Dihuni Aneka PMKS, Minim Perhatian Pemerintah

18-Liposos-ambruk-Mojokerto-1Derita Penghuni Liposos Balongrawe
Mojokerto, Bhirawa
Kondisi penghuni Lingkungan Pondok Sosial (Liposos) di Lingkungan Balongrawe Baru (Baraba) Kelurahan Kedundung, Kecamatan Magersari,Kota Mojokerto kian memprihatinkan. Untuk memenuhi urusan perut, setiap penghuni terpaksa mencari uang dengan kerja serabutan.
Penghuni Liposos Balongrawe setiap hari harus berjibaku untuk mempertahankan hidup. Tidak ada pasokan makanan rutin yang didapat dari pengelola panti.  “Sehari-hari saya mencari nafkah sendiri, sebab selama ini penghuni tidak ada bantuan makanan rutin setiap hari,” tutur Sulaiman  (42), salah satu penghuni panti.
Apa yang dilakukan Sulaiman, tak hanya dilakukan dalam hitungan hari. Tahunan dia menjalani kehidupan berat seperti ini. Para penghuni Liposos Balongrawe terbagi atas berbagai status sosial. Meliputi Penyandang Masalah Kerawanan Sosial (PMKS), Tempat Tinggal Tidak Tetap (T4) dan keluarga
miskin (gakin). Warga miskin bisa tinggal di sini, asal mereka bisa melengkapi syarat tinggal yang ditetapkan pengelola panti. Di antaranya mampu didik dan latih, tidak cacat, serta diutamakan produktif dan mau mengubah nasib.
Di Liposos yang berdiri sejak 1984-1985 itu kini ditempati oleh sekitar 41
Kepala Keluarga (KK) dengan total penghuni sekitar 132 orang. Panti dibangun di atas lahan seluas 2.000 m2 milik negara, tepatnya Dinas Sosial (Dinsos) Provinsi Jatim, sedangkan  pengelolalaannya dilakukan oleh Pemkot Mojokerto.
Rumah dan barak di panti, tidak semua berdiri permanen.  Tak sedikit para penghuni menempati barak dan rumah berbahan anyaman bambu. Bahkan, tidak dilengkapi alas menggunakan bahan keramik. Sebaliknya, beralas tanah tanpa dukungan material memadai. Beruntung sebagian lainnya bisa menempati barak permanen bantuan Pemkot Mojokerto dan Dinas Sosial provinsi Jatim.
Di atas tanah itu berdiri empat unit barak penghuni. Terbagi atas bilik seluas 3×12 meter, barak besar 6×12 meter, 1 unit bilik berukuran 6×12 meter. Serta 30 unit rumah kecil di atas lahan 3 x 16 meter.
Menurut Sulaman , untuk menghuni Liposos dia tidak sendirian, melainkan bersamaorangtuanya yang sudah memasuki usia lanjut. Mereka, menempati barak gedeg (anyaman bambu) sudah sekitar 15 tahun lalu. “Untuk menutupi kebutuhan hidup, selama ini saya kerja serabutan, kadang sebagai pembantu rumah tangga  atau tukang cuci. Ya seadanya,” beber warga asal Desa Beloh, Kecamatan Trowulan ini.
Menurutnya, meski selama ini menempati barak tanpa ada pungutan biaya, penghuni tetap mengeluarkan berbagai iuran. Seperti iuran listrik di barak
miliknya Rp 5.000 per bulan, jimbitan (swadaya) Rp 2.500, serta jatah beras miskin (raskin) Rp 2.500 per kg. “Bantuan gratis adanya cuma setahun sekali, pas hari raya. Kadang sembako roti dan makanan lainnya. Kalau per bulannya tidak ada, makanya semuanya cari sendiri,” imbuhnya.
Hal yang sama juga disampaikan Bambang, penghuni lainnya asal Bangsal Kabupaten Mojokerto. Berbeda dengan Sulaiman,  pria paro baya itu menempati barak sebatang kara. Tanpa keluarga, sanak famili maupun saudara. “Saya tinggal sendirian di sini ya sudah tiga tahunan,” terangnya.
Karena tidak dapat jatah makanan, Bambang yang mengalami cacat tubuh terpaksa bekerja sebagai penunggu toilet di Liposos. Dari hasil itu, selebihnya digunakan untuk membiaya hidupnya. “Aktivutas sehari-hari ya nunggu toilet di Liposos ini, habis tidak bisa kemana-mana,” ujarnya.
Bambang menambahkan, sebagai penghuni panti mereka tidak bisa asal menempati. Ada syarat-syarat tertentu yang harus ditunjukkan kepada pengelola Liposos. Di antaranya KTP, KK dan surat pemberitahuan tempat tinggal di Liposos yang dikeluarkan oleh desa/kecamatan asal.  “Tapi ada pembatasan waktu menghuni. Kalau suami istri maksimal 2 tahun. Untuk janda atau duda sepertinya ada toleransi dari pengelola,” bebernya.
Sebagian besar penghuni kepada Pemkot Mojokerto berharap bisa memberikan bantuan makanan rutin. Termasuk keringanan fasilitas listrik dan air untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Alasannya, sebagian besar penghuni saat ini  bukan dari usia produktif, melainkan usia lanjut yang sulit untuk bekerja keras mencari uang. Uang yang didapat sudah habis untuk membeli makanan.
Memang tidak ada bantuan rutin yang mengalir kepada 132 jiwa penghuni panti. Buntunya bantuan bukan semata karena minimnya perhatian pemkot, tapi karena terkendala masalah lahan Liposos yang masih berstatus tanah negara milik Pemprov Jatim.
“Masalah tanah itu yang sampai sekarang masih dalam proses. Kalau statusnya tanah negara milik pemprov, maka pemkot tidak bisa mengalokasikan anggaran untuk Liposos,” kata Suparno, penghuni paling lama.
Dikatakan Supano,  lantaran terkendala kepemilikan tanah, diakui sejak pelepasan liposos oleh Dinsos Provinsi Jatim kepada Dinsos Kota Mojokerto (era otoda) praktis tidak ada bantuan rutin. Pemkot sendiri belum pernah mengeluarkan anggaran makan  dengan alasan khawatir melanggar aturan. “Pelayanan berbeda lagi kalau status liposos ini sudah menjadi UPT (Unit Pelaksana Teknis) atau UPS (Unit Pelaksana Sosial). Ada anggaran sendiri,” beber bapak 3 anak ini.
Sebelum dilepas kepada Dinsos Kota Mojokerto, penghuni panti kerap kali mendapat pembinaan dan pelatihan keterampilan kerja. Meliputi kesehatan dari, keterampilan menjahit dan berwirausaha, pembinaan mental dan keamanan. Pelatihan dari  Dinas Kesehatan, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Dinas Sosial sendiri. Bahkan, selama dua kali dalam setahun Depsos
(Departemen Sosial, saat itu) kerap mengucurkan anggaran untuk pelatihan.
Hasilnya, para penghuni bisa memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Baik melalui program transmigrasi, kembali ke daerah asal atau memilih kontrak di luar Liposos. [kar]

Tags: