Di Balik Kokohnya Pundak Sang Ayah

Oleh :
Naila Aulia
Mahasiswi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Walisongo Semarang

Kokoh tidaknya sebuah bangunan bergantung pada seberapa kuatnya pondasi yang dibangun. Seringkali kita memandang takjub megahnya sebuah gedung, tanpa tau seberat apa beban yang ditanggung pondasinya. Karena, yang terpenting baginya ialah gedung yang menjadi tangunggannya tersebut tetap kokoh berdiri dengan megah. Membiarkan segala pujian jatuh pada sang gedung, padahal pondasilah yang menjadi asas penting megahnya ia. Gambaran ini hanyalah potongan kecil tentang sosok pahlawan tanpa nama, bertulang baja berhati sutra, dialah ayah.
Mengingat nama ayah sepertinya membuat sebuah rasa yang bernama rindu menganga tiada tara. Mengenang kembali segala perjuangannya mengasuh dan mendidik kita dengan cara tersendiri. Tidak selembut ibu, bahkan seringkali ia tak menampakkan kasih sayang itu sehingga terkadang kita menggapnya tidak peduli. Namun, sebenarnya begitulah cara yang ia pilih, ia lebih mirip seperti udara di dunia. Tidak terlihat wujudnya, namun manfaatnya begitu terasa setiap detiknya.
Sewaktu kecil, mungkin anak memang lebih dekat dengan sang ibu, karena ibulah yang memandikan, menyuapi dan menyiapkan segala kebutuhan. Lalu ayah? Bukannya ia tidak peduli, ia pun ingin selalu mendampingi putri kecilnya, menyaksikan setiap fase tumbuhkembangnya tanpa terlewat sedikitpun. Namun, ia harus menahan keinginan tersebut, kewajibannya untuk mencari nafkah bagi keluarga menuntutnya tetap fokus bekerja. Ketika ia pulang dalam larutnya malam, ia segera menanyai sang istri dengan banyak pertanyaan tentang perkembangan putrinya, memandang sang putri dengan sayang sambil merapalkan do’a dan berharap yang terbaik bagi putrinya. Lalu sesampai di kantor, dengan bangga ia menceritakan pada rekan-rekannya tentang tingkah menggemaskan putrinya, ketika ia mulai belajar merangkak, mebuat coretan pada dinding, menyukai segala makanan yang manis, dan bagaimana ia mulai belajar meneriakkan nama “Ayah” dengan nada yang masih terbata-bata. Momen seperti itulah yang memacu semangatnya untuk terus bekerja, agar putrinya bisa hidup berkecukupan tanpa kekurangan sesuatu apapun.
Ketika anak beranjak remaja, dan anak tumbuh dengan berbagai macam kenakalan yang ada , ayah akan segera mengambl tindakan tegas untuk menegurnya. Tak peduli, sang anak menangis atau menganggapnya tidak berbuat adil. Di lubuk hati terdalam, sungguh ayah tidak tega melakukan hal tersebut, namun tiada pilihan lain karena ayah tidak mau putrinya semakin terjerumus dengan berbagai jenis kenakalan, yang akan merugikan putrinya di kala dewasa nanti.
Menginjak usia dewasa, sang putri harus beranjak ke kota lain guna menempuh pendidikan di perguran tinggi. Masa yang cukup berat, baik bagi anak maupun orangtua, karena harus berpisah dalam jangka waktu yang lama, tiada kontak fisik melainkan hanya dari media saja. Kala itu, dengan pelukan erat dan derai air mata ibu melepaskan kepergian sang anak dengan berat hati. Bagimana tidak? Di hadapannya kini, telah hadir wanita dewasa yang dulunya ia rawat sepenuh hati harus berpisah dengannya. Tidak jauh berbeda dengan ibu, ayah pun merasakan hal yang sama. Namun, ia begitu pandai menata emosi nya. Hanya wajah tegar penuh senyuman yang menguatkan dan tatapan teduh lah yang ia sajikan, tiada air mata dan kesedihan di sana. Apa alasannya? Ayah ingin menyalurkan ketegarannya pada sang putri, ia takut jika raut kesedihan itu nampak pada wajahnya, sang putri akan semakin merasa berat akan perpisahan itu. Karena ia tau bahwa perpisahan ini adalah tangga menuju kesuksesan yang di cita-citakan putrinya selama ini.
Selama masa perpisahan itu, mungkin ibu lah yang paling sering menelpon sang putri, entah hanya ingin menanyakan kabar atau yang lainnya. Tapi, percayalah bahwa semua itu berkat ayah, ayah yang sellu mengingatkan ibu untuk menelepon putri mereka, ayahlah yang selalu mengkhawatirkan sang putri nan jauh di sana. Mungkin ibu lah yang lebih bisa memberikan kata-kata mutiara guna memberi nasehat bagi putri nya, karena memang begitulah cara seorang ibu memberikan kasih sayang pada anaknya. Tutur lembut dan perilaku luhur. Berbeda dengan ayah yang hanya melontarkan nasehat seadannya dengan nada ketegasan yang tak pernah luntur, namun begitulah keunikannya, bak mutiara dibalik kerasnya kerang.
Hingga waktu wisuda pun datang. Sang ayah hanya bisa memandang takjub jagoan kecilnya dibalik toga kehormatan wisudawati, dengan senyum merekah. Ia bangga sekali, sunggguh, seakan ialah pria paling beruntung di dunia. Didikannya selama ini berhasil membawa jagoan kecilnya pada titik ini. Percayalh, tidak ada hal yang bisa membuat ayah sebahagia itu, selain kesuksesan dari anaknya. Tidak peduli berapa pun kesulitan yang harus ia bayar demi kesuksesan sang putri.
Sampai sutu hari, saat seorang pemuda datang bersimpuh di hadapan ayah guna meminang putrinya. Kala tu, ayah benar-benar meneliti secara detail tentang pemuda itu, karena ia sadar bahwa kepada pemuda itulah ia akan menyalurkan estafet kewajibannya dalam menjaga sang putri. Di saat sang putri telah bersanding di pelaminan dengan pemuda pilihannya, ayah akan berucap lega karena berkurang sudah tanggung jawabnya dalam mengasuh sang putri. Ia telah mempercayakan putrinya pada pemuda tersebut.
Jika saja anak bisa memberikan seluruh harta miliknya pada sang ayah, sungguh tidak akan cukup untuk membalas kebaikannya, dan sungguh ayah pun tidak akan sudi menerimanya. Karena, baginya kebersamaan dengan anak-anaknya lah harta paling berharga yang ia inginkan di dunia ini. Hormatilah ia selagi maut belum memisahkan, karena ketika masa itu telah datang, kalian akan mengerti apa itu kerinduan dan penyesalan yang sesungguhnya.

———– *** ————

Rate this article!
Tags: