Di Balik Senja

Oleh:
Fajar Irawati

Angin berdesir lembut menyapu wajah Ningsih. Gadis manis dengan rambut hitam panjangnya menyandarkan kepala di bahu sang kekasih yang bernama Seno sambil menatap cakrawala. Sejak dua jam yang lalu, dua insan yang memadu kasih duduk di tepi pantai berbincang tentang masa depan mereka. Suasana senja yang sejuk membuat sejoli yang dimadu kasih ingin berlama-lama duduk bersama
“Mas, aku tidak sabar kamu menemui kedua orang tuaku untuk melamarku.”
“Mingu depan, aku akan segera menemui kedua orang tuamu.”
Tak terasa, senja perlahan sirna. Mereka harus berpisah walaupun berat. Saat ini, mereka belum bisa selalu bersama karena janji suci belum mengikat hati mereka.

***

Hari berganti hari, sesuai janji Seno kepada Ningsih, dia bertandang ke rumah kekasihnya bersama kedua orang tuanya untuk menyampaikan maksud hatinya bahwa dia benar-benar serius dan akan segera menikahinya.
Setelah berbasa-basi dalam percakapan, ayah Seno menyampaikan maksud kedatangan mereka kepada kedua orang tua Ningsih.
“Mohon maaf Pak, Bu, saya selaku bapak dari putra kami yang bernama Seno, ingin melamar putri bapak untuk bisa menikah dengan putra kami,” kata ayah Seno.
Ayah Ningsih mengangguk-angguk. Kemudian, beliau berkata, “Apa pekerjanmu, Nak?”
“Saya bekerja sebagai buruh pabrik tekstil di Jakarta, Pak.”
“Oh, jadi kamu bukan pegawai negeri?”
“Bukan, Pak.”
“Ehm.” Ayah Ningsih berdeham dan menghela napas panjang. Kemudian, beliau melanjutkan kata-katanya. “Begini, Nak Seno kami keberatan jika anak kami harus menikah dengan seorang buruh pabrik dan kami tidak ingin masa depan putri kami terlantar. Nah, oleh karena itu, …”
“Tapi, kami sudah saling mencintai, Pak!” Ningsih menyela kalimat ayahnya.”
“Ningsih, diam kamu! Rumah tangga itu bukan makan cinta!” kata ayah Ningsih dengan suara keras.
Hati Seno terasa teriris, dia tidak mengira ayah Ningsih akan berkata seperti itu.
Setelah diam beberapa saat, ayah Ningsih melanjutkan kalimatnya.
“Nak Seno, baiklah saya beri kamu kesempatan. Kalau dalam satu tahun ini kamu bisa menjadi pegawai negeri maka kamu boleh menikah dengan putriku dan jika tidak, terpaksa kamu tidak bisa menikahinya.
“Baik, Pak. Terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya.”

***

Setelah pertemuan itu, Seno berusaha sungguh-sungguh agar dia bisa menjadi pegawai negeri. Namun dalam satu tahun yang sudah ditentukan, Tuhan tidak meridainya untuk menjadi pegawai negeri.
Dengan perasaan sesak di dada, Seno menemui Ningsih untuk menyampaikan bahwa dia tidak bisa menikahinya karena dia tidak bisa memenuhi harapan ayah Ningsih untuk menjadi pegawai negeri.
“Maafkan aku Ning, kita tidak bisa bersama. Mungkin sudah jalan kita harus begini.”
Ningsih tidak bisa berkata-kata. Hanya isak tangis yang keluar dari mulutnya. Dia tidak rela harus berpisah dari Seno, pria yang selama ini dia cintai. Namun, sebagai seorang anak, dia harus taat dan patuh kepada orang tuanya. Hatinya terasa sesak dan berat harus menjalani takdir cintanya.

***

Waktu terus bergulir. Usia Ningsih semakin bertambah. Namun, belum ada pria yang bersedia mendampingi hidupnya. Melihat putrinya demikian, tumbuhlah rasa penyesalan dari ayah Ningsih yang sudah pernah menolak lamaran seorang pria yang benar-benar tulus mencintai putrinya. Saat itu, ayah Ningsih hanya memikirkan status. Hingga akhirnya, ayahnya harus dipanggil Sang Kuasa dan belum pernah mendampingi putrinya dalam sebuah ikatan janji suci pernikahan.
Tak terasa, 30 tahun sudah mereka berpisah dan usia mereka semakin senja. Sejak perpisahan itu, mereka berdua menjalani kehidupan masing-masing tanpa ada jalinan komunikasi. Walaupun sudah tidak ada jalinan komunikasi, tetapi mereka tidak bisa melepaskan cinta yang ada di hatinya. Mereka tetap menjaga hati untuk tidak menerima hati lain singgah.

***

Di suatu sore menjelang senja, Ningsih duduk sendiri di tepi pantai tempatnya dulu memadu kasih. Dia melihat sekelompok burung camar terbang di atas deburan ombak. Angannya juga turut terbang melayang mengenang masa-masa indah bersama kekasihnya 30 tahun silam.
Semilir angin mengembara dan menyibak rambutnya yang sudah mengabu. Ketika dia sedang menatap cakrawala senja, tiba-tiba, dia dikejutkan dengan suara laki-laki.
“Ningsih, kamu Ningsih, kan?”
Ningsih menoleh ke arah suara. Dia melihat sosok pria paruh baya berkemeja warna biru muda dipadu dengan celana panjang berwarna hitam. Awalnya, dia merasa asing dengan laki-laki itu. Namun, setelah beberapa saat dia mengamatinya, dia merasa tidak asing dengan guratan wajahnya. Ya, dia adalah Seno. Lelaki yang selalu ada di hatinya, kini ada di depan matanya lagi.
“Mas Seno?”.
Lelaki itu mengangguk dan berkata, “Kamu masih ingat aku, Ning?”
Ningsih mengangguk dan menyunggingkan senyum bahagia. Dia tidak percaya bahwa lelaki itu adalah kekasihnya dulu
“Bagaimana kabarmu, Ning?”
“Baik. Bagaimana kabarnya, Mas?”
“Baik, Ning,” kata Seno tersenyum.
Debaran di dada yang mereka rasakan dulu, kini merasuk kembali menyelimuti hati mereka. Setelah bertahun-tahun berpisah, mereka kembali bertemu di waktu senja, di saat usia mereka sudah senja dan masih sama-sama sendiri. (*)

Cilacap, Desember 2021

———– *** ———–

Rate this article!
Di Balik Senja,5 / 5 ( 1votes )
Tags: