Dindik Minta Orangtua Lebih Aktif Cari Sekolah

Mariono bersama anaknya Fajar Apriyono yang masih belum mendapat sekolah hingga lebih dari dua pekan tahun ajaran baru 2016/2017 berlangsung. [adit hananta utama]

Mariono bersama anaknya Fajar Apriyono yang masih belum mendapat sekolah hingga lebih dari dua pekan tahun ajaran baru 2016/2017 berlangsung. [adit hananta utama]

Siswa Mitra Warga Tak Kunjung Sekolah
Kota Surabaya, Bhirawa
Benang kusut Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Kota Surabaya tak kunjung menemukan titik terang. Satu per satu anak dari keluarga tidak mampu bermunculan dan mengaku belum bersekolah. Padahal tahun ajaran baru 2016/2017 sudah berjalan hingga lebih dari dua pekan.
Fajar Apriyono, adalah satu di antara nama-nama siswa mitra warga yang belum mendapat sekolah. Alumnus SMPN 18 Surabaya itu sudah mencoba jalur mitra warga secara resmi sekaligus jalur umum di SMKN 5 Surabaya. Semuanya gagal hingga akhirnya mencoba mengikuti jalur wali kota yang akhirnya tak sesuai harapan. “Saya heran dengan SMKN 5 itu. Nilai ujian nasional saya 233 tidak diterima, tapi teman saya yang nilainya kurang dari 200 malah diterima. Padahal sama-sama daftar lewat jalur mitra warga,” kata dia saat ditemui di tempat tinggalnya di Lebak Indah Utara VI Tambaksari, Surabaya, Selasa (2/8).
Ditemui di rumah petak berukuran 3×4 m2, Fajar mengenakan celana abu-abu layaknya anak SMA. Dia mengaku, sejak dua minggu terakhir berpura-pura sekolah untuk mengurangi rasa malunya ke tetangga. “Pakai celana abu-abu sama jaket terus keluar. Siang pulang lagi seperti anak sekolah,” tutur dia.
Fajar mengaku, ada tawaran untuk masuk ke SMA Gracia Surabaya. Dia dan orangtuanya kukuh menolak tawaran itu. Pertama karena dia seorang muslim, kedua tidak sesuai harapannya masuk di SMK untuk mengambil jurusan Teknik Kendaraan Ringan (TKR) atau permesinan. “Saya pingin di SMK supaya nanti bisa cepet dapat kerja dan bantu orangtua. Mau di negeri atau swasta tidak masalah,” katanya.
Sikap Fajar cukup bisa dimaklumi. Melihat kondisi ekonomi keluarganya dia merasa prihatin. Rumah yang ditempatinya merupakan sela-sela antara dua rumah yang dibangun tembok depan, belakang sekaligus diberi atap. “Tembok di samping-samping ini ikut rumah tetangga. Terus saya dapat program bedah rumah dari pemkot akhirnya dibenahi seperti sekarang,” tutur Mariono, ayah Fajar.
Mariono mengaku kecewa lantaran proses PPDB dinilainya tidak adil. Sebagai pendaftar jalur mitra warga, pihaknya bahkan tidak pernah disurvei sekalipun. “Saya dengar dari tetangga ada petugas survei, tapi yang dicari bukan nama anak saya. Terakhir dari SMA Gracia yang datang dan menawarkan ke saya untuk masuk ke situ,” kata dia.
Fajar bukan satu-satunya anak yang tidak beruntung dalam hal ini. Sebelumnya, Ika Andriyani yang tinggal di Kelurahan Gayungan, Kecamatan Gayungan Surabaya itu juga tidak bersekolah selama dua pekan. Di rumah yang tersusun dari papan triplek bekas, Ika terus berharap suata saat bisa kembali mengenakan seragam sekolah seperti teman-teman seusianya. Bersyukur, pihak Pemkot Surabaya akhirnya menjemput Ika untuk masuk sekolah kemarin.
Anggota Komisi D DPRD Surabaya Reni Astuti mengaku cukup prihatin dengan adanya laporan siswa mitra warga yang belum bersekolah secara terus menerus. Reni khawatir, fakta semacam ini akan terus bermunculan karena penyelesaiannya tidak dilakukan secara sistemik. Sementara data siswa mitra warga yang sudah masuk ke meja wali kota saja sampai saat ini tak kunjung terselesaikan. “Saya menduga berkas mitra warga yang masuk ke wali kota itu lebih dari 2.000 anak. Dan sampai sekarang belum terdistribusikan seluruhnya,” tutur Reni.
Dugaan itu dikuatkan dengan banyaknya surveyor yang terlibat dalam mengurusi jalur wali kota ini. Sekurang-kurangnya ada sepuluh SKPD yang terlibat, mulai Dinas Pendidikan, Bapemas, Dinas Sosial bahkan Satpol PP juga. “Ada sekitar 350 surveyor yang bergerak. Satu surveyor minimal melakukan visitasi delapan berkas yang masuk,” kata dia.
Sementara itu, Kabid Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan (Dindik) Surabaya Eko Prasetyoningsih menuturkan, banyaknya siswa yang tidak mendapatkan sekolah tak lepas dari peran orangtua. Orangtua umumnya tidak mengetahui proses PPDB yang ada sampai akhirnya tertinggal pendaftaran. Khususnya bagi keluarga dari ekonomi menengah ke bawah, banyak yang melewatkan pendaftaran jalur mitra warga.
Eko menjelaskan, pihak Dindik sudah melakukan survei sekaligus mengarahkan anak-anak yang belum mendapatkan sekolah saat PPDB sudah ditutup. Dari survei tersebut, peran orangtua dalam mencarikan anaknya sekolah terlihat sangat minim. “Sekarang masalah paling banyak yang tidak sekolah karena orangtuanya tidak tahu info PPDB. Padahal sosialisasi banyak dilakukan sejak lama dan sekolah juga sudah diberitahu,” tuturnya.
Menurutnya, kewajiban memberikan sekolah pada anak bukan hanya peran pemerintah. Orangtua juga harus berusaha mencari sekolah di sekitar rumahnya. “Tanya jatah mitra warga apa masih ada. Kalau nggak ada mau gimana lagi, sudah keduluan yang memang berusaha mencari sejak awal,” tuturnya.
Sejak ditutupnya PPDB, memang banyak sekolah yang tidak bisa menampug jalur mita warga. Apalagi jika jumlahnya terlalu banyak. “Sekarang ini sudah tersalurkan semua, sudah dibagi-bagi ke sekolah SMP, SMA dan SMK negeri dan swasta,” ungkapnya.
Pertimbangan dimasukkan sekolah negeri atau swasta ini didasarkan pada pendapatan orangtua. Karena mitra warga di sekolah swasta meskipun ada keringanan belum bisa bebas biaya sekolah seperti di sekolah negeri. “Kalau swasta ada dana investasi dan pembiayaannya tidak semua ditanggung pemerintah. Jadi meskipun mitra warga tetap ada bayarnya,” lanjutnya.
Lebih lanjut Eko menjelaskan, yang mengajukan permohonan mendapatkan sekolah melalui wali kota akan dikaji berdasarkan nilai dan kemauan sekolah. “Orangtua juga diminta menulis surat keterangan akan mengawasi anaknya sampai menyelesaikan pendidikan,” pungkasnya. [Adit Hananta Utama]

Tags: