Dilema Opsi Impor Pangan

karikatur ilustrasi

Indonesia merupakan negara agraris maka sudah semestinya bisa memenuhi kebutuhan pangan sendiri. Namun sayang, seiring dengan perjalanan waktu justru negeri ini menujukkan semakin gemar dan gencar mengimpor pangan. Menjadi logis adanya jika, persoalan impor pangan menjadi perhatian, sorotan dan kajian banyak pihak.

Termasuk persoalan Jagung diketahui sulit didapat sejak beberapa bulan terakhir. Kalaupun ada, harganya pun mahal. Harga normal jagung adalah kisaran Rp 4.000-4.500 per kg, sementara saat ini bisa mencapai Rp 6.000/kg, bahkan lebih mahal di beberapa daerah. Melihat kenyataan itupun, pemerintah berencana untuk menggunakan skema Cadangan Stabilisasi Harga Pangan (CSHP), sebesar 30.000 ton sampai dengan Desember 2021 untuk membantu peternak mandiri UMKM. Dan, opsi impor jagung guna menjawab tuntutan peternak ayam petelur pun bisa diambil, (Republika, 19/9/2021).

Itu artinya, pemerintah memerikan lampu hijau bahwa kran impor berpotensi bisa dibuka. Padahal, saat kita menilik ke belakang, jagung sendiri sebenarnya merupakan satu dari tiga komoditas utama yang produksinya bisa swasembada selain padi dan kedelai. Bahkan menurut Presiden Jokowi pernah berujar bahwa swasembada cukup dengan waktu 3 tahun sejak awal periode pemerintahan pertamanya di tahun 2014. Terlebih, Pemerintah periode Jokowi-JK telah menargetkan Indonesia bisa swasembada pangan khususnya untuk 3 jenis produk pertanian meliputi padi, jagung, dan kedelai (pajale) dalam 3 tahun. Dari ketiga makanan pokok tersebut, swasembada kedelai adalah yang tersulit dari sisi besarnya ketergantungan impor. Sehingga jagung dan beras bisa diprioritaskan lebih dulu.

Namun, sayang janji itupun hingga kini banyak menyimpan dilemma. Dan, demi menjaga stalibilats ketersediaan pangan, maka sudah semestinya impor komoditas pangan harus termenejemen dengan baik, agar tidak menimbulkan kerugian di lain pihak. Salah satunya, bisa melalui pembentukan Holding BUMN Pangan. Sehingga, kedepannya pemerintah bisa memetakan berapa porsi pangan yang diproduksi dan berapa persen yang akan diimpor. Dengan begitu, diharapkan tidak ada lagi dilema opsi impor pangan di negeri ini.

Gumoyo Mumpuni Ningsih
Dosen FPP Universitas Muhmammadiyah Malang.

Rate this article!
Dilema Opsi Impor Pangan,5 / 5 ( 1votes )
Tags: