Dinasti Politik dan Good Governance

Mahathir Muhammad IqbalOleh:
Mahathir Muhammad Iqbal
Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Islam Raden Rahmat Malang Serta Peneliti Pada Lakpesdam PCNU Kota Malang

Demi kekuasaan, berbagai upaya dilakukan kepala daerah untuk melanggengkan dinasti politik, tak peduli apakah akan menghianati amanat publik atas sumpahnya. Prediksi ini ternyata terjadi, KPU RI mengeluarkan surat edaran (SE) No 302/KPU/VI/2015 tentang penjelasan beberapa aturan dalam PKPU No 9 tahun 2015 tertanggal 12 Juni. Kehadiran SE ini, telah membuka peluang bagi keluarga petahana untuk maju pada Pilkada serentak, 9 Desember nanti. Syaratnya, harus mengundurkan diri sebelum pendaftaran pasangan calon, 26-28 Juli nanti.
Celah ini langsung dimanfaatkan sejumlah kepala daerah yang ingin melanggengkan dinasti politik dengan ramai-ramai berencana mengundurkan diri. Setidaknya sudah ada tiga kepala daerah yang mundur kurang dari dua bulan menjelang pendaftaran calon untuk memuluskan syahwat politik dinasti. Yakni, Wali Kota Pekalongan M Basyir untuk memuluskan istrinya, Balqis Diab, maju di Pilkada Pekalongan. Bupati Ogan Ilir Mawardi Yahya juga mengajukan pengunduran diri karena anaknya AW Noviadi maju di pilkada Ogan Ilir.
Lalu, Wakil Wali Kota Sibolga Marudut Situmorang juga mundur untuk memudahkan istrinya Memory Evaulina Br Panggabean maju sebagai calon wakil wali kota Sibolga. Sebelumnya, pada Februari lalu, Bupati Kutai Timur Isran Noor juga mengundurkan diri. Pengunduran diri Isran tersebut juga dikait-kaitkan dengan rencana pencalonan istrinya Norbaiti di Pilkada Kutai Timur. Dan bukan tidak mungkin, akan banyak kepala daerah lagi yang mengundurkan diri.
Langkah tersebut dilakukan agar kepala daerah tidak terkena larangan keluarga petahana sebagaimana diatur UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Penjelasanya dijabarkan dalam PKPU nomor 9 tahun 2015, Pasal 4 ayat 11. “Tidak  memiliki  ikatan  perkawinan  dengan  petahana, yaitu  suami  atau  istri  dengan  petahana; atau tidak  memiliki  hubungan  darah/garis  keturunan  1 (satu)  tingkat  lurus  ke  atas,  yaitu  bapak/ibu  atau bapak mertua/ibu mertua  dengan  Petahana; atau tidak  memiliki  hubungan  darah/garis  keturunan  1 (satu)  tingkat  lurus  ke  bawah,  yaitu  anak  atau menantu  dengan  Petahana; atau   tidak  memiliki  hubungan  darah/garis  keturunan  ke samping,  yaitu  kakak/adik  kandung,  ipar,  paman atau bibi  dengan  Petahana.”
Dinasti Politik dan Good Governance
Politik dinasti tidak hanya terjadi di negara-negara monarkhi, namun juga di negara yang bersistem demokrasi. Misalnya, kita mengenal klan Kennedy, Bush, dan Clinton di Amerika Serikat. Di benua asia ada Marcos, Arroyo, dan Aquino di Filipina; Aung San Suukyi di Burma; keluarga Bhutto di Pakistan; Bandrainaike di Srilanka; keluarga Gandhi di India; serta trah Bung Karno, trah Hamengkubuwono, dan trah SBY di Indonesia.
Demokrasi memang tidak dimaksudkan untuk membunuh dinastiisme. Tetapi jika hal itu dilakukan tanpa akuntabilitas, pemerintahan kekerabatan itu harus dikoreksi. Mengapa? Karena pemerintahan dinasti akan berubah jadi negatif tatkala menimbulkan monopoli kekuasaan dan cenderung lepas kontrol. Karena itu, jejaring penguasa berbasis hubungan kekerabatan tersebut bergerak bebas melakukan praktek KKN. Dinasti menjadi nepotis dan despotis. Masyarakat dan penegak hukum tidak diberi ruang untuk melakukan koreksi, atau malah terkooptasi.
Di Indonesia pun kita mengenal dinasti-dinasti politik dalam kepemimpinan eksekutif dan legislatif, dari pusat hingga daerah. Mengutip tiga pemikir besar: Mosca, Pareto, dan Michels, Putnam (1976), menyebut karakteristik dasar para elit politik bahwa pada dasarnya mereka bersifat self-perpetuating (dalam Dal ‘Bo dkk, 2007).
Pengertian sederhananya, dinasti politik berupaya membangun sistem yang mencegah perubahan dan menghasilkan produk politik baru byang sangat mirip dengan pendahulunya. Repotnya, dinasti itu resisten terhadap reformasi dan mengedepankan model seleksi elit status quo alias melanjutkan tradisi pendahulu.
Dinasti politik untuk kondisi Indonesia saat ini merugikan karena minim akuntabilitas. Para anggota dinasti tanpa sungkan (shameless) mempraktekkan dan melanggengkan informalitas atau partikularisme dalam urusan-urusan publik. Para elit terbiasa memberikan prioritas kepada anggota keluarga, kawan segolongan, dan pihak-pihak dengan kedekatan lainnya untuk mendapatkan akses terhadap barang-barang publik. Akibatnya, praktek dinasti politik yang minim akuntabilitas dekat dengan praktek-praktek korup.
Praktek politik dinasti meretakkan bayangan kebangsaan dan memenggal nilai keadilan. Sering menjadi tragedi ketika kemudian politik dinasti didorong keluarga dan kekuatan uang sehingga menimbulkan kesemarakan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Artinya, kekuasaan dinasti cenderung disalahgunakan. Misalnya, dalam kasus pemenangan proyek (tender), proyek hanya terbagi dan terdistribusi ke kalangan kerabat keluarga. Karena itu, di wilayah miskin, bisa saja kerabat dinasti berpesta pora dengan barang-barang mewah karena menguasai sumberdaya kekuasaan. Tetapi pada sisi yang lain, masyarakat terbelenggu oleh ganasnya lingkaran kemiskinan.
Demokrasi berada dalam kondisi bahaya jika politik dinasti bermuara pada perilaku korupsi. Situasi itu muncul sebagai imbas kombinasi kekuatan politik, sumberdaya ekonomi, dan politik kekerasan yang dimiliki elit lokal yang kuat, terutama anggota politik dinasti.
Dua Pendekatan
Ada dua pendekatan yang bisa dilakukan untuk meminimalkan pengaruh buruk dinasti politik di Indonesia. Pertama, memperbaiki kinerja makro negara, khususnya dalam peningkatan pendapatan per kapita (GDP) dan indeks pembangunan manusia (IPM). Chile dan Uruguay bisa menjadi rujukan Indonesia karena memiliki skor yang baik untuk indikator  CPI, FS, GDP, dan IPM.
Kedua, memperbaiki kinerja demokrasi. Meskipun Indonesia sudah tergolong negara bebas, demokrasi kita masih diwarnai paradoks. Yaitu masih kuatnya kultir feodalistik, informalitas yang berujung maraknya KKN, masih cukup kuatnya resiko rivalitas antaretnis dan agama, serta lemahnya penghormatan pada demokrasi.
Karena itu, demokrasi kita perlu dikoreksi dengan mendisiplinkan akuntabilitas para pejabat publik, termasuk politikus dan parpol. Pejabat publik mesti diukur rekam jejak perilaku kebijakannya. Apakah produk kebijakan yang dibuat cenderung bermotif memenuhi kepentingan individu (self interest) dan keluarga atau kroninya; atau betul-betul untuk kemanfaatan publik. Intinya wajib transparan dalam setiap proses kebijakan dan penganggaran.

                                                                                                     ———————– *** ————————

Rate this article!
Tags: