Diabadikan dengan Nama Jalan, Sayang Investasi dari Surabaya Masih Minim

Hubungan Pemkot Surabaya dan Pemkot Busan di Korea Selatan diabadikan dalam bentuk nama jalan, yakni Jalan Surabaya yang berada di depan BIC.  Keberadaan jalan ini seharusnya menjadi modal Surabaya untuk lebih berani melakukan penetrasi investasi ke kota metropolis kedua setelah Seoul.

Hubungan Pemkot Surabaya dan Pemkot Busan di Korea Selatan diabadikan dalam bentuk nama jalan, yakni Jalan Surabaya yang berada di depan BIC. Keberadaan jalan ini seharusnya menjadi modal Surabaya untuk lebih berani melakukan penetrasi investasi ke kota metropolis kedua setelah Seoul.

Melihat dari Dekat Busan, Sister City Surabaya di Korea Selatan (2-Bersambung)
Surabaya, Bhirawa
Kerjasama sister city antara Pemkot Surabaya dan Pemkot Busan  pada 2015 ini sudah menginjak 21 tahun. Kerjasama yang cukup lama sebenarnya, sayangnya hingga kini kerjasama yang berjalan efektif hanya di sektor pendidikan dan budaya. Sedangkan investasi pengusaha dari Surabaya yang masuk ke Kota Busan masih minim, padahal kesempatan dan peluang untuk  menggarap pasar di sana terbuka luas.
Begitu kuatnya hubungan yang terjalin antara Pemkot Surabaya dan Pemkot Busan bisa dilihat dari diabadikannya nama Surabaya dalam bentuk jalan di Kota Busan. Ya, ada nama Jalan Surabaya sebagai jalan utama dan berada persis di depan gedung BIC (Busan Indonesia Center).
BIC merupakan gedung multi fungsi seluas 400 m2  dengan lima lantai yang berlokasi di antara apartemen, sekolah, gerai makanan, taman umum, dan pertokoan di  kawasan  1900 Geumgok-Dong Buk-Gu Busan.  BIC menjadi semacam obat kangen bagi warga  Indonesia termasuk Surabaya yang tinggal di Busan. Sekaligus untuk memperkenalkan Indonesia kepada penduduk Korea  Selatan. Maklum sebagian warga Korea Selatan mengganggap Indonesia sama dengan India. Tapi dengan adanya BIC yang diresmikan sejak April 2014 ini, masyarakat di sana makin tahu Indonesia.
Gedung ini mendisplai berbagai kerajinan berbagai daerah di Indonesia. Bahkan di lantai pertama area gedung juga ada  Café Luwak yang menyajikan kopi luwak khas Indonesia.  Uniknya persis di depan Café  Luwak, dipajang  ikon Surabaya yang legendaris, patung Suro dan Boyo. Café Luwak ini juga menyajikan sejumlah menu khas Indonesia seperti gado-gado, nasi goreng dengan iringan lagu-lagu Indonesia dan siaran TV Indonesia.  Dan hasilnya luar biasa, warga Korea Selatan  menyukai makanan tradisional serta atmosfer di dalamnya yang kental nuansa Indonesia.
Kepala Pusat BIC Profesor  Kim Soo Il menjelaskan kunjungan warga ke BIC  mengalami peningkatan pesat. “Sekarang di kisaran 300-400 orang setiap hari berkunjung ke BIC. Sambil makan, mereka juga melihat-lihat displai barang kerajinan yang kita pamerkan.  Bagi mereka yang penasaran dengan Indonesia, kita juga punya ruangan untuk memutar film dan aneka musik tradisional Indonesia,” kata Kim Soo Il yang mendalami dan paham tentang Indonesia termasuk kebudayaannya.
Prof Kim yang merupakan profesor di Busan University of Foreign Studies itu mengatakan banyak yang mengira BIC adalah milik Pemerintah Indonesia. Pasalnya BIC memang menyediakan informasi terkait Indonesia, mulai dari pariwisata, budaya, ekonomi, hingga politik di Indonesia bagi masyarakat Korea Selatan, terutama yang tinggal di Busan. Bahkan, gedung ini juga sering dimanfaatkan untuk kegiatan para TKI di Kota Busan. Sekadar tahu, saat ini ada sekitar 15.000 TKI dan pelajar yang tinggal di Kota  Busan “Tapi gedung ini bukan milik Pemerintah Indonesia,” katanya.
Dijelaskannya BIC didirikan dengan dana swadaya. Untuk membangun gedung BIC, Prof Kim menghabiskan dana sebesar 6 juta dollar AS . Kini operasional gedung ini pun 80% dari dana pribadinya. Meski demikian, dia mengaku tidak mengharapkan apa-apa dari Pemerintah Indonesia. Prof Kim hanya berharap komitmen dari pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk memanfaatkan gedung tersebut sebaik-baiknya bagi kepentingan Indonesia.
Prof Kim menuturkan sejak adanya BIC ini, banyak warga Busan khususnya dan Korea Selatan penasaran dengan Indonesia.  “Bali, Jakarta, Bandung  dan Surabaya menjadi tujuan favorit warga Busan dan Korea Selatan untuk berkunjung ke Indonesia. Tidak hanya untuk mengunjungi tempat wisata, tapi juga berinvestasi,” katanya.
Sayangnya, secara umum tidak banyak pengusaha Indonesia yang menggarap pasar Korea Selatan, padahal ekonomi negara Ginseng ini matang dan tumbuh demikian cepat. Hal yang sama juga terjadi pada Kota Surabaya. Meski sudah menjalin kerjasama sister city menginjak usia 21 tahun, namun tidak ada pengusaha Surabaya yang menggarap pasar Busan.
Tentu kondisi ini sangat disayangkan Prof Kim. Secara pribadi, dia ingin makin banyak pengusaha Surabaya bisa berinvestasi di Busan, bukan sebaliknya hanya pengusaha Korea Selatan yang berinvestasi di Indonesia. “Mungkin untuk upaya ini perlu dorongan kuat dan bantuan dari pejabat setingkat Gubernur Jatim. Prinsipnya kami terbuka bagi pengusaha Surabaya dan Jatim yang mau berinvestasi di Busan, kami siap membantu,” katanya.
Secara khusus Prof Kim juga mengatakan agar Wali Kota Surabaya mendatang mengoptimalkan keberadaan Jalan Surabaya di depan BIC untuk mempromosikan potensi dan peluang yang ada di Surabaya. Tak hanya dari sisi pariwisata dan budaya, juga ekonomi.  Jangan hanya sekadar menjadi jalan saja, tapi tidak ada subtansinya.  “Silakan berinovasi untuk promosi Kota Surabaya di sepanjang Jalan Surabaya. Misalnya dengan agenda pameran, gathering dengan pengusaha  atau lainnya secara berkala, menyesuaikan dengan agenda warga Busan,” katanya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, 11 provinsi yang paling sering dikunjungi oleh wisatawan Korea Selatan adalah Bali, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DKI Jakarta, Sumatera Utara, Lampung, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, Banten, dan Sumatera Barat.
Kota Busan merupakan kota terbesar kedua di Korea Selatan setelah Seoul dan merupakan salah satu dari tiga pelabuhan tersibuk di dunia. Kota berpenduduk empat juta jiwa itu berpotensi menjadi pasar pariwisata Indonesia. Menurut Prof Kim, faktanya saat ini, orang Korea yang ada di Indonesia didominasi berasal dari Busan.
Sementara itu Dr Kyung Tae Kang selaku Direktur BIC menambahkan banyak warga Korea Selatan termasuk Busan mencintai produk-produk yang tak bisa dihasilkan oleh negaranya sendiri. Bukan karena ketidakmampuan teknologi dan SDM, tetapi lebih pada keterbatasan sumber daya alam yang dimiliki.
“Banyak warga Busan tertarik dengan furniture Indonesia, baik yang terbuat dari kayu dan rotan. Ini pasar yang bisa digarap oleh pengusaha Indonesia termasuk Surabaya,” katanya.
Selain itu cita rasa makanan Indonesia yang kaya rempah juga mulai digemari warga di sana. Jenis-jenis makanan seperti nasi goreng, gado-gado sudah mulai familiar bagi warga Busan. Demikian halnya dengan aneka kopi dari Indonesia. “Pasar makanan jadi dan kuliner juga terbuka luas di sini,” katanya. [Titis Tri Wahyanti]

Tags: