Dinilai Belum Layak, Menanti Tengkorak Manusia Purba Kembali

Hariyadi memperlihatkan arca kera koleksi Museum Wajakensis yang menurut ahli sejarah dan arkeoleg langka dan unik.  Inzet: Replika tengkorak manusia purba Wajakensis.

Hariyadi memperlihatkan arca kera koleksi Museum Wajakensis yang menurut ahli sejarah dan arkeoleg langka dan unik. Inzet: Replika tengkorak manusia purba Wajakensis.

Ironi Museum Wajakensis
Tulungagung, Bhirawa
Menyebut Tulungagung tidak bisa dipisahkan dengan marmer. Batu alam yang sudah menghiasi sejumlah bangunan megah di negeri ini, termasuk Masjid Istiqlal Jakarta, telah menjadi ikon Tulungagung.
Jika kita kembali membuka buku sejarah, Tulungagung tidak hanya lekat dengan marmer tetapi juga manusia purba. Pada 1880-1890, arkeolog Eugene Dubois menemukan fosil tengkorak manusia purba di daerah Tulungagung selatan. Tepatnya di daerah Wajak. Fosil yang termasuk Homo Sapiens dan diperkirakan berusia sekitar 40.000 tahun tersebut dinamakan Wajakensis.
Keberadaan fosil tengkorak manusia purba ini kini nyaris dilupakan oleh warga setempat. Ironis memang. Terlebih fosil tersebut tidak tersimpan di Kota Tulungagung, namun di Museum Nasional atau yang lebih dikenal juga dengan sebutan Museum Gajah.
Museum satu-satunya di Tulungagung yang sejak 2010 bernama Museum Wajakensis hanya dapat menyimpan replikanya saja. Museum Wajekensis belum boleh menyimpan fosil asli tengkorak manusia purba temuan dokter ahli anatomi berkebangsaan Belanda itu.
“Kami belum bisa menyimpan (fosil) yang asli karena faktor keamanan. Museum Wajakensis dinilai belum layak menyimpan yang asli,” ujar Pengelola Museum Wajakensis Tulungagung Hariyadi pada Bhirawa akhir pekan kemarin.
Dari segi fisik bangunan, Museum Wajakensis yang terletak di pinggir jalan raya ruas Tulungagung-Boyolangu ini memang terkesan kurang layak untuk ukuran sebuah museum. Luas bangunan museum yang hanya 8 X 15 meter terlihat tidak mampu untuk memuat koleksi museum yang ada sekarang.
Diakui Hariyadi, keberadaan bangunan museum yang bisa disebut kurang layak tersebut menjadi kendala dalam menyimpan benda-benda arkeologi bernilai tinggi asal Tulungagung. Termasuk fosil tengkorak manusia purba Wajakensis yang namanya dipakai sebagai nama museum.
“Kalau mau fosil tengkorak Wajakensis kembali ke Tulungagung, salah satu syaratnya bangunan museum harus layak. Terutama dari segi keamanan. Kendala bangunan museum yang ada sekarang menjadi kendala untuk mendapat fosil asli Wajakensis. Bahkan banyak temuan arkeologi lainnya asal Tulungagung masih tersimpan di museum-museum luar Tulungagung seperti di Museum Mpu Tantular dan Museum Majapahit di Trowulan,” paparnya.
Dibeberkan Hariyadi, daerah Tulungagung sebenarnya kaya akan temuan purba. Selain fosil manusia purba, juga ditemukan relief gajah yang sedang membajak sawah yang terdapat di Candi Penampihan Kecamatan Sendang. “Itu satu-satunya di Indonesia. Begitu pun dengan patung (arca) kera persembahan yang baru ditemukan di daerah Pucangan Kecamatan Kauman. Itu juga satu-satunya di Indonesia,” terang pria yang tercatat sebagai karyawan Balai Pelestarian Cagar Budaya Trowulan.
Menurut Hariyadi, kendati keberadaan situs purba di Tulungagung membuat banyak peneliti dari berbagai univesitas ternama di Indonesia semisal UI, UGM dan Universitas Udayana Bali berkunjung ke Museum Wajakensis,  namun jumlah kunjungan masyarakat umum dinilai masih memprihatinkan. Kebanyakan pengunjung museum baru sebatas pelajar. “Kalau musim liburan sekolah tiba seperti sekarang justru tambah sepi. Sarana dan prasaran museum membuat wisatawan enggan berkunjung,” tandasnya.
Ini bertolak belakang dengan keberadaan museum-museum di kota-kota besar dunia. Museum selalu menjadi salah satu tujuan wisatawan. Museum menjadi jendela untuk mengetahui perjalanan dan riwayat sebuah bangsa.
Beberapa tahun lalu tersebar wacana untuk merehabilitasi Museum Wajakensis dengan dana dari Pemerintah Pusat. Namun sayangnya berita tersebut tidak berkelanjutan. Padahal, Museum Wajakensis masih mempunyai lahan yang bisa untuk dikembangkan. Luas tanah yang dimiliki Museum Wajakensis mencapai 5.706 meter persegi. “Cukup untuk membangun gedung museum yang representatif,” tambah Hariyadi.
Sejumlah anggota DPRD Tulungagung terkesan belum sepenuhnya  responsif dengan keberadaan Museum Wajakensis. Mereka baru sebatas hanya mau melakukan koordinasi dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tulungagung. “Nanti kita bicarakan dengan Dinas Pendidikan. Termasuk bagaimana membuat Perda tentang cagar budaya,” ujar Sekretaris Komisi A DPRD Tulungagung Drs Wiwik Triasmoro. [wed]

Tags: