Dijual dari Mulut ke Mulut, Kumpulkan Laba untuk Travelling

Tiga mahasiswa STIE Perbanas menunjukkan karyanya berupa abon tongkol yang telah dipasarkan sejak setahun terakhir.

Tiga mahasiswa STIE Perbanas menunjukkan karyanya berupa abon tongkol yang telah dipasarkan sejak setahun terakhir.

Kota Surabaya, Bhirawa
Ikan tongkol, bukan ikan yang sulit ditemui di Surabaya ini. Orang-orang umumnya mengolah ikan ini hanya digoreng, dipepes, bumbu Bali atau disayur menggunakan santan. Aneka olahan makanan itu memang enak jika disajikan langsung. Tapi jika ingin awet dan praktis dijadikan bekal, mengolahnya menjadi abon adalah pilihan yang tepat.
Membuat abon dari daging sapi itu sudah biasa, di pasaran pun juga banyak tersedia. Tapi tidak dengan abon dari tongkol alias bongkol. Barangkali baru tiga mahasiswa kreatif dari STIE Perbanas yang punya resep rahasianya.
Ya, Fithrotul Maghfiroh, Andistasari, dan Hariati adalah tiga mahasiswa S1 Akuntansi yang sudah sangat akrab dengan bongkol selama setahun terakhir ini. Mereka mengolah, mengemas, hingga memasarkan produk itu sendiri sebagai usaha bersama.
Hariati mengatakan proses pembuatan bongkol membutuhkan waktu hingga dua hari. Hari pertama dipakai untuk menghaluskan daging ikan tongkol yang sudah dipisahkan dari durinya. Daging halus ini kemudian digongso bersama beberapa jenis bumbu rempah-rempah sampai kering untuk menghilangkan minyaknya. Di hari kedua, membuat irisan kentang tipis-tipis yang akan dicampurkan ke abon.
“Sekali produksi kita biasa menggunakan enam ikan tongkol yang masing-masing beratnya mencapai 1,5 kilogram,” kata Hariati.
Hasil dari olahan enam tongkol itu dapat menjadi 25 kemasan ukuran 250 gram dan 200 gram abon. “Kemasan ukuran 250 gram kami jual Rp 45 ribu, sementara yang 200 gram dijual Rp 35 ribu,” ujarnya.
Dalam dua hari, 25 kemasan itu bisa langsung dijual habis. Itupun hanya melayani pesanan dan dijual di beberapa kantor saja. Mereka belum memiliki stan berjualan tetap, sehingga satu-satunya cara menjual terbaik adalah dari mulut ke mulut. Di samping promosi yang mereka sebarkan melalui jejaring sosial yang gratisan. Meski demikian, hasilnya pun lumayan. Andistasari mengaku bisa mengantongi laba sampai seratus persen dari modal usaha. “Kalau bisnis makanan itu hasilnya memang harus seratus persen,” kata dia.
Andistasari mengatakan mengolah tongkol menjadi abon jauh lebih awet dibandingkan dengan olahan masakan lain. Bahkan jika bongkol disimpan di tempat teduh dan tidak terkena sinar matahari langsung, abon bisa awet disimpan sampai dua bulan. “Kita sudah memasarkannya lebih dari setahun ini, responsnya cukup bagus. Omzet penjualan bongkol sudah mencapai Rp 1- 2 juta per bulan,” katanya.
Hasil penjualan itu tak pernah dibagi habis dalam bentuk uang. Mereka punya cara sendiri untuk menikmati hasil kerja kerasnya itu. Yakni menggunakan laba penjualan bongkol untuk travelling. Awalnya travelling itu baru dilakukan di dalam wilayah Jatim saja, tapi mereka sudah punya rencana untuk berangkat ke provinsi lain juga menggunakan laba dari penjualan bongkol itu. “Yang kita pakai jalan-jalan ini vuma laba bersihnya saja. Modalnya harus dikembalikan lagi untuk mutar produksi,” kata dia.
Ide awal pembuatan bongkol karena mereka bertiga ingin mendapatkan uang saku sendiri. Saat itulah orangtua Andistasari berusaha membuat abon tapi sulit memasarkannya. Mereka pun lantas berusaha memasarkan melalui media sosial yang ada dan belajar sedikit demi sedikit cara membuat abon. “Saat pertama mencoba kami bikin rasa original saja. Karena pembeli banyak, akhirnya juga buat rasa pedas,” tutur dia.
Fithrotul menambahkan, bongkol ini juga pernah diikutkan lomba Wirausaha Muda Pemula (WMP) yang diadakan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Oktober 2014 lalu. Setelah lolos di tingkat kampus dan provinsi, mereka bertarung di tingkat nasional. Hasilnya, bongkol menjadi salah satu semi finalis.
“Informasinya WMP itu diikuti oleh kalangan mahasiswa se-Indonesia. Nyatanya, peserta mahasiswanya cuma kami saja, lainnya kalangan pengusaha yang usianya sudah matang dan omzetnya sudah mencapai kisaran Rp 60 juta,” katanya.
Meskipun demikian, ketiga mahasiswa ini tetap bertekad untuk mengembangkan usaha bongkol ini dengan mendirikan stan hingga pengemasan produk yang lebih baik. “Kita sedang ingin mengembangkan usaha mulai dari stan penjualan tetap hingga hak merek dan izin dari BPOM agar dapat masuk ke ritel besar,” kata dia. [tam]

Tags: