Dilema Plagiasi dan Etika Publikasi

Oleh :
Sholahuddin Al-Fatih
Dosen Fakultas Hukum UMM, Editor in Chief Legality: Jurnal Ilmiah Hukum

Sebuah artikel masuk ke dashboard Editor di laman Open Journal System (OJS). Langkah awal yang biasa dilakukan oleh pengelola jurnal adalah melakukan cek plagiasi menggunakan aplikasi plagiarism tools, seperti Turnitin, iThenticate, Plagiarism Checker, PlagScan dan sebagainya. Saat artikel tersebut di cek, keluarlah hasil similiarity index sebesar 17%. Namun, setelah artikel tersebut melalui proses review dan revisi serta siap untuk di publish, Editor menemukan bahwa artikel tersebut menggunakan mode hidden text di beberapa kata dan kalimat, sehingga saat di cek ulang menggunakan plagiarism tools dengan menghilangkan hidden text-nya, ternyata artikel tersebut memiliki similiarity index sebesar 98%.

Praktik menggunakan hidden text hanyalah satu dari sekian banyak praktik curang dalam dunia akademik untuk menghindari plagiasi. Selain hidden text, masih terdapat beberapa upaya atau penyimpangan akademik yang sering terjadi. Beberapa diantaranya, akhir-akhir ini menjadi viral dan ramai diperbincangkan, seperti kasus swaplagiasi yang diduga dilakukan oleh Rektor USU terpilih. Beberapa rektor dari kampus ternama juga diduga terlibat dalam kasus penyimpangan akademik.

Penyimpangan Akademik

Berdasarkan penjelasan dalam laman ANJANI (Anjungan Integritas Akademik Indonesia) milik Kementerian Ristek-BRIN, penyimpangan akademik terdiri dari: 1. Fabrikasi dan Falsifikasi; 2. Plagiat; 3. Kepengarangan Tidak Sah; 4. Konflik Kepentingan; dan 5. Pengajuan Jamak. Dari kelima jenis penyimpangan akademik tersebut, yang paling banyak terjadi dan dilakukan oleh akademisi adalah kasus plagiat, kepengarangan tidak sah serta pengajuan jamak.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 17 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi, plagiat adalah perbuatan secara sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai.

Sementara kepengarangan tidak sah merupakan praktik menambahkan nama orang yang tidak terlibat atau tidak berhak atau tidak berkontribusi (gift author) dan menghilangkan nama orang yang sebenarnya terlibat atau berkontribusi (ghost author). Termasuk pula beberapa praktik tidak sah seperti merubah urutan penulis tanpa mempertimbangkan besar-kecilnya kontribusi dalam kepenulisan sebuah artikel. Bahkan, ada beberapa oknum dosen yang secara terang-terangan mengklaim artikel mahasiswa sebagai artikel miliknya, dengan meletakkan nama dosen menjadi penulis pertama atau kedua atas sebuah artikel yang ditulis oleh mahasiswa.

Sedangkan pengajuan jamak adalah proses pengajuan satu naskah yang sama kepada beberapa jurnal yang berbeda dalam waktu bersamaan. Praktik ini banyak dilakukan, terutama dengan merubah bahasa artikel ke dalam beberapa bahasa dan dikirim ke beberapa jurnal yang berbeda.

Etika Publikasi

Praktik penyimpangan akademik sangat meresahkan, terutama bagi pengelola jurnal. Pengelola jurnal dituntut untuk lebih cermat dan ekstra hati-hati dalam menerima dan memproses sebuah naskah. Sekali cek plagiasi saja tidak cukup. Butuh beberapa kali cek agar suatu naskah yang akan di-publish tidak terjerat plagiasi. Sebab, selain penulis yang akan dijatuhkan sanksi, pengelola jurnal juga bisa mendapatkan sanksi atas kelalaiannya menerbitkan artikel yang terlibat plagiasi. Minimal retraksi, penarikan atas sebuah artikel yang terjerat plagiasi.

Padahal, untuk menerbitkan sebuah artikel, butuh proses yang cukup panjang dan melelahkan. Mulai dari review oleh Editor, mengirimkannya kepada reviewer, revisi oleh penulis hingga layout-ing hingga sebuah artikel siap untuk di publish. Proses yang lama dan melelahkan tersebut ternyata justru dihina oleh para plagiator dengan mengirimkan artikel yang mengandung unsur penyimpangan akademik.

Agar terhindar dari praktik penyimpangan akademik, sepertinya para akademisi dan pengelola jurnal perlu memperhatikan beberapa pedoman dan etika publikasi, seperti: 1. Teknik Parafrase. Penulis tidak perlu melakukan praktik curang dengan menambahkan mode hidden text agar terhindar dari deteksi plagiasi, tapi penulis cukup melakukan parafrase. Parafrase merupakan cara untuk merubah kata sesuai dengan sinonim katanya.

Beberapa aplikasi bisa digunakan untuk melakukan parafrase atas sebuah artikel, misalnya Grammarly. 2. Disclaimer. Penulis perlu memberikan disclaimer atas artikel yang ditulis. Disclaimer bisa dimunculkan dalam bagian Acknowledgments atau Ethical Statement pada artikel. Pada bagian ini, penulis harus menjelaskan, apakah artikel yang ditulisnya adalah artikel asli dan baru, atau artikel hasil pengembangan dari artikel yang sebelumnya pernah ditulis.

3. Form Orisinalitas. Pengelola jurnal harus meminta penulis untuk mengisi form orisinalitas artikel yang bertanda tangan dan bermaterai. Hal ini penting dilakukan agar pengelola jurnal tidak menanggung dosa akademik apabila di kemudian hari penulis terlibat kasus plagiasi atas artikel yang sudah terbit di jurnal tersebut.

Penegakan Sanksi

Pelaku penyimpangan akademik harus mendapatkan sanksi yang berat. Sanksi yang dijatuhkan beragam, merujuk pada opini berjudul Polemik Plagiarisme Akademik (Kompas, 3/2), sanksi dijatuhkan bergantung pada besar dan kecilnya kesalahan yang dilakukan. Berdasarkan Pasal 12 Permendiknas Nomor 17 tahun 2010, disebutkan beberapa sanksi yang dijatuhkan bagi plagiator, di antaranya: 1. Teguran; 2. Peringatan tertulis; 3. Penundaan pemberian hak; 4. Penurunan/pencabutan jabatan fungsional; 5. Pemberhentian dengan hormat/tidak hormat; 6. Pembatalan gelar akademik yang diperoleh secara plagiat (disebutkan pula dalam Pasal 25 ayat (2) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).

Selama ini, terkesan sanksi kepada pelaku penyimpangan akademik tidaklah berat. Hal itu justru akan memancing kasus penyimpangan akademik semakin berkembang luas. Agar penegakan sanksi terhadap kasus penyimpangan akademik bisa ditegakkan, pemerintah perlu membentuk semacam Dewan Etik Publikasi Akademik atau sejenisnya. Dewan tersebut nanti bertugas untuk memantau kinerja publikasi ilmiah para akademisi, menerima laporan terhadap pelanggaran/penyimpangan akademik, sekaligus bisa menjatuhkan sanksi atas sebuah kasus penyimpangan akademik. Melalui cara-cara tersebut, semoga Indonesia bisa terbebas dari kasus plagiasi dan penyimpangan akademik.

———– *** ————-

Rate this article!
Tags: