Digital Natives: Review Kritis Anak Zaman Now

Oleh :
Puji Sumarsono
Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Malang

Kajian menarik yang sedikit luput perhatian dalam dunia pendidikan kita adalah tentang digital natives yang menjadi ciri anak zaman now. Sejak diperkenalkan tahun 2001 oleh Prensky, tidak banyak tulisan, penelitian ataupun diskusi/seminar kependidikan di Indonesia yang menelaah tentang digital natives. Padahal tanpa disadari fenomena ini telah menjadi bagian bahkan budaya dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam kelas. Tulisan ini akan menghadirkan review kritis tentang digital natives.
Pertama, dari sisi pemaknaan. Istilah digital natives digunakan oleh Prensky (2001) untuk menunjuk generasi yang lahir setelah tahun 1990 dimana teknologi mulai berkembang pesat, sehingga familiaritas dengan teknologi adalah ciri utama dan paling menonjol. Namun, tidak semua yang lahir setelah 1990 familiar dengan teknologi. Di belahan bumi lain mereka yang lahir setelah 1990 banyak yang masih belum melek teknologi. Akan menjadi ambigu ketika anak di pedalaman yang lahir pada tahun 2010-dimana teknologi berkembang sangat pesat-tidak melek teknologi masih tetap disebut digital natives. Sehingga penyebutan natives tidak mewakili populasi.
Contoh lain, pada penyebutan istilah English Native Speaker adalah diperuntukkan bagi mereka yang lahir dan tumbuh di English Speaking Countries (negara yang berbahasa Inggris) dan berbicara bahasa Inggris. Apakah orang yang lahir di Inggris kemudian tidak berbahasa Inggris masih disebut English Native speaker? Atau sebaliknya orang yang lahir diluar English Speaking Countries tapi mampu berbahasa Inggris juga disebut English Native Speaker? Hal ini sama halnya dengan digital natives. Karena itu, definisi konsep digital natives yang dihadirkan Prensky masih sangat partial atau lebih ekstrim disebut fallacy concept. Kesalahan pemahaman ini kemudian menyebabkan pemaknaan yang salah atas pemaknaan peserta didik sehingga memperlakukan semua anak yang lahir setelah 1990 adalah anak yang familiar dengan teknologi. Akibatnya, model pembelajaran yang diberikan juga sama yakni menggunakan pendekatan digital natives. Karena itu, pemaknaan digital natives akan lebih elok jika tidak hanya dimaknai berdasarkan periode waktu tapi juga karakteristik.
Kedua, Silbenberg (2011) menyatakan bahwa digital natives memiliki ciri multi tasking-kemampuan untuk melakukan dua hal atau lebih dalam waktu yang bersamaan. Sebagai contoh, orang bisa berlari/jogging sambil mendengarkan musik. Sehingga “kebiasaan” siswa menggunakan HP dalam kelas ketika guru sedang menyampaikan pelajaran diambil sebagai contoh pembenar bahwa multi-tasking benar-benar bisa dilakukan. Padahal itu adalah kebiasaan yang belum tentu benar.
John Medina, Professor Bioengineering dari Universitas Woshington, menyatakan dalam penelitiannya bahwa multitasking tidak hanya kontra-produktif tapi juga mustahil. Otak hanya bisa memberikan perhatian pada satu hal dalam satu waktu. Memang orang bisa berbicara sambil berjalan, tapi proses keduanya itu tidak melibatkan fungsi otak yang sama. Berjalan menggunakan memory penggerak prosedural karena itu tidak perlu berfikir ketika berjalan, sehingga otak bisa fokus untuk berbicara. Dalam banyak kasus, multi-tasking menyebabkan hal yang fatal, diantaranya mengganggu konsentrasi belajar dalam kelas, menyebabkan kecelakaan. Untuk yang terakhir ini polisi hingga melarang untuk mengemudi sambil menggunakan HP. Karena itu multi tasking dalam konteks pembelajaran adalah sesuatu yang absurd.
Ketiga, Silbenberg (2011) menilai bahwa digital natives memiliki “hasrat” yang tinggi untuk berinteraksi dengan orang lain melalui media sosial. Perubahan pola interaksi dari konvensional menuju digital ini telah mempengaruhi kepribadian dan perilaku digital natives. Ransdell, Kent, Gaillard-Kenney, and Long (2011) dalam penelitian mutakhirnya menunjukkan bahwa digital natives memiliki self-reliance (ketergantungan pada diri sendiri) yang tinggi dan memiliki social-reliance (ketergantungan sosial) yang rendah. Ketergantungan pada diri sendiri memang memberikan manfaat dalam proses belajar artinya untuk belajar sesuatu mereka tidak tergantung pada situasi sekitar melainkan pada dirinya sendiri. Tetapi, dalam konteks sosial, ketergantungan pada diri sendiri menyebabkan mereka menjadi orang yang individualis yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Dalam istilah pendidikan, mereka hanya unggul pada sisi kognitif/kompetensi profesional sementara sisi afektif/kompetensi sosialnya rendah. Karena itu mereka harus terus didorong dan dikondisikan agar kompetensi sosial juga bisa menjadi baik.
Keempat, digital natives seringkali menginginkan kesegeraan. Kebiasaan penggunaan handphone serta teknologi internet berupa media sosial dan browser yang menghadirkan real time telah mengkondisikan otak mereka untuk mengharapkan akses dan respon yang instant/cepat, jika tidak mereka akan merasas stres dan tidak nyaman. Dalam konteks akademik, kebiasaan ini memberikan sumbangsih besar pada plagiarism melalui copy dan paste. Kasus Afi dari Banyuwangi menjadi salah satu contohnya. Sementara dalam kehidupan sehari-hari kebiasaan ini tercermin ketika meminta sesuatu pada orang tuanya, maka saat itu juga keinginan itu harus dipenuhi.
Terakhir, bahwa digital natives memiliki tingkat perhatian yang sangat rendah karena mereka terbiasa lebih banyak menghabiskan waktunya dengan media atau produk tekhnologi. Stone, mantan eksekutif software Microsoft menemukan bahwa generasi ini memiliki penyakit perhatian parsial yang terus menerus. Mereka hanya mampu memberikan perhatian dalam proses pembelajaran hanya sekitar 10-15 menit. Padahal kemampuan untuk memperhatikan memberikan kontribusi penting dalam pembelajaran. Karena itu, menurut Davenport dan Beck (2001), perhatian merupakan sumber daya yang langka.
Itulah fakta tentang digital natives yang sebagian besar adalah peserta didik yang duduk di semua jenjang pendidikan mulai dari SD hingga perguruan tinggi. Digital natives telah dan akan terus menjadi trend, karena itu fenomena ini adalah tantangan besar baik bagi peserta didik itu sendiri maupun guru. Bagi peserta didik, ini adalah tantangan untuk merubah image dan prilaku negatif tentang digital native sekaligus memanfaatkan keunggulan karakter digital native demi pencapaian prestasi yang gemilang. Sementara bagi guru baik yang konservatif mapun progressive, memahami karakteristik digital natives dengan baik menjadi sebuah keniscayaan agar mampu memberikan pembelajaran dan treatment yang sesuai dengan model belajar, dunia dan karakternya sehingga pembelajaran bisa menyenangkan, memberikan makna dan sukses.

———— *** ————–

Tags: