Pemkot Surabaya Ngotot Pemberlakuan NJOP Surat Ijo

Surat ijoDPRD Surabaya,Bhirawa
Pelepasan aset Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya berupa surat ijo masih menjadi bahasan yang serius. Penyebabnya adalah mekanisme pelepasan yang menjadi kendala utama. Pihak Pemkot bersikukuh pelepasan aset harus sesuai dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
Kepala Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah (DPBT) Maria Theresia Ekawati Rahayu menjelaskan, berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) nomor 17 penjualan aset pemerintah minimal sesuai dengan NJOP. Sehingga, pelepasan di bawah NJOP melanggar aturan.
“Tidak bisa di bawah NJOP, sampai sekarang belum ada regulasi yang memperbolehkan melepas aset tanpa mengganti (membeli) 100 persen sesuai NJOP,” ujarnya saat hearing di Komisi A DPRD Surabaya, Senin (16/2).
Yayuk, sapaannya, menegaskan, di dalam peraturan daerah (perda) nomor 1 tahun 1997 tidak disebutkan angka yang harus dikeluarkan oleh pemegang surat ijo. Yang diatur hanyalah perihal balik nama, nilai pajak. Karena itu, perda ini perlu diatur kembali agar menyesuaikan dengan kebutuhan saat ini.
“Perubahan perda 1/ 97 masih sedang kita bahas,” ungkapnya.
Pelepasan aset pemerintah tidak bisa dilepas dengan nol persen. Sesuai dengan perda, pelepasan aset harus dijual. Salah satu syarat pelepasannya adalah, pemegang surat ijo harus menempati sekurang-kurangnya 20 tahun berturut-turut, selain itu lahan yang dilepas maksimal berukuran 250 meter persegi, dan meruapakan kawasan pemukiman.
Berdasar data Pemkot Surabaya hingga sekarang ini pemegang surat ijo mencapai 46.611 orang. Dimana luasan tanah aset Pemkot yang diterbitkan surat ijo mencapai 8.319.081,62 meter persegi. Sebagian besar berada di Gubeng sebanyak 9.212 persil dan Wonokromo 7.073 persil. Bahkan hampir semua kecamatan di Surabaya memiliki surat ijo. Dari jumlah yang ada, setidaknya ada 36 ribu persil warga yang memenuhi syarat.
Yayuk mengatakan, bagi warga yang sudah memenuhi persyaratan akan disampaikan ke DPRD Surabaya. Setelah melalui proses persetujuan di dewan akan diberikan kepada Wali kota Surabaya, kemudian dilimpahkan ke DPBT untuk diproses secara administrasi untuk dilepas.
“Kita juga menyiapkan perwali (peraturan walikota) untuk pelepasan surat ijo, setelah pewali selesai baru kita akan lakukan sosialisasi,” tukasnya.
Anggota Komisi A DPRD Surabaya Fatkur Rohman mengungkapkan, berdasarkan pengaduan warga, pemegang surat ijo menginginkan pelepasan dilakukan dengan nilai nol persen. Alasannya, warga yang menempati lahan surat ijo sudah berpuluh-puluh tahun dan merupakan tanah warisan keluarga.
Politisi asal Fraksi PKS ini tidak setuju pelepasan surat ijo harus membayar 100 persen dari NJOP. Dengan ketentuan itu sangat memberatkan masyarakat. Meski begitu, dia sadar pelepasan dengan nilai nol persen tidak sesuai dengan ketentuan. Hanya saja, Fatkur meminta proses pembayaran disesuaikan dengan kemampuan warga.
“Kalaupun secara hukum tidak bisa diutik-utik harus sesuai dengan NJOP, paling tidak di perwali pembayarannya bisa diatur, misal nanti bisa dicicil sekian tahun, cicilannya juga tidak memberatkan,” pintanya.
Anggota Komisi A lainnya, Budi Leksono menambahkan, jika pelepasan harus sesuai dengan NJOP, maka dampaknya masyarakat akan menyakan sejarah kepemilikan Pemkot terhadap lahan surat ijo. Tanah yang mereka tempati merupakan tanah peninggalan orang tua.
“Masyarakat akan terus berjuang untuk mempertahankan tanahnya, mereka akan terus bertanya dasar kepemilikan pemkot,” terangnya.

Dukung Penghapusan NJOP-PBB

Komisi II DPR RI mendukung rencana Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional untuk menghapus Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dalam komponen harga jual tanah dan bangunan.
“Soal penghapusan NJOP kalau idenya dalam rangka memberikan pelayanan untuk rakyat saya kira kebijakannya terus kami dukung. NJOP selama ini harus jelas keuntungannya,” kata Ketua Komisi II DPR RI Rambe Kamarulzaman di Jakarta.
Politisi Partai Golkar itu menuturkan, pihaknya akan mendukung kebijakan yang dinilai banyak memberi manfaat bagi rakyat. Ia juga menambahkan jika kebijakan tersebut jadi dilakukan, maka akan ada mekanisme yang harus dibahas dengan Komisi Agraria itu.
“Ini kan soal tanah masyarakat, jangan sampai soal pertanahan berlarut-larut. Jika kebijakan ini bisa menyelesaikan masalah, bila perlu kita dukung penuh untuk menambah anggaran ini yang penting dan langsung pada masyarakat,” kata Rambe.
Menteri ATR/Kepala BPN Ferry Mursyidan Baldan mengatakan rencana kebijakan reformulasi NJOP serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan wujud nyata memperkokoh kehadiran negara dalam masalah pertanahan.
“Tujuan reformulasi adalah untuk memperjelas pengendalian terhadap harga tanah dan mengurangi potensi spekulasi terhadap harga tanah dengan menerapkan Zona Nilai Tanah (ZNT) setiap tahun oleh pemerintah melalui keputusan presiden,” katanya.
Ferry juga mengatakan kebijakan tersebut nantinya akan menetapkan batas harga atas tanah sehingga tidak ada transaksi jual beli tanah di atas harga yang ditetapkan pemerintah.
Sebelumnya, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN akan menghapus pencantuman komponen Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) pada komponen harga jual tanah dan bangunan.
Pihaknya juga telah memberitahukan kepada pengusaha properti terkait rencana penghapusan komponen NJOP pada lembaran pembayaran PBB.
Nantinya, skema ZNT akan diberlakukan sebagai pengganti fungsi NJOP. Ferry menargetkan skema ZNT akan mulai diberlakukan paling lambat mulai 2016.
Ia juga menegaskan ZNT bukanlah harga yang sesuai dengan mekanisme pasar melainkan hasil analisis pemerintah terhadap sejumlah variabel, di antaranya tata ruang.
“Dengan demikian, ZNT akan jauh lebih mendekati harga kepantasan (tanah). Ini kami lakukan karena kami ingin menghadirkan kepastian nilai jual tanah,” katanya.
Ada pun rencana penghapusan pajak atas tanah dan tempat tinggal dilakukan guna meringankan beban rakyat.
Pajak Bumi dan Bangunan nantinya akan dipisahkan menjadi dua, yakni pajak bumi dan pajak bangunan. Pemisahan dilakukan sebagai upaya penyederhanaan.
Pajak bumi akan dikenakan hanya satu kali yaitu saat sebidang tanah atau lahan menjadi hak milik seseorang.
“Tuhan kan menciptakan bumi satu kali, kok kita pajaki setiap tahun? Makanya ada aturan seperti ini, gunanya untuk mengurangi beban soal tanah,” katanya.
Ada pun pajak bangunan akan dikenakan setiap tahunnya hanya untuk bangunan komersial seperti kontrakan, kos-kosan, ruko serta restoran.
“Kebun atau lahan usaha lainnya aturannya menyusul. Tapi kami fokus agar rumah pribadi dan bangunan sosial tidak dikenakan pajak. Dalam perspektif kami, ini bisa mengurangi kapitalisasi nilai tanah dan bangunan,” katanya. [gat.ant]

Tags: