Dibalik Wajah Baru Semesta

foto ilustrasi

Oleh:
Yuniawati Nurjannah

Semesta kini kau menampakkan wajah barumu
Kau mendekap semua yang ada disekelilingmu
Memangkas ruang yang ada
Menenggelamkan harapan yang mereka bangun
Kau buat aturan yang mencekik

Wajahmu kini membawa pro kontra bagi mereka
Bagi kalangan yang pro akan wajahmu kini,
tahu berapa banyak luka yang telah mereka berikan kepadamu
Sedangkan kalangan kontra hanya hasrat yang ada di diri mereka

Mereka tak tau dibalik wajah barumu kini
Biar aku saja yang tau bahwa kau sudah sangat rapuh, wahai semesta…
Kekejaman yang kau terima berabad-abad lamanya,
selama itulah kidung kematian selalu berputar disekelilingmu.
Rongga menganga kemarin pun belum sembuh,
kini mereka goreskan lagi dan lagi rongga yang baru.

Sadarkah kalian dibalik wajah baru semestaku kini!

Duka Sang Hujan

Coba bisikkan padaku letak salahku, wahai manusia!
Ketika ku jatuhkan diriku pada semesta
Aku datang membawa berkah tuk kalian
Tapi kenapa kau teriakan diriku untuk secepatnya pergi
Seolah-olah diriku membawa malapetaka bagimu
Coba bisikkan padaku letak salahku, wahai manusia!
Ketika kau renggut semuanya dariku
Tanah yang bagaikan ibu bagiku pun kau hilangkan
Anak sungai yang bagaikan saudara bagiku pun kau nodai
Coba bisikkan padaku letak salahku,wahai manusia!
Kau sendiri yang datangkan musuhku kepada ibu dan saudaraku
Kau buat duniamu sendiri,
Yang tanpa kau sadari, kau datangkan temanku si banjir
Dialah yang kalian teriaki setelah diriku
Dialah yang merusak semua yang kalian punya,
karena ulah kalian sendiri
Coba bisikkan lagi apa salahku dan dia padamu, wahai manusia!

Hilangnya Dewi Sri

Canda tawa sang petani makananmu setiap pagi
Senandung burung yang kau persembahkan tuk petani,
sebagai teman cangkul yang kau bawa
Cangkul itulah yang kini candu bagimu
Di cangkul itulah harapannya dan harapanmu tersimpan
Ke elokan hamparan permadai yang hijau berseri,
semangat tersendiri bagi petani
Tapi kini…
Kau pergi entah kemana Dewi Sri
Senandung yang dahulu kau persembahan,
kini tergantikan nafas alat-alat berat.
Harapan yang kau dan sang petani genggam,
kini entah terbang kemana

Bukit Belakang Rumahku Telah Hambar

Ku terlahir berdampingan dengan keelokan wajahmu
Kau suguhkan melodi dari burung yang ada
Ku dibuai dalam dekapan sang semesta
Yang selalu mengingatku akan dekapan pertiwiku
Tapi kini keelokanmu terasa hambar bagiku
Melodi nan indah pun sirna
Dekapanmu kini terasa dingin
Kau hilang bagaikan tertelan bumi
Kemana kan kucari keelokan itu, wahai bukit
Kemana kan kucari melodi yang kau suguhkan itu
Kini semuanya telah hambar akibat tangan kotor itu
Kembalilah wahai bukitku
Ku disini merindukanmu

Ozon, Sang Juru Peradaban

Aku tercipta jauh sebelum kalian memeluk dunia ini
Sudah kusaksikan berbagai fase kehidupan
Jerit pilu musnahnya sang hewan besar hingga nyanyian
sang meriam yang menggetarkan perasaanku.
Semua itu tak sedikit pun melukaiku
Tapi fase kehidupan kini jauh dari harapanku
Mereka secara tidak sengaja melukai tubuhku,
menciptakan gumpalan kabut hitam dari corong itu.
Kau bangun kubus kaca itu untuk keestetisanmu semata,
sedangkan diriku ini terluka
Padahal diriku lah yang melindungi kalian selama ini
Ucapan terima kasih pun tak kunjung kalian lontarkan
Tapi kalian malah berikan luka pada diriku
Tak dengarkah kalian jeritan kesakitan ini
Berkali-kali terbesit dibenakku utuk menyerah menjaga kalian,
tapi sekali lagi ku sampingkan keegoisanku ini
Karena jika ku menyerah maka peradaban kalian pun akan hilang.
Maukah kalian wujudkan permintaan sederhana dariku?
Bangunlah peradaban baru yang tak lagi melukaiku

Tenang Penulis: Yuniawati Nurjannah, Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Berdomisili di desa Wiradadi RT 04 RW 02, Sokaraja, Banyumas. No. Rek 1792-01-001521-53-2, a.n Yuniawati Nurjannah, BRI Kantor Cabang UMP Purwokerto. HP 08999088041. Posel: nurjannahyuniawati@gmail.com

——– *** ———-

Rate this article!
Tags: