Difabel Berjuang Tanpa Batas

Oleh :
Tuti Haryati, M.Pd
Pemerhati Inklusif dan Literasi sekolah ; Kepala Sekolah SMP Islam Al Azhaar Tulungagung

Sesuai amanat UUD 1945 diskriminasi terhadap kaum difabel jelas melanggar konstitusi  dan Hak Asasi Manusia. Seolah mengebiri hak dan kemampuan warga Negara yang berkebutuhan khusus untuk mengembangkan segala    potensi(akademik) yang ada pada dirinya. Sebuah vonis yang masih dapat diperdebatkan.
Apalagi Pemerintah sendiri selalu memberikan ruang kesempatan kaum difabel untuk mampu mengeksploitasi diri.  Banyak ruang publik dilengkapi fasilitas kemudahan demi memudahkan, meringankan beban. Maka, tidak seharusnya pihak pengelola perguruan tinggi justru melakukan pembedaan.
Penulis memperkuat kenyataan yang terjadi di perguruan tinggi antara program dan kenyataan di lapangan belumlah sama. Pengawalan dalan penyusunan permen dan pendataan tersebut, untuk menyukseskan diterapkannya pendidikan inklusi di perguruan tinggi. Direncanakan, pola pendidikan yang akan diterapkan bagi penyandang disabilitas di perguruan tinggi adalah pendidikan inklusi, bukan pendidikan luar biasa, sehingga mereka bergabung di satu kelas dalam mengikuti perkuliahan.
“Dalam penetapan (permen) ini kami tidak bisa segera menurunkan permen ke perguruan tinggi karena masih kami susun, termasuk petunjuk teknis dari masing-masing perguruan tinggi nantinya dalam menerima pendidikan inklusi,” tutur Eva.
Konstitusi sendiri sudah mengamanatkan, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan (pasal 31 ayat 1). Tidak selayaknya  perguruan tinggi melakukan pembedaan.  Karena, setiap orang itu mempunyai kesempatan dan berhak untuk memperoleh pendidikan di perguruan tinggi, termasuk mahasiswa difabel. Namun, kenyataannya dalam pelayanan masih seringkali diskriminasi diterima bagi kaum difabel.
Keyakinan tidak ada pembedaan pernah diungkapkan   Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) Prof Dr Soedijono Sastroatmodjo pihaknya  sangat terbuka jika ada anak berkebutuhan khusus yang ingin masuk Unesa. Hanya, mereka tetap melalui tahap seperti siswa lain. Semisal  anak cacat fisik seperti kaki polio, bisa saja masuk ke fakultas non-kependidikan, misalnya hukum atau ekonomi, namun jelas menutup kemungkinan untuk masuk ke FKIP Jurusan Olah Raga.
Ketika ada calon mahasiswa difabel yang memiliki kemampuan akademis yang baik, tidak ada alasan bagi perguruan tinggi untuk tidak memberikan kesempatan. Nilai akademis itu sudah  menjadi syarat mutlak dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Oleh karena itu Panitia penyelenggara Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2015 diharapkan memberikan kesetaraan kesempatan dan peluang yang sama kepada kaum penyandang difabel. Kesetaraan mengakses pendidikan sejalan dengan UU No 19 tahun 2011 yang meratifikasi hak-hak penyandang difabel.
Seperti dikatakan Ketua Umum Panitia Nasional SNMPTN-SBMPTN 2015, Prof Rochmat Wahab yang memastikan  akan memperhatikan penyandang difabilitas. perlakuan diskriminasi tidak akan terjadi dalam penyelenggaraan SNMPTN 2015. Panitia akan menyiapkan pembimbing khusus bagi penyandang difabel untuk membacakan soal atau memberi waktu yang lebih panjang mengingat cara membaca braile bagi penyandang tunanetra membutuhkan waktu lebih lama dibanding orang normal. (Sindonews.com, 10/2/2015)
Meskipun demikian, dalam persiapan untuk seleksi penerimaan mahasiswa baru baik melalui jalur undangan maupun SNMPTN berbagai informasi persayaratan khusus wajib disosialisasikan sejak dini. Secara masif dan tanpa dikriminasi kepada siapa saja. Berbagai hal dijelaskan dalam persyaratan termasuk segala risiko yang mungkin terjadi bila kaum difabel memaksakan diri pada fakultas/ jurusan tertentu.
Pembentukan kesadaran kepada calon mahasiswa baru (difabel), menjadi sangat penting. Dengan demikian tidak terjadi sebuah keputusasaan, kekecewaan, sakit hati berkenaan dengan, pelarangan secara tidak langsung terhadap kehendak dirinyanya untuk maju dan berkembang.
Paling tidak mundurnya calon mahasiswa difabel karena tidak semata-mata aturan, namun karena keikhlasan diri akan batas-batas kemampuan fisiknya atau akademiknya. Jadi, aturan pelarangan calon mahasiswa difabel merupakan bentuk dehumanisasi. Sehingga negara secara nyata tidak melakukan diskriminasi kepada warganya.
Prinsip pendidikan untuk semua tetap dijalankan sesuai dengan visi dan misi. Tata krama etika, moral dan kepatutan untuk menjalankan kepatuhan sejalan dengan berbagai akibat yang timbul tetap berjalan sesuai dengan koridor hukum.
Calon mahasiswa difabelpasti sadar akan kemampuannya masuk ke PT yang menjadi pilihannya.  Pasalnya, bila memaksakan diri akan tereliminasi dengan sendirinya. Ini berarti PTN memahami, mengerti dan menghormati akan hak-hak yang melekat pada diri manusia termasuk kepada kaum difabel.
Meski demikian bila mampu menujukkan kualitasnya di PT, para difabel tersebut juga harus mendapatkan keistimewaan dalam hal sarana dan prasana perkuliahan. PT diharapkan mampu memberikan fasilitas pendukung yang memadai bagi mereka. Data dan fakta memang sudah ada sejumlah PT  yang telah menyediakan fasilitas khusus bagi mahasiswa difabel, seperti akses bagi mahasiswa yang menggunakan kursi roda. Sehingga, para difabel tersebut tidak mengalami kesulitan dalam mengikuti proses perkuliahan.
Kaum difabel juga manusia. Prinsip humanisasi (memanusiakan manusia) menjadi harga yang tidak bisa ditawar lagi. Harapannya sorotan larangan bagi kaum difabel untuk masuk ke PTN tidak berkembang liar keluar dari batas norma, etika dan kesopanan.
Terobosan penting ini hendaknya melibatkan semua pemangku kepentingan di bidang pendidikan baik PTN maupun PTS, mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga satuan pendidikan. Pelibatan pemerintah dan masyarakat (dalam hal ini birokrasi di PTN/ PTS) juga menjadi komponen penting dalam menentukan kebijakan difabel dalam pendidikan.. Dengan demikian, pencerdasan bangsa menjadi tanggungjawab bersama, bukan hanya PTN/ PTS melainkan juga pemerintah, dan sistem yang telah diputuskan.

                                                                                                ————- *** —————-

Rate this article!
Tags: