Dinamika Politik Pilkada 2018

Oleh:
Ani Sri Rahayu
Pengajar Civic Hukum (PPKn) Universitas Muhammadiyah Malang

Perhelatan kontestasi politik pemilihan kepala daerah tinggal hitungan bulan akan digelar dinegeri ini. Insyaallah jika tidak ada aral melintang atau halangan yang berarti, 27 Juni ini, pilkada serentak akan digelar kembali di negeri ini. Suasana genggap gempita dan tingginya tensi Pilkada 2018 semakin terpancarkan.
Ajang ini sebenarnya tak ubahnya dengan dua pilkada serentak yang digelar sebelumnya, yakni pada 2015 di 269 daerah dan 2017 di 101 daerah. Namun, faktanya pilkada yang diikuti 171 daerah kali ini punya rasa berbeda. Ada sejumlah indikator yang menunjukkan pesta demokrasi local kali ini lebih gempita dibanding dua perhelatan sebelumnya.
Tensi Pilkada 2018
Tingginya tensi Pilkada 2018 sebenarnya tidak lepas dari besarnya kepentingan parpol-parpol menjelang Pemilu 2019. Waktu penyelenggaraan Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 yang sangat berdekatan tak ayal membuat parpol menjadikan momentum ini sebagai batu loncatan sebelum memasuki pertarungan sesungguhnya di Pemilu 2019.
Pilkada 2018 sejatinya hanya kontestasi antar calon pemimpin di tingkat daerah. Namun, faktanya menjelang pilkada kali ini banyak diwarnai drama pada proses pencalonan yang diikuti dengan adanya kepentingan elite partai politik (parpol) di tingkat pusat yang juga banyak bermain.
Melihat kenyataan yang demikian, wajar adanya jika perhatian pemerintah, aparat keamanan, maupun masyarakat umum kian tercurah pada proses penyelenggaraan pilkada kali ini. Memang kalau kita perhatikan pagelaran daerah. Merujuk dari sisi jumlah daerah yang menggelar pemilihan, pemilihan pilkada kali ini memang yang terbesar. Semua itu, tentu saja tidak lepas dari fakta pilkada yang digelar daerah dengan jumlah penduduk “gemuk”, terutama Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.
Melihat realitas yang demikian, wajar adanya jika jauh sebelum pencoblosan digelar pada 27 Juni mendatang, elit politik lebih interst terpacu pada jumlah pemilih, dari tiga daerah tersebut. Berdasarkan daftar pemilih tetap (DPT) pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2014, Jawa Barat tercatat dengan jumlah pemilih terbanyak yakni 33.821.378 jiwa. Adapun DPT Jawa Timur 30.639.900 jiwa, dan Jawa Tengah 27.385.217 jiwa. Selama ini bisa dikatakan bahwa tiga daerah tersebut menempati tiga teratas.
Besarnya jumlah pemilih yang terlibat tak pelak membuat Pilkada 2018 menjadi target untuk dimenangi, baik oleh pasangan calon dan tim pendukungnya maupun parpol. Akibatnya, baru pada proses pencalonan, sejumlah drama bermunculan. Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman menyebut ada 158 juta pemilih yang akan diperebutkan pada Pilkada 2018. Itu artinya hampir 80 persen dari total pemilih nasional. Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan Pilkada 2015 dengan total pemilih 96 juta pemilih, dan Pilkada 2017 dengan total 41 juta pemilih, (Kompas, 3/1).
Kepatuhan etika politik
Biasanya para politikus di negeri ini pada umumnya menjadikan kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok, bukan untuk masyarakat. Para politikus negeri ini berpola pikir terbalik, yakni menjadikan pesta demokrasi sekadar ajang berburu jabatan. Berbagai cara dilakukan untuk meraih kedudukan, sampai-sampai etika politik dicampakkan.
Dinamika semacam itu wajar belaka dalam politik. Disebut tak wajar bila kelak ditemukan pelanggaran etika dan hukum di dalamnya. Dinamika tersebut jelas tak terlepas dari upaya parpol mendudukkan jagoan mereka di kursi kepala daerah. Intinya, dinamika Pilkada 2018, apakah sebagai upaya meraih kursi kepala daerah maupun terkait dengan kursi kepresidenan, bermuara pada upaya meraih kekuasaan.
Meraih kekuasaan tidaklah haram karena salah satu tujuan parpol ialah mencapai kekuasaan. Akibatnya, kepentingan pribadi, kelompok, dan elite semata yang diakomodasi. Rakyat hanya dianggap objek elektoral dalam berbagai permainan politik, tidak punya kedaulatan, dan tetap termarginalkan dari akses-akses politik dan ekonomi. Tidak mengherankan bila akhirnya para politikus pemburu jabatan itu justru bukan saja menjual kehormatan diri, melainkan juga menjual negara dengan culas.
Kepala daerah bisa berbuat untuk kebaikan rakyat bila proses kontestasi dalam pilkada yang mereka ikuti juga berlangsung sehat. Calon kepala daerah yang baik yang kelak berbuat demi kebaikan rakyat semestinya menolak berbuat culas dalam kontestasi pilkada. Bagi kandidat seperti itu, kalah karena jujur jauh lebih baik daripada menang karena curang. Berikut ini, kiranya beberapa kepatuhan etika politik yang ideal diindahkan jelang Pilkada bulan Juni mendatang.
Pertama, perlu dihadirkannya kepatuhan pada etika politik dan hukum. Hal itu penting adanya karena kepatuhan pada etika politik dan hukum merupakan pembelajaran politik berharga bagi rakyat. Pengedepankan etika politik dan hukum, parpol dan kandidat tersebut, besar harapan bisa menjadi teladan politik bagi rakyat.
Kedua, menghadirkanya pemimpin yang baik. Artinya, melaui Pilkada mestinya menjadi harapan baru datangnya pemimpin yang lebih baik. Disebut pemimpin yang lebih baik karena mereka adalah orang-orang pilihan, mereka yang memilih mendedikasikan tenaga dan pikiran untuk melayani rakyat, bangsa, dan negara. Takhta yang didapat melalui pilkada itu harus sebesar-besarnya didedikasikan untuk rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi atau tim sukses. Kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat mestinya datang untuk melayani, bukan dilayani. Ia pantang eksis sebagai priayi, tetapi mesti berposisi sebagai pengabdi. Kini rakyat berharap agar dari rahim partai politik lahir para pemimpin yang bertarung secara kesatria dalam pilkada. Pemimpin yang berkomitmen melayani rakyat dan integritasnya tetap tegak lurus.
Ketiga, stop politik uang. Saatnya pula partai politik berkomitmen melahirkan pemimpin tanpa mahar dan tanpa politik uang. Melalui kekuasaan politik, parpol atau kandidat yang mereka usung dan dukung diharapkan tidak berangkat dari permainan uang.
Keempat, menjauhkan kompetisi curang. Artikan, semua pihak yang terlibat dalam perhelatan itu harus mengedepankan etika, menjauhkan kompetisi curang, menghindari kampanye hitam dan mengharamkan politik identitas dan ujaran kebencian. Mengan semangat itu, kualitas pilkada serentak akan jauh lebih meningkat. Jika itu dapat dicapai, kita boleh berharap pilkada melahirkan pemimpin berkualitas.
Melalui keempat penawaran kepatuhan etika politik diatas, sekiranya setiap hal yang mengarah konflik harus bersama-sama diredam demi mencegah gesekan di tingkat bawah. Kemenangan di pilkada memang penting, namun itu harus diperoleh dengan cara-cara elegan, bermartabat, dan menjunjung tinggi asas demokrasi.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: