Dinasti Politik, Calon Tunggal dan Kemunduran Demokrasi

Oleh :
Nurudin
Dosen Ilmu Komunikasi, Fisip, Univ. Muhammadiyah Malang (UMM)

Pilkada serentak tahun 2020 ini memecahkan rekor baru. Itu terkait dengan merebaknya dinasti politik, banyaknya calon tunggal. Kondisi (lawan kotak kosong). Terkait dengan politik dinasti ada peningkatan. Tahun 2015-2018 ada 86 kepala daerah yang berkaitan dengan dinasti politik. Lalu pada tahun 2020 meningkat menjadi 124 calon kepala daerah.

Kemudian calon tunggal juga meningkat. Ada 25 pasangan calon (paslon) tunggal di kabupaten/kota di 12 provinsi. Dari 25 calon tersebut, 24 unggul lebih dari 60 persen dari suara yang memilih kotak kosong. Pada tahun 2015 ada 3 daerah yang menggelar Pilkada dengan paslon tunggal. Dua tahun berikutnya (2017) meningkat menjadi 9 daerah, dan meningkat lagi menjadi 16 daerah pada tahun 2017. Itu belum termasuk jika ada paslon yang “direkayasa” kemundulannya biar seolah kompetisi.

Apakah kita gelisah dengan perkembangan Pilkada kita tahun ini? Mengapa meningkat sedemikian drastis terkait dinasti politik dan calon tunggal? Gelisah penting, yang tak kalah pentingnya melihat dan mengoreksi berbagai kekurangan yang ada. Kegelisahan itu barangkali tidak menarik bagi elite politik karena orientasi politik mereka adalah yang penting menang. Buktinya, melawan kotak kosong atau menjadi calon tunggal saja tidak malu.

Kemunduran

Ada beberapa catatan yang layak dikemukakan. Pertama, munculnya dinasti politik dan calon tunggal jelas tidak sehat dalam iklim demokrasi di Indonesia. Kenyataan itu akan menutup kompetisi dan partisipasi yang luas bagi masyarakat. Pada akhirnya kepemimpinan daerah hanya dinikmati segeintir orang.

Lagi pula, hanya mereka yang mempunyai kekuasaan dan modal kuat yang menentukan kepemimpinan daerah. Kekerabatan membuka peluang menciptakan penyelewengan dan pencampuradukkan antara kepentingan pribadi dan golongan dengan kepentingan masyarakat luas. Jika ada kepala daerah yang mengatakan bahwa ia bisa memisah dua kepentingan itu sangat susah untuk dipercaya dalam praktiknya.

Indonesia negara yang birokrasinya belum rasional berdasar undang-undang yang berlaku. Dengan adanya dinasti politik akan membuat sistem birokrasi semakan tidak rasional. Kekerabatan dalam dinasti politik juga akan menutup peluang partisipasi masyarakat dalam skala yang lebih luas. Berbagai kenikmatan yang terkait dengan politik tentu berada dalam cengkeraman dinastinya. Bahkan mereka yang awalnya tidak berasal dari dinasti politik saja punya kecenderungan menciptakan dinasti politik, apalagi jika sejak awal ada kaitannya.

Kedua, munculnya calon tunggal juga semakin menunjukkan kuatnya kepentingan elite politik kekuasaan. Calon tunggal mengindikasikan bahwa tujuan untuk berkuasa menjadi hal penting dalam politik. Memang politik itu salah satu tujuannya meraih kekuasaan. Namun demikian, jika hal itu dicapai dengan cara-cara yang tidak demokratis, maka akan sulit dihasilkan keputusan yang demokratis pula.

Lebih tragis lagi jika seorang paslon hanya melawan kotak kosong. Meskipun ia menang 60 persen misalnya, tetapi itu rendah tingkat legitimasinya. Bagaimana jika seandainya 40 persen dari kotak kosong itu digabung dengan mereka yang tidak menggunakan hak pilih?

Legitimasi kepala daerah tentu sangat rendah. Namun hal demikian tidak akan diambil pusing oleh paslon terpilih meskipun melawan kotak kosong. Jika demikian yang terjadi, maka tidak usah berharap terlalu besar bahwa kebijakan daeahnya akan memprioritaskan kepentingan masyarakat luas. Ini bukan berprasangka buruk, tetapi semoga menjadi lecutan kepala daerah sebagai pengingat untuk selalu mementingkan urusan rakyatnya.

Ketiga, kaderisasi partai politik menjadi gagal. Partai yang selama ini dipersepsikan negatif semakin terpuruk. Partai kemudian hanya dikuasai oleh mereka yang punya cantolan ke kekuasaan atau berada di dalam lindungan kaum oligarkhi dengan dukungan dana melimpah. Calon tak lagi merasal dari tokoh yang kredibel tetapi cukup mau menuruti keinginan “penyokong” kekuasaan dan dana.

Yang dikahwatirkan kemudian adalah program-progra yang dijalankan oleh kepala daerah hanya akan menuruti keinginan penyokong tersebut. Kasus pemilihan presiden di Indonesia dengan sejumlah kepentingan masyarakat yang terabaikan memberikan indikasi kuat bahwa kebijakan pemerintah lebih mementingkan kebutuhan para penyokong. Hal demikian juga tak akan mudah dihindari dalam Pilkada dengan calon tunggal atau melawan kotak kosong.

Apakah dengan demikian bisa dikatakan kepala daerah yang menang dengan lawan satu atau dua paslon dianggap lebih bagus? Tidak ada jaminan. Mereka yang berkompetisi dengan dua atau tiga paslon saja tak ada jaminan, apalagi mereka yang hanya menang melawan kotak kosong atau calon tunggal. Kondisi ini tentu sangat menyedihkan bagi perkembangan demokrasi Indonesia di masa datang.

Mencari Sebab

Tidak mudah memang mencari sebab mengapa itu semua terjadi. Salah catatan penting adalah bahwa selama ini calon kepala daerah biasanya melalui partai politik. Memang lewat calon independen juga bisa, hanya itu membutuhkan proses panjang dan rumit.

Kemudian ambang batas minimal pencalonan kepala daerah yang berasal dari parpol itu juga bisa dihapus saja. Itu menjadi salah satu alasan dasar munculnya calon yang tidak banyak. Tentu saja jika itu diusulkan ke DPR ada kemungkinan ditolak karena mereka punya kepentingan tersendisi dalam ambang batas yang sudah ada itu. Apalagi partai yang mayoritas cenderung “mengangkagi” kebijakan ambang batas itu. Jika kenyataan itu dibiarkan maka partisipasi dari partai-partai kecil akan semakin mengecil atau bahkan hilang sama sekali. Partai kecil hanya menjadi “pemandu sorak” kemauan partai peraih suara banyak.

Jadi, kemunculan calon tunggal atau melawan kotak kosong itu satu akibat dari kebijakan ambang batas yang memang diinginkan anggota DPR. Jika dampak dari pemimopin daerah tidak mementingkan rakyatnya terjadi, maka kesalahan juga berada di pihak anggota DPR. Kita berusaha mencari akar masalah bukan sekadar membela diri untuk kepentingan politik sesaat. Sudah lama masyarakat berada dalam kesengsaraan akibat kebijakan politik yang tak demokratis.

———– *** ————

Tags: