Dilema Peta Garam Nasional

Oleh:
Ani Sri Rahayu
Pengajar Civic Hukum (PPKn) Universitas Muhammadiyah Malang

Indonesia sebagai negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia yang 3/4 wilayahnya berupa laut dengan lebih dari 13.400 pulau yang dirangkai garis pantai sepanjang 95.200 km (terpanjang kedua setelah Kanada), sejatinya memiliki potensi produksi sumber daya alam pesisir dan lautan yang sangat besar dan beragam, termasuk garam.
Ironisnya, pasokan garam di sejumlah daerah di Indonesia dalam tiga pekan terakhir ini telah mengalami kekurangan, yang akhirnya mengakibatkan melambungnya harga garam di pasaran. Jalan pintas mengatasi masalah inipun, pemerintah lalu membuka keran impor garam. Ribuan ton garam dari Australia didatangkan (Sindo, 3 Agustus 2017).
Fakta diatas tentu saja mengundang keprihatinan bangsa ini secara kolektif. Pasalnya. Selain menghamburkan devisa, kebijakan itu juga akan menghancurkan usaha dan industri garam nasional dengan segala dampaknya. Kenyataan di atas bagaimanapun juga harus menjadi perhatian pemerintah.
Defisit garam
Menurut data PT Garam (BUMN garam), saat ini kebutuhan garam untuk masyarakat, yakni untuk rumah tangga, pengasinan, dan pengawetan ikan, mencapai 1,3 juta ton per tahun. PT Garam bersama produsen garam swasta memproduksi 2.410.336 ton. Artinya, saat ini ada surplus garam yang besar di sektor konsumsi dan pengasinan setelah berhasil mencapai swasembada pada 2013 karena produksi garam rakyat tahun itu 1.319.607 ton, sementara kebutuhan nasional untuk garam konsumsi 1.242.170 ton.
Selain itu, rendahnya produksi garam nasional disebabkan produktivitas yang sangat rendah, yakni sekitar 60 ton per ha per tahun. Sementara itu, produktivitas usaha garam di Australia dan India kini rata-rata mencapai 200 ton per ha per tahun. Kita pun belum mengusahakan seluruh lahan pesisir yang potensial atau cocok untuk tambak garam, yang diperkirakan mencapai 100.000 ha.
Permasalahan garam di Indonesia adalah produksinya yang kurang banyak, kualitasnya yang kurang baik, dan harganya yang tidak kompetitif. Lalu, diperparah kondisi industri garam dalam negeri dengan teknologi yang sudah tertinggal dan tidak didukung pergudangan memadai untuk menjamin stok garam dalam negeri.
Selama ini tak sedikit devisa mengalir ke negara-negara eksportir, seperti Australia, Selandia Baru, Tiongkok, dan India. PT Garam yang ditugasi membangun kemandirian di bidang garam telah tak mampu mewujudkan cita-cita negara walau penyertaan modal pemerintah terus meningkat. Hingga kini, Indonesia belum memiliki strategi tepat untuk meningkatkan produksi. Padahal, garam merupakan salah satu dari sembilan kebutuhan pokok dan bahan baku berbagai macam industri. Sepatutnya, sejak sekarang kita mengelola usaha produksi garam nasional secara cerdas dan serius, demi memenuhi keperluan konsumsi maupun industri.
Belajar dari  negara Australia
Pengembangan industri garam di Tanah Air perlu melihat dan belajar dari Australia sebagai referensi, karena Australia negara paling sukses dalam mengembangkan industri garam berbasis air laut. Produksi garam di Australia yang dilakukan korporasi 15,11 juta ton per tahun dengan ekspor sekitar 11,5 juta ton per tahun ke banyak negara. Indonesia salah satu negara tujuan ekspor garam Australia sejak lama.
Di seluruh Australia yang luas itu, tempat pembuatan garam terkonsentrasi di satu tempat, yaitu di West Coast, di lima lokasi (Shark Bay, Lake Mcleod, Onslow, Dampier, danPort Headland) yang memiliki pantai landai dengan curah hujan sangat rendah, kadar garam lautnya tertinggi, kelembapan udara sangat rendah, dan tak ada muara sungai. Ini membuat kualitas garam Australia berkualitas tinggi dengan biaya produksi murah, menghasilkan 14.500.000 to per tahun. Bandingkan Indonesia di ratusan lokasi di 46 kabupaten di 9 provinsi dengan luas tambak 25.830 hektar dengan 31.432 petambak garam, dengan produksi saat ini sekitar 2 juta ton per tahun.
Mengingat garam merupakan salah satu dari sembilan kebutuhan pokok dan bahan baku berbagai macam industri. Sepatutnya, mulai sekarang kita mengelola usaha produksi garam nasional secara cerdas dan serius, demi memenuhi keperluan konsumsi maupun industri. Berikut ini sekiranya beberapa alternative yang bisa dilakukan.
Pertama, pada subsistem produksi, kita mesti meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha garam dengan menerapkan teknologi produksi garam dan sesuai daya dukung wilayah. Dengan begitu, kita dapat meningkatkan produktivitas garam nasional sejajar dengan Australia dan India, yakni 200 ton per ha per tahun.
Kedua, setiap unit usaha produksi garam perlu diupayakan agar memenuhi skala ekonomi, sehingga menguntungkan pelaku usahanya.
Ketiga, pemerintah bekerja sama dengan sektor swasta dan BUMN harus menjamin pasar bagi produk garam dari petambak (produsen) garam di seluruh wilayah NKRI dengan harga yang menguntungkan petambak garam. Kebijakan terbaru yang hanya memberi kesempatan pada PT Garam untuk menangani impor garam konsumsi. Pada dasarnya penulis sangat setuju, karena melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu supaya pengendalian harga dan stok garam bisa lebih mudah
Keempat, infrastruktur dan sarana untuk produksi garam mesti dirawat dan diperbaiki, serta dibangun yang baru di setiap kabupaten/kota sesuai kebutuhan wilayah di seluruh Indonesia. Ini perlu agar swasembada garam yang telah dicanangkan pemerintah dapat diraih dan bukan sekadar wacana.
Kelima, pemerintah harus memberikan dukungan permodalan dari lembaga perbankan kepada pengusaha garam, termasuk para petambak garam, dengan suku bunga yang relatif rendah (sama dengan di Malaysia, India, Australia, Thailand, dan China) dan persyaratan lunak.
Guna mengurai masalah kekurangan garam di tanah air. Besar harapan melalui lima langkah alternative tersebut di atas bisa diaplikasikan secara sinergis, baik oleh pemerintah maupun stakeholder secara tepat. Apalagi bila juga didukung iklim investasi yang atraktif dan kondusif serta kebijkan politik-ekonomi yang kondusif bagi tumbuh kembangnya usaha produksi garam nasional. Semoga dengan pendekatan yang tepat, Indonesia bukan hanya bisa swasembada garam, melainkan juga dapat menjadi negara eksportir garam.

                                                                                                              ———— *** ————-

Rate this article!
Tags: