Dibanding Daerah Lain, Infrastruktur Sidoarjo Kian Terseok

Salah satu proyek yang tidak tuntas hingga Akhir Desember 2017. [hadi suyitno/bhirawa]

Catatan Akhir Tahun Bagian II (Habis)
Sidoarjo, Bhirawa
Frontage Road (FR) Sidoarjo merupakan gambaran kelam perbaikan infrastruktur yang terseok-seok. Padahal sarana ini merupakan satu irisan jalan (borderless) dengan FR Surabaya, bedanya FR Surabaya sudah lama dinikmati masyarakat, sementara FR Sidoarjo masih berkutat pada pembebasan yang tak ada ujung penyelesaian.
FR Sidoarjo ibarat hutang kepada masyarakat yang belum dibayar. Masyarakat banyak menjerit mengeluhkan kemacetan jalur Gedangan-Buduran atau sebaliknya. Jalan yang panjangnya 8 km mempunyai simpul kemacetan di Aloha, Simpang Empat Gedangan, Simpang Tiga Maspion (yang menuju lingkar timur). Untuk bisa menembus jalur ini butuh energi besar karena pada saat macet parah bisa memakan waktu hingga satu jam.
Jalur macet ini sebenarnya satu irisan dengan FR Surabaya. Bila Jl A Yani, Surabaya sudah terbuka lebar, maka Sidoarjo sebagai hinterland nya harus menyesuaikan diri untuk membuat jaringan jalan yang longgar. Bagaimanapun Surabaya merupakan ibukota provinsi yang ritmenya harus diikuti Sidoarjo. Seperti jaring laba-laba, jalan di Surabaya itu harus berkoneksi dengan daerah sekitar seperti Sidoarjo, Gresik, Mojokerto.
Ketika era Bupati Sidoarjo dijabat Win Hendrarso, saat itu pula Sidoarjo melirik FR sebuah solusi, sejak 2007 sudah memulai program pembangunan FR. Start dicanangkan FR kurang lebih sama dengan Pemkot Surabaya, Cuma Surabaya tidak hanya membangun wacana tetapi juga mengimplementasi gagasan itu hingga tuntas.
Mantan Asisten I Pemkab Sidoarjo, Suyono SH, membenarkan, dibanding Surabaya sebenarnya Sidoarjo lebih mengawali untuk membangun FR dari sisi timur jalan mulai dari Bunderan Waru sampai Stasiun Buduran.
Satpol PP Sidoarjo jauh hari sudah menertibkan PKL yang mendiami bantaran rel kereta api di Waru. Namun komunikasi dengan PT Kereta Api terputus untuk menggunakan lahan PT KA.
Suyono memahami kompleksnya pembebasan lahan di Sidoarjo, banyak tanah warga yang harus dibeli. Dan untuk membebaskan tanah diperlukan strategi agar harga tanah tidak berat sebelah.
PLT Sampah
Tahun 2018 menjadi harapan Sidoarjo untuk bersinar lebih cemerlang. Harapannya jalan FR bisa selesai, walaupun sebatas pembebasan karena DPRD sudah menyetujui belanja Rp85 miliar untuk beli tanah. Dinas PUPR jangan lagi duduk manis, menunggu perusahaan menghibahkan lahan. Tetapi juga harus jemput bola. Jangan biarkan masyarakat menunggu tanpa kepastian akan selesai.
Tahun 2017 harus dijadikan contoh tentang kegagalan perencanaan pembangunan Sidoarjo, proyek daerah yang tidak selesai, banjir, macet, menjalarnya enceng gondok dan menurut perkiraan penyerapan anggaran maksimal hanya 80% saja. Padahal tahun-tahun sebelumnya penyerapan anggaran berkisar 90% hingga 93%. Anggaran banyak yang tidak terserap akibat kelambatan Dinas PUPR dan Diknas dalam menjalankan lelang. OPD itu baru menggelar lelang sekitar Oktober 2017.
Pemkab Sidoarjo tahun depan punya gawe besar, membangun PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) dengan kisaran investasi Rp1,2 triliun, serta gedung terpadi 17 lantai yang tahun kemarin tidak disetujui dewan.
Ketua Komisi C DPRD Sidoarjo, Abdillah Nasich, Kamis (28/12) kemarin, mengharapkan agar program Pemkab untuk membangun PLTSa dan sampah sanitary landfill berjalan lancar. Begitu pula dengan gedung terpadu. Tahun ini gedung terpadu 17 lantai dengan anggaran Rp850 miliar mendapat penolakan dewan, tetapi Pemkab sudah mengurangi jumlah lantainya serta mengepras anggarannya.
Sementara sumber lain menyebutkan, sukses tidaknya program prioritas bupati akan tergandung dari komunikasi Sekkab dengan DPRD. Kedua institusi ini harus inten bersinergi, berkomunikasi dan menjauhkan egoisme dan aroganisme. Karena terbukti gesekan komunikasi tidak menyelesaikan masalah. Contoh mudahnya, saat muncul dana siluman Rp84 miliar pada alinea VII APBD 2017 yang berakibat berantakan perencanaan kegiatan proyek. ”Persoalan itu bisa diselesaikan bila Sekkab dan DPRD berkomunikasi yang baik,” ujarnya.
Sekkab Sidoarjo, Joko Sartono, akan purnatugas Januari 2018. Bupati harus bisa memilih sekkab yang bisa membantu tugas-tugas bupati dengan baik, bukan Sekkab yang malah memberi red line (garis merah) yang menjauhkan bupati dengan fraksi-fraksi yang ada dalam tubuh DPRD Sidoarjo. ”Kasihan bupatinya kalau begitu,” pungkasnya. [hds]

Tags: