“Diametralisme” Pilpres

Dua pasang bakal calon presiden dan wakil presiden telah ditetapkan KPU (Komisi Pemilihan Umum) maju dalam pilpres 2019. Bersamaan dengan penetapan calon legislatif (caleg) pusat dan daerah. Tim kampanye parpol pengusung calon presiden dan wakil presiden (Capres-wapres), akan bekerja keras berkampanye. Tim Kampanye pilpres, dan caleg, niscaya telah ter-integrasi. Suasana riuh politik akan segera menyala-nyala. Karena itu patut dinyatakan “janji pemilu damai” .
Sekitar tujuh bulan mendatang (sampai April 2019), akan menjadi periode paling sulit. Karena suasana panas politik. Maka aparat negara (terutama TNI, dan Polri) wajib lebih seksama menjamin keutuhan nasional. Serta penyelenggara pemilu wajib mewujudkan pesta demokrasi damai, lebih berkualitas. Konstitusi meng-amanatkan pemilu berkualitas. Terutama jaminan aspek kejujuran, dan keadilan.
UUD pasal 22E ayat (1) “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.” Terdapat enam kata yang diamanatkan, yakni, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Empat frasa kata merupakan persyaratan teknis. Realisasinya menjadi tanggungjawab penyelenggara pemilu (KPU beserta perangkatnya hingga di TPS). Serta dua Frasa kata jujur, dan adil, merupakan persyaratan etika (tertulis) yang wajib direalisasi.
Persyaratan etika (jujur, dan adil), akan menjadi pilar utama pilpres, maupun pileg. Sekaligus sebagai sumbu ukur. Sehingga realisasi pemilu jujur dan adil, wajib diupayakan seluruh peserta pemilu (parpol), perorangan (caleg), sampai tim kampanye. Juga Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu). Bahkan berbagai institusi pemantau, dan masyarakat, akan turut meneropong prasyarat jujur, dan adil.
“Teropong” prasyarat jujur, dan adil, sesungguhnya telah dimulai sejak masa penyaringan bakal capres-wapres oleh parpol. Walau sebagian “dugaan” ke-tidak adil-an maupun ke-tidak jujur-an, biasanya diabaikan. Termasuk dugaan money politics, maupun janji-janji. Namun setelah penetapan Capres-wapres, dan penetapan caleg, seluruh proses pemilu (kampanye sampai coblosan) akan diteropong lebih seksama. Pelanggaran norma UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, akan ditindak.
Indonesia akan menjadi negara pertama di dunia, yang menyelenggarakan pilpres serentak dengan pemilu legislatif (pileg). Capres-wapres, akan maju bersama dengan seluruh caleg. Seluruh parpol, saat ini telah terkumpul dalam dua kubu Capres-wapres. Sehingga seluruh caleg DPR-RI, caleg DPRD Propinsi, serta caleg DPRD kabupaten dan kota, akan berkait (ter-integrasi) dengan Capres-wapres. Seluruhnya bagai berhadap-hadapan antara dua kubu Capres-wapres, secara diametral.
Pemisahan sosial “diametral” dampak sosialisasi pasangan Capres-wapres, petut diwaspadai bersama. Maka tim sukses mesti bekerja seksama, menghindari dampak negatif. Terutama kampanye terselubung melalui media sosial (medsos). Sejak pengumuman dua bakal calon presiden, telah terbukti adanya “tawur sosial” di medsos. Berjuta-juta narasi, dan olok-olok ditebar. Begitu juga fakta-fakta, dan data hoax di-posting luas.
Berbagai tanda pagar (tagar) juga telah menunjukkan permusuhan nyata. Misalnya, tagar yang ditulis pada kostum, telah menimbulkan bentrok antar-pendukung. Begitu pula seluruh medsos (facebook, WhatsApp, twitter, instagram, sampai email), dan sejenisnya, telah dijadikan arena perseteruan. Sehingga diperlukan kinerja lebih keras aparat BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara). Termasuk penguatan Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure (ID-SIRTII).
Perseteruan melalui dunia maya (medsos) telah lama dimulai, bagai “perang terbuka” tanpa batas. Padahal sudah terdapat UU 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Perlu batasan pelaksanaan hak asasi manusia, agar tidak menabrak hak dan kebebasan orang lain, sesuai amanat UUD pasal 28J ayat (2). Pilpres 2019 akan sangat diametral. Tetapi suasana pilpres wajib berjalan ramah sosial.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: