknya ingin menyampaikan, bahwa undang-undang no 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas pasal 42, di mana dalam pasal tersebut menyatakan “Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi pembentukan unit layanan disabilitas untuk mendukung penyelnggaraan pendidikan inklusif tingkat dasar dan Menengah”. Dari pasal tersebut, Sugi Hermanto merasa bahwa hingga saat ini, pemerintah masih belum ada keseriusan dalam menyediakan layanan ramah disabiltas khususnya dalam proses pembelajaran.
“Meskipun sudah ada sekolah inklusi, namun masih sedikit sekolah inklusi yang benar-benar melayani disabilitas dengan baik,” ujarnya.
Lebih lanjut, Ia menuturkan bahwa masih ada bangunan-bangunan yang masih belum ramah penyandang disabilitas.
Guru pendamping Khusus SD Telogopatut 1 Gresik ini memaparkan jika terjadi ketimpangan dalam rasio perbandingan antara guru pendamping khusus (GPK) dengan siswa penyandang disabilitas. Seperti, jumlah siswa 20 dalam satu kelas namun hanya ada dua GPK yang bertugas tambahnya.
“Bahkan ada yang tidak punya GPK sama sekali” sahutnya
Menurutnya, tidak seharusnya pendidikan inklusi dibebankan oleh pihak sekolah maupun dinas pendidikan terkait yang dalam hal ini adalah dinas pendidikan kota Surabaya dan Dinas Pendidikan Provinsi Jatim. Namun, pihaknya menilai harus ada lembaga illegal yang concern terhadap penyandang disabilitas untuk membina dan memperhatikan disabilitas.
“Jika hanya dibebankan pada sekolah, nantinya proses pembelajaran tersebut tidak maksimal. Kasihan pihak sekolah terlebih lagi siswanya.” Ungkapnya.
Sugi Hermanto menganggap bahwa idealnya pendidikan adalah pendidikan inklusi. Di mana dalam pendidikan inklusi lembaga sekolah terkait memberikan hak dan kesempatan yang sama kepada penyandang disabilitas. Namun, tentunya pihaknya berkeinginan hal tersebut harus sejalan dengan pelayanan maksimal dari berbagai sektor pendidikan. Dengan adanya kegiatan ini, pihaknya berharap agar pemerintah lebih sungguh-sungguh dalam menjalank anamanah UU no. 8 tahun 2016, meskipun masih dalam progress. Selain itu, Ia juga berharap untuk seluruh lembaga pendidikan bisa menerima keberagaman tanpa terkecuali, dengan kata lain mereka tidak memaksakan sesuatu yang diluar kemampuan dan kompetensi penyadang disabilitas.
“Jangan disamakan kebutuhan penyandang disabilitas dengan sisiwa regular. Karena hal tersebut tidak akan baik untuk kedepannya” tuturnya.
Ia menambahkan bahwa keberagaman haruslah diberlakukan sesuai dengan kemampuan. Yang artinya ramah untuk semua orang, (bukan) ramah terhadap mayoritas.
“Sebagai warga Negara Indonesia kami juga ingin bersinergi dengan pemerintah,” jelasnya.

Pemkot Surabaya Petakan Kekhususan Siswa ABK
Pemerintah Kota Surabaya memberikan respon positif atas harapan dan keinginan Lembaga Pemberdayaan Tunanetra (LPT) dalam mewujudkan amanah UU no 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Ditemui pada acara workshop Penyusunan Rekomendasi Unit Layanan Disabilitas Bidang Pendidikan, kemarin (7/1) di gedung serbaguna Fakultas Psikologi Universitas Surabaya (Ubaya), Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya, Ikhsan mengungkapkan saat ini, Surabaya memiliki 50 sekolah dasar inklusi, 23 SMP inklusi dan Pusat Layanan Disabilitas (PLD) yang tersebar dalam lima wilayah.
Ia menuturkan bahwa pemerintah tidak hanya menyediakan layanan pendidikan berupa sarana prasarana saja, melainkan Pemerintah kota Surabaya melalui Dindik kota saat tengah memetakan jenis kekhususan siswa ABK.
“Kami ingin mereka dapat terfasilitasi dengan baik. Sehngga mampu mandiri dan tidak bergantung pada orang lain” tutur Ikhsan saat ditemui Bhirawa. Lebih lanjut ia mengungkapkan, bahwa adanya pemetaan tersebut juga dimaksudkan untuk mengawal tugas perkembangan ABK. Selain itu, mantan Kepala Bapemas dan KB kota Surabaya tersebut mengungkapkan layanan PLD juga telah dilengkapi dengan Guru Pendamping Khusus (GPK) dan fasilitas pembelajaran yang dibutuhkan.
Ikhsan menyampaikan jika sasaran PLD yang dibentuk pemerintah tidak hanya terfokus pada ABK saja, melainkan juga bisa dimanfaatkan olhe masyarakat, tenaga pendidik dan tenaga kependidikan hingga lembaga terkait yang membutuhkan edukasi terhadap layanan inklusi. “kami memfungsikan ini sebagai pendidikan dan keterampilan, layanan profesionaal ABK, pelatiha guru, konsultasi serta fasilitas lainnya ” jabarnya.
Sementara itu, kepala bidang sekolah dasar Agnes Warsiati memaparkan bahwa PLD tersebut didirikan di SDN Sawunggaling I, SDN Semolowaru, SDN Kapasari 8, SDN Lidah Wetan II dan SDN Krembangan Selatan III.
“Kami optimalkan agar PLS mampu untuk menjembatani anak-anak inklusi yang kurang tertangani di sekolah regular,” Ungkapnya. Selain itu, tambahnya lembaga ini jug dimaksudkan dapat membantu meningkatkan mutu tenaga pendidikan inklusi di berbagai wilayah yang tersebar.
Perwujudtan UU no. 8 tahun 2016 juga mendapat perhatian dari komisi E DPRD Dyah Katarina yang mengatakan jika harus ada ‘progress’ perbaikan di setiap tahunnya bagi pemerintah kota Surabaya dalam mengembangkan pendidikan inklusi. Pihaknya berpendapat, bahwa ada ‘PR’ lain dalam memberikan edukasi ke keluarga dan masyarakat.
“Masyarakat membutuhkan pemahaman untuk membentuk masyarakat yang akomodatif bukan diskriminatif,” Pungkasnya. [ina]

Tags: