Imbau Perbaikan Jalan Nasional Tak Tambal Sulam

Foto: ilustrasi

DPRD Surabaya, Bhirawa
Legislatif Surabaya mengimbau agar perbaikan jalan nasional yang berada di wilayah Surabaya dilakukan secara menyeluruh , tidak sekedar tambal sulam.
Saat ini pemerintah pusat, melalui Balai Besar pelaksanaan Jalan Nasional VIII akan mengucurkan anggaran sebesar Rp 48 miliar pada tahun ini. Dana tersebut rencanannya dipakai untuk memperbaiki jalan nasional yang masuk wilayah Metropolis I (Surabaya – Gresik).
Anggota komisi C Bidang Pembangunan DPRD Surabaya, Vinsensius Awey, Senin (30/1) mengatakan, dari sejumlah anggaran tersebut, Rp 20 miliar diantaranya dipergunakan untuk perbaikan jalan Kalianak. “Hal itu sesuai dengan Surat Menteri PU dan Perumahan Rakyat No. 631/KPTS/M/2009,” tuturnya, Senin(30/11).
Diakui Awey, dari data yang dimiilikinya, ada sekitar 20 jalan nasional di Surabaya. Dari jumlah itu, berdasarkan aduan warga dan survey dari pemerintah kota sebanyak 8 titik lokasi kondisinya rusak parah, yakni di Sidodadi, Sidotopo, Sidorame, Dupak rukun, kalan Ikan Dorang, Jalan Jakarta, kenjeran, Kalianak Gresik Tambak Osowilangun. “Selain macet, jalan-jalan tersebut juga sering terjadi musibah kecelakaan,” ungkapnya.
Politisi Partai Nasdem ini mengaku, selama ini perbaikan jalan bentuknya tambal sulam. Padahal, seharusnya perbaikan bentuknya over lay (dilapisi) atau di cor beton. “Masak kalah sama Jakarta yang sudah dicor beton,” katanya
Awey juga menambahkan, meski sudah ada koordinasi antara pemerintah kota dengan pemerintah pusat. Namun, hingga saat ini belum ada perbaikan jalan nasional di Surabaya yang rusak parah. “Minimal, kita harapkan perbaikannnya di over lay, maksimal di cor beton,” ujarnya
Awey mengungkapkan, dari sejumlah jalan di Surabaya, terdapat satu jalan yang kepemilikannnya tak jelas, yakni jalan Margomulyo. Ia menbgakui, jalan tersebut awalnya adalah jalan nasional. Tetapi berdasarkan surat Menteri PU &PR 631/KPTS/M/2009 jalan tersebut tdiak termasuk aset pemerintah pusat.
Di sisi lain imbuh dia, pemerintah kota dan pemerintah provinsi juga tak mengakui jalan tersebut merupakan asetnya. Dampaknya, karena tak bertuan, jika ada kerusakan tak ada satu dinas pun yang memperbaikinya alias saling lempar tanggung jawab.
Ditegaskan Awey, karena sekitar kawasan itu adalah pergudangan. Yang mana tiap tahun  mereka membayar retribusi ke pemerintah kota. Maka jalan tersebut diambil alih pemerintah kota.
“tetapi pemkot malah menyerahkan ke pusat. Kesimpulan saya, ini pasti masalah beban untuk pemeliharaannya yang dianggap memberatkan,” pungkasnya. [gat]

Tags: