Dewan Dukung Pembatasan Penjualan Mihol

Miras golongan aDPRD Surabaya,Bhirawa
Legislatif menyambut baik sekaligus pelaksanaan  Permendagri 6 tahun 2014 yang salah satunya melarang penjualan terbuka minuman beralkhohol(mihol) pada tingkat pengecer. Dewan menganggap aturan ini meringankan Pemkot Surabaya yang tidak lagi harus membuat tambahan aturan di daerah baik Perda maupun Perwali.
Per tanggal 16 April 2015 mendatang, Pemkot Surabaya akan menerapkan Permendag Nomor 6 tahun 2014 yang mengatur tentang pengaturan, pembatasan dan distribusi minuman beralkohol.
Jika sebelumnya Pemkot Surabaya sempat terkesan gagal membuat aturan Perda tentang peredaran dan penjualan minuman beralkohol, kini niat itu justru mendapat dukungan penuh pemerintah pusat dengan dikeluarkannya SK Menperindag no 6 tahun 2014.
Masduki Toha wakil ketua DPRD Surabaya mengatakan bahwa pihaknya menyambut baik keluarnya SK Menperindag no 6 tahun 2014 yang salah satu isinya melarang toko, gerai, kedai hingga minimarket melakukan penjualan minuman beralkohol golongan A (5 % ke bawah,red).
“SK Menperindag ini tentu sangat meringankan beban pemerintah daerah karena berlaku secara nasional, sehingga kami tidak lagi capek-capek harus membuat dan menggodok Perda Minhol karena pada kenyataannya terus terjadi pro dan kontra di masyarakat terutama mereka yang sangat berkepentingan,” ucap anggota dewan kehormatan GP Ansor Jatim ini. (14/4)
Dalam paparannya, Masduki meminta kepada Pemkot Surabaya utamanya Satpol-PP Kota Surabaya untuk melakukan penertiban dengan tanpa pandang bulu, karena sudah menjadi kebijakan pemerintah pusat yang wajib untuk dipatuhi.
“Aturan ini diatas Perda dan Perwali, untuk itu saya minta agara Pemkot Surabaya terutama Satpol-PP untuk menjalankan aturan pemerintah  ini dengan menjauhi sikap tebang pilih, berlakukan dan jalankan semua isi aturan untuk semua sejak tanggal pemberlakuannya yakni 16 Maret 2015,” pintanya.
Sementara legislator Jatim mengingatkan potensi gugatan atas pelaksanaan Permendag tata niaga Mihol tersebut. Anggota Komisi B DPRD Jawa Timur, Muhammad Fawaid,menilai kebijakan itu berpotensi menimbulkan chaos. Menurutnya pelaksanaan aturan tersebut di daerah bisa digugat lantaran   tidak ada aturan turunan seperti peraturan daerah (perda) sebagai petunjuk pelaksana (juklak) maupun petunjuk teknis (juknis).
“Peraturan pembatasan minuman beralkohol itu tidak ada aturan turunannya. Saya khawatir di lapangan justru akan memicu chaos. Ini harus segera diantisipasi,”tegas politisi asal Jember itu, Selasa (14/4).
Pria yang akrab disapa Mufa itu menjelaskan, semangat peraturan ini sebenarnya baik, karena itu secara substansi pihaknya mendukung. Tapi karena tidak adanya koordinasi antara pusat dengan daerah maka di tataran pelaksanaannya berpotensi menimbulkan konflik horizontal.
Kemungkinan itu bisa terjadi kalau pemda maupun pemprov sebagai eksekutor tidak menggerakkan aparaturnya untuk melakukan penindakan karena kurang kuatnya dukungan payung hukum,  sehingga membuat mereka gamang. Dampaknya, kenyataan itu bisa disikapi berbeda oleh potensi masyarakat seperti ormas baik yang berlatar pemuda maupun keagamaan.
“Kalau pemda dan pemprov gamang mengeksekusi aturan, maka hal itu bisa disikapi sebagai sikap “main mata” oleh ormas. Sangat mungkin peran penindakan akan diambil alih oleh ormas. Dan kalau itu terjadi akan sangat berbahaya,” urai eksponen HMI ini.
Putera pimpinan Ponpes Al-Qodiri, KH. Muzaki Syah ini berharap pemerintah sebaiknya tidak memaksakan diri memberlakukan aturan itu sebelum instrumen pendukungnya siap. Pihaknya menyarankan agar Menteri Perdagangan berkomunikasi dan urun rembug dengan para kepala daerah, karena aturan ini tidak hanya berlaku di Jakarta, melainkan di seluruh wilayah NKRI. Terlebih karakteristik tiap daerah itu berbeda sehingga tak bisa digeneralisir.
“Kepala daerah itu yang paling paham kondisi di daerah. Mereka harus diajak bicara dan urun rembug. Ini zamannya desentralisasi, zaman otonomi daerah. Jangan memakai pola sentralistik, tidak pas,” sindir alumnus pasca sarjana UGM ini. [gat.cty]

Tags: