Diancam 20 Tahun Penjara, Masduqi Tak Lakukan Eksepsi

Masduqi, terdakwa mantan Sekda Nganjuk usai menjalani sidang dugaan korupsi pengadaan kain batik di Pemkab Nganjuk, Kamis (8/9)

Masduqi, terdakwa mantan Sekda Nganjuk usai menjalani sidang dugaan korupsi pengadaan kain batik di Pemkab Nganjuk, Kamis (8/9)

Dugaan Korupsi Pengadaan Kain Batik Pemkab Nganjuk 2015
Tipikor, Bhirawa
Sidang kasus dugaan korupsi pengadaan kain batik di Pemkab  Nganjuk tahun 2015 dengan anggaran Rp 6,2 miliar mulai disidangkan di Pengadilan Tipikor Juanda, Kamis (8/9). Meski diancam 20 tahun penjara, terdakwa Masduqi yang juga mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Nganjuk tidak menyatakan keberatan atau eksepsi atas atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Persidangan yang di Ketuai Majelis Hakim Matheus Samiaji mengagendakan pembacaan dakwaan oleh JPU. Dalam dakwaannya, Jaksa Eko Baroto mengatakan terdakwa Masduqi bersama dengan tiga terdakwa terpisah yakni, Sunartoyo, Mashudi, dan Edy Purwanto mendapatkan keuntungan dari pengadaan kain batik tahun anggaran 2015.
Dari perbuatan yang dilakukannya, masing-masing terdakwa menerima keuntungan bermacam-macam. “Selaku Sekda, terdakwa Masduqi mendapatkan keuntungan sebesar Rp 20 juta,” kata Jaksa Eko Baroto dalam surat dakwaanya, Kamis (9/9).
Atas perbuatannya, Eko mengaku negara merugi hingga Rp 3,2 miliar. Dan perbuatan terdakwa Masqudi didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 Jo UU RI Nomor 20 tahun 20012 tentang Perubahan UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Mendenggar dakwaan dari JPU, terdakwa Masduqi melalui penasihat hukumnnya Amir Burhanudin menyatakan tidak mengajukan eksepsi atau keberatan. “Kami tidak mengajukan eksepsi atas dakwaan Jaksa,” tegas Amir Burhanudin dihadapan Ketua Majelis Hakim Matheus Samiaji.
Usai persidangan, Amir menjelaskan, dari dakwaan Jaksa terungkap bahwa yang mempunyai niat akan pengadaan kain batik bukanlah kliennya. Melainkan dalam dakwaan tertulis bahwa Bupati Nganjuk selaku pemegang kekuasaan pengelolahan keuangan daerah, menghubungi Kepala Bappeda Nganjuk untuk menyisipkan atau memasukkan anggaran kegiatan belanja pakaian batik.
Selanjutnya kegiatan itu masuk kedalam anggaran, hingga pengujian spek. Amir mengaku, hal itu merupakan permintaan dan harus disetujuii Bu Ita (istri Bupati). Mengetahui hal itu, Amir menegaskan bahwa kliennya merubah nomer klatur untuk pembelian kain batik yang harganya Rp 500 ribu per potong, dan diubah menjadi Rp 500 ribu mendapat dua potong.
“Apakah ini yang dianggap perbuatan pidana ? Ini kan keuntungan dari sisi barang, dan itu sesuai dengan kebutuhan penggunaan batik. Kenapa sampai di rubah? karena klien saya menilai ini kemahalan kalau 1 potong harganya Rp 500 rb, hanya itu fakta dalam dakwaan. Semuanya jelas atas perintah Bupati, secara  teknis yang mengatur yakni Sunartoyo dan Bu Ita. Jadi kita bisa tarik, siapa yang punya niat jahat dari kasus ini,” tegas Amir.
Terpisah, saat disinggung terkait nama Bupati Nganjuk Taufiqurrahman yang dalam surat dakwaan Jaksa dinilai menerima keuntungan sebesar Rp 500 juta, Jaksa Eko enggan menanggapi hal itu. bahkan saat ditanya apakah Bupati sudah pernah dimintai keterangan dalam penyidikan, Eko menjawab sudah pernah dipanggil, namun tidak hadir.
“Seperti yang dibacakan dalam dakwaan di persidangan, itulah yang menjadi fakta. Untuk keterlibatan Bupati silahkan dinalar sendiri. Untuk bupati pemanggilan sudah ada dalam penyidikan, namun yang bersangkutan tidak hadir, sesuai dengan surat yang disampaikan bahwa beliau ada kegiatan di Jakarta. Dan bupati belum pernah dimintai keterangan sebagai saksi, karena kita melakukan penahanan kan prosesnya jalan terus. Kita mementingkan perkara ini,” pungkas Jaksa yang juga sebagai Kasi Pidsus Kejari Nganjuk ini. [bed]

Tags: